Mari Beternak Rindu (Bagian Satu)

Tentang pencarian, perjalanan, beserta segala hal yang membekas hunjam dari Kampus Fiksi angkatan 17. Juga tentang Yogyakarta yang tak mau berhenti menghujani hati yang ringkih ini dengan kenangan-kenangan....

Senin itu, pukul 21:15 WIB (Waktu Indonesia lagi Baper) yang ditunjukkan oleh jam tanganku, aku dan malam saling mendiamkan. Ia diam di luar jendela kereta yang berembun sementara aku bungkam di kursi 21C gerbong Ekonomi 1 yang mendadak terasa lengang mencekam seperti Train to Busan.

Kami berdua lantas sama-sama tak acuhnya akan roda-roda besi yang sibuk berkelindan dan berkejar-kejaran dengan gedung-gedung, sawah-sawah dan pepohonan. Aku menyandarkan kepala. Bersedekap memeluk lengan disebabkan gelitik dingin Air Conditioner terasa lebih tajam dibanding tiga malam sebelumnya. Aku memicingkan mata. Tidak untuk tidur. Bahkan aku tak ingin terlelap barang sedetik pun. Melainkan, dikarenakan dadaku yang tak cukup lapang untuk menampung tumpah ruah keharuan yang keterlaluan. Terlampau ramai ngiang kebisingan suara orang-orang itu menyesaki Lobus Temporal-ku. Orang-orang yang baru kukenali tidak lebih dari tujuh puluh dua jam. Tetapi terasa telah menahun.

Tulisan ini sesungguhnya telah kumulai saat itu, di perjalanan panjang pulang ke Malang, tatkala hormon adrenokortikotropik dalam tubuhku sedang meluap-luap, mengarak bergumpal-gumpal mendung pekat ke dalam jiwaku yang over-melancholic itu. Untung saja tidak hujan deras di pipi. Kan, bikin malu. Apa kata Awkarin nanti, laki kok cengeng! Untuk itulah kemudian tulisan itu urung kusudahi. "Tunggulah sampai nanti di Malang," lirihku, membisiki diri. "Ini pastilah hanya temporary feeling. Nggak usah kebaperan. Jangan hanyut. Nanti tulisanmu jadi mendayu-dayu sendu. Malu sama janggutmu."

Aku manut. Kutahan gegebu hasrat sesaat itu. Biarlah kutunggangi dulu roller coaster rasa itu seorang diri. Biarlah sejenak aku bergelimang dengan keharuan lebay itu. Biarlah sementara itu kulambungkan khayalan-khayalan liarku mendaki titik zenitnya. Sehingga setelah nanti semua emosi itu mereda, aku bisa lebih berlogika dalam bercerita. Aku mengerti, memang kedengarannya sok sekali. Tapi, memangnya kamu peduli apa, Derpina!

Bagaimana Kenangan Bekerja?

Bila merunut pada analisis serampanganku tentang cara kerja kenangan, hebat tidaknya kesan orang-orang tertentu yang kau temui dalam hidupmu, sesungguhnya bisa ditimbang dengan satu batu uji yang paling sederhana. Yaitu: mimpi.

Bagi Freud dan para penganut mazhab Psikoanalisis yang terkenal itu, mimpi adalah representasi kuat dari kesan-kesan yang tertimbun tak sengaja dalam alam bawah sadar (unconsciousness) umat manusia. Dari situlah aku berpijak. Seperti yang kubilang sebelumnya, sekuat mana kesan seseorang bagimu, bisa kauukur dengan 'apakah kau sampai memimpikannya atau tidak'. Sesederhana itu, menurutku. Menurutku, loh, ya. Jangan percaya aku. Aku bukan siapa-siapa.  

Hei, kamu. Sudah, sudah. Tak perlu repot bolak-balik mengetikkan kata kunci di mesin perambahmu itu untuk mencari penelitian ilmiah tentang ocehanku barusan. Sia-sia. Cukup. Ini hanya hipotesis. Jangan sensitif begitulah. Mentang-mentang terbiasa baca jurnal ilmiah dan baca skipsi.

