Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

Nyanyianku

Sayang, akan kunyanyikan sebuah lagu untukmu. Lagu tentang riuh darah dalam nadiku yang tengah mengangkut milyaran partikel rindu. Tentang lembayung yang bertengger teduh di pelupuk matamu kala kautatap aku dengan cinta yang meluap-luap seperti amuk taufan di tengah samudera. Tentang ciuman terakhir kita pada suatu malam yang sepi dari deru-deru cemburu. Tentang camar-camar yang tertawa pada kita. Tentang pepasir lembut yang menempel di pipimu. Juga tentang kerentaan jiwaku yang meretak di semua sudutnya, seperti talam yang berkarat dan penuh lubang, di hari ketika kau mati, lalu berhenti menjadi bidadari. Sayang, bila nanti laguku tak syahdu, pura-puralah seakan kau menikmatinya. Seperti mana diriku yang senantiasa berpura-pura menganggapmu masih ada. (Malang, 26 Oktober 2016)

SIANG YANG BUNGKAM

Sayang, lihatlah ke luar jendela rumah kita, lalu ke mataku, dapatkah kautangkap rintik halus serupa serbuk sari bunga? Yang menabur? Yang membaur? Lihat sekali lagi, rintik itu berkilauan, bukan? Itu adalah kita. Kita yang merapuh dalam kerentaan waktu. Kita yang bergumul bersama pudarnya terik surya yang perlahan disimbah hujan. Kitalah zaman yang segera lekang. Serupa rintik itu. Kita akan segera digunggung terbang oleh sayap-sayap kefanaan. Di siang hari yang bungkam. Kala segala keperihan telah kita tuai dengan segenap suka cita. Dan kau, Sayang, adalah kepingan jiwaku yang akan kudekap hingga siang ini lenyap. Lantas kita tertawa di lahat yang sama. Saling memeluk. Saling berbisik tentang kematian yang teramat manis. Yang tadi pagi menyapa kita. Sama-sama. (Malang, 26 Oktober 2016)

PERSIMPANGAN

Aku tersesat di suatu persimpangan jauh. Jumlahnya enam. Eh, tujuh. Eh, delapan. Eh, entahlah. Aku tak tahu. Semuanya mengungkung seperti jari-jari sepeda tua ibuku, dan aku berkunang-kunang di sumbunya. Berkelindan seperti geligi-geligi berkarat. Aku menggapai kait-kait langit serupa suluh semangka yang menggelantung di antara sepasang bola mata cokelat tua. Di bawah atap merah darah yang memburam ketika senja turun seperti merpati jinak. Gapaianku tak tuntas, aku terhempas lepas dari persimpangan itu dan terlempar ke suatu ruang antara hitam dan putih yang pucat. Aku gamang menerka dan membaca arah angin yang berputar-putar di kepalaku. Ruang itu merekah ke segala penjuru. Mengembang seperti roti terendam ragi. Menggelembung laksana balon-balon warna-warni yang kuhadiahkan padamu pada suatu annyversary. Lalu aku melihatmu tersenyum di langit. Mengutukku jadi batu, lalu menghantamku dengan palu, hingga mendebu. Setelah semua gelap itu perlahan menyurai dari pandanganku, tiba-tiba aku...

Mimpi (I)

Apa yang kupikirkan? Aku memikirkanmu; tengah menari-nari di pinggir sungai yang jernih. Lagunya syahdu. Kau menatapku, menarik lenganku. Aku gugup, kukatakan bahwa aku tak pandai menari. Kakiku kaku, kataku. Lalu kaubilang tak apa, kau tersenyum, kau bersandar di dadaku. Tarianmu selesai. Kau merengkuh bahuku lebih erat. Kau bilang kau takut aku hilang. Kataku, aku tak akan pernah pergi. Meski aku mati suatu pagi, aku akan selalu denganmu. Kau tak akan pernah sendiri. Kau menciumku, matamu berembun, bibirmu bergetar. Biar aku yang mati dahulu, isakmu. Aku menyanggahmu, aku tak ingin sendiri di dunia. Biar kutunggu kau di pintu surga. Biar aku lebih dulu mati. Kau boleh menyusulku setelahnya. Kau tak mau, kau meratap. Semakin erat pelukanmu hingga sesak rasanya dadaku. Kemudian, hujan tumpah ruah. Bising kudengar menimpa atap. Aku terbangun. Celakanya, aku lupa kau siapa. Aku tak ingat wajahmu, gadis yang memeluk dan menciumku dalam tidur sebentar itu. ...

