SIANG YANG BUNGKAM

Sayang, lihatlah ke luar jendela rumah kita, lalu ke mataku, dapatkah kautangkap rintik halus serupa serbuk sari bunga? Yang menabur? Yang membaur? Lihat sekali lagi, rintik itu berkilauan, bukan? Itu adalah kita. Kita yang merapuh dalam kerentaan waktu. Kita yang bergumul bersama pudarnya terik surya yang perlahan disimbah hujan. Kitalah zaman yang segera lekang. Serupa rintik itu. Kita akan segera digunggung terbang oleh sayap-sayap kefanaan. Di siang hari yang bungkam. Kala segala keperihan telah kita tuai dengan segenap suka cita. Dan kau, Sayang, adalah kepingan jiwaku yang akan kudekap hingga siang ini lenyap. Lantas kita tertawa di lahat yang sama. Saling memeluk. Saling berbisik tentang kematian yang teramat manis. Yang tadi pagi menyapa kita. Sama-sama.

(Malang, 26 Oktober 2016)

Komentar