Kefanaanku

Keabadian tak hadir di sela-sela huruf yang bertalian membentuk nama-nama kita, Sayang. Ia lebih suka bermasyuk ria dengan kerinduan pahit yang kukecap di sepanjang jalan menuju lobus-lobus terjauh di relung kepalaku. Akankah ia fana? Mana kutahu. Kadang ia lelap saja sebentar, sementara aku tertawa pias-pias menyesap teh-teh panas yang basi, beserta hati yang ditekan semati-mati. Bisa saja beberapa kedip kemudian, ia menyala terang bagai api abadi di kuil-kuil Zoroaster, memberangus kewarasanku. Lantas bagaimana mungkin kutahbiskan diriku sebagai pejuang yang memenangkan perang melawan kenangan? Sedangkan dari sudut jauh saja kulihat kau tersenyum, pada dedaunan yang menguning di ujung taman kampus kita, tektonik dua digit seolah diruahkan ke dalam jasadku. Bingar. Ingar. Hingga rasanya sangkakala disegerakan tiupannya detik itu jua. Bila nama-nama kita tak abadi, bisakah kematian menjadi kefanaan satu-satunya bagi perasaan purbaku ini, Sayang? (Malang, 24 Oktober 2016)

Gadis Ilusi

Aku melihatmu. Dan aku tak percaya benar-benar melihatmu. Atau, jangan-jangan otakku telah begitu berkabut oleh ilusi-ilusi aneh sehingga menyangka yang duduk di sana, sendirian, murung, adalah dirimu, padahal mungkin saja itu wajah seseorang yang lain. Kamu tersenyum. Bukan, bukan padaku. Pada pelayan yang mungkin menanyai kamu mau minum apa, sebab beberapa saat kemudian pelayan itu berlalu dan datang lagi mendekatimu menghidangkan segelas air putih. Air putih? Bukankah kamu terbiasa memesan paling tidak, Kopi hitam?

Mari Beternak Rindu (Bagian Satu)

Tentang pencarian, perjalanan, beserta segala hal yang membekas hunjam dari Kampus Fiksi angkatan 17. Juga tentang Yogyakarta yang tak mau berhenti menghujani hati yang ringkih ini dengan kenangan-kenangan.... Senin itu, pukul 21:15 WIB (Waktu Indonesia lagi Baper) yang ditunjukkan oleh jam tanganku, aku dan malam saling mendiamkan. Ia diam di luar jendela kereta yang berembun sementara aku bungkam di kursi 21C gerbong Ekonomi 1 yang mendadak terasa lengang mencekam seperti Train to Busan.

Mati Rasa

Aku sudah lama tidak bisa merasakan apa-apa. Maksudku, bukan indraku menjadi tumpul dan kehilangan kemampuan sensorinya. Tidak demikian. Aku masih terjungkang kaget kala kulit kakiku tertumpah tetesan air panas menggelegak dari gelas kopi (ya, kau tak akan percaya, aku sekarang mulai suka minum kopi). Aku juga masih mengeluhkan bau keringat dan asap rokok dalam ruang angkot ADL yang pengap dan bikin sesak, kecuali bila hidungku mampet. Soal indra penciumanku yang kadang bahkan menangkap bau ilusif seperti wangi parfum mantan yang tiba-tiba merebak padahal orangnya tak di sisi, itu lain hal. Poinnya, lima indra utamaku masih normal.

Retak (I)

Di pelataran mimpi yang bersinggungan dengan bibirmu yang ranum laksana buih pantai di malam pasang Aku terantuk derita yang mengeras seperti jejak lumpur dipanggang kemarau Kau keindahan yang padu Berselancar selalu di tungku gairahku yang telah padam dan berdebu Merangkumku dalam khayal yang nyata dan tidaknya sama saja: perih Bila lelah ini tak dapat tertanggungkan oleh remah-remah asa yang terkikis menipis Apatah lagi oleh sesuatu dalam dadaku yang detaknya tak lagi harmonis? Sebab tlah kau renggut ianya Tlah kau cerabut nyawanya Mayat itu aku Hidup tapi tak bernyali Untuk sekadar menatapmu kembali __________________ Malang, 12 Oktober 2016 Miko Waldufri

Dilatasi Mimpi

Bahkan sekarang, Maudy Ayunda pun ikut menyemangatiku nulis skripsi. Kami barusan berada dalam satu mobil yang sama. Dia yang menyetir, tentu saja. Karena aku hanya bisa mengendara sepeda, skill paling tinggi, sebatas menunggang Yahama Bison milik teman yang beberapa kali kupinjam untuk jalan-jalan ke gunung atau ke pantai. Maudy mengantarku ke stasiun, dia akan melepasku di sana.

MENENGGAK AROMA KEMATIAN (Memutar kembali adegan tragedi gempa 30 September bukan PKI)

Kita telah sama-sama melipat waktu tujuh tahun yang berlalu itu dan menyimpannya jauh di suatu tempat yang kita sebut belakang. Namun siapa yang akan menyangka ketika hari ini aku menyadari suara terjunnya jarum detik itu dari pucuk angka dua belas tengah malam, tujuh tahun bahkan terasa bagai seminggu saja. Aku lantas terhenyak disergap keheranan yang tak perlu: "Apa benar sejumlah itu waktu yang telah berlalu?" Memang, pertanyaan retorika belaka. Tipikal manusia-manusia yang mudah dibuai lena.