Kulanjutkan, mimpi-mimpi itu, lagi-lagi menurutku yang belum sarjana ini, tidak melulu bergantung pada durasi yang kau habiskan untuk menyerap kesan secara 'tak sadar' itu. Sebentar atau lama, tidak jadi masalah. Meskipun tidak pula dapat disanggah bahwa semakin lama dan semakin mendalam perasaanmu pada sesuatu atau seseorang, peluang untuk bermimpi tentang semua itu tentu akan semakin besar pula. Sehingga amat sangat wajar adanya bila kemarin malam, aku bermimpi tentang Kampus Fiksi 17 yang telah berlalu seminggu itu. Cobalah kau bayangkan. Aku hanya butuh tiga hari tiga malam untuk menyimpan kenangan-kenangan itu dalam perangkat unconsciousness yang kumiliki. Mengantonginya pulang ke Malang. Mengendapkannya selama lebih kurang delapan hari. Lalu 'Booom!', aku dibawa kembali ke masa-masa itu. Wajah-wajah yang kutemui dalam mimpi, persis seperti yang pernah kualami secara sadar dan nyata tempo hari. Hei, Ntan, Mantan, kok kamu juga ikut-ikutan gentayangan dalam mimpiku, sih? Hush! Hush! Enyah sana!

Bagai jemari yang terpenggal
Kau memang tertinggal
Tapi menjejakkan cacat
Menghunjamkan rindu yang pekat

Mozaik Takdir yang Bernama Kampus Fiksi

Seandainya kutulis sebuah daftar panjang tentang hal-hal besar yang sangat berarti dan mempengaruhi arah jalan hidupku, barangkali tiga besar teratas dari penghuni daftar itu akan kuurutkan seperti ini: satu, hari ketika mamaku mengakhiri kemurkaannya padaku sehingga urung mengutukku jadi batu, dua, masa gelap-terang-tangis-tawa yang pernah kulewatkan dengan mencintai dan dicintai olehmu, Ntan, dan tiga, hari ketika nama dan judul cerpenku menyempil di antara ratusan peserta yang lulus seleksi Kampus Fiksi DIVA Press kurang lebih setahun lalu.

Tentang poin terakhir ini, pernah kusampaikan sebelumnya di acara penutupan Kampus Fiksi 17, saat suaraku diminta untuk menyampaikan pesan dan kesan kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu, untuk mewakili 15 peserta lainnya.

To be frank, My dearest Friend, menulis tidaklah pernah masuk dalam radar cita-cita masa kecilku. Aku memang penggila baca buku jenis apapun sejak masih bocah tengil. Tanya mamaku kalau tak percaya. Aku rela menyisihkan uang jajanku yang tak seberapa untuk membeli majalah Bobo bekas, komik Petruk karangan Tatang S. yang legendaris itu, majalah anak Ina dan Ino, dan komik 25 Nabi dan Rasul-nya Ema Wardhana di pasar Minggu kampungku. Itu terus menerus kulakukan selama duduk di Sekolah Dasar. Asupan lainnya kudapatkan dari koleksi perpustakaan pribadi Pakdhe-ku yang guru agama. Aku tahu cerita merpati dan laba-laba yang memuluskan perjalanan hijrah Kanjeng Nabi dan Karibnya, Abu Bakar, dari situ. Bila uangku terkumpul lebih banyak, aku suka mengoleksi majalah Hidayah dan Sabili, yang sedikit banyaknya menyetir cara pandangku terhadap agama yang kaku dan gampang meletup-letup. Tak puas dengan bahan bacaan yang masih kurang, aku harus mengakui dosa-dosaku sekarang, bahwa dulu sekali, aku sering menyelundupkan buku-buku bagus dari perpustakaan sekolah. Bukannya apa-apa, sayang saja bila bukunya tak dibaca. Toh, perpustakaan sekolahku itu kalau kau ingin tahu, lebih sering dijadikan tempat berpesta pora oleh kawanan kecoa ndeso dan tikus ginuk-ginuk yang kebelet kawin ketimbang ditongkrongi murid-murid. Maafkan, aku, Ibu Bapak guru. Maafkan kelakuan masa kecilku.

Keranjingan membaca tak lantas memantik keinginanku untuk menjadi penulis. Kecuali, menulis buku diari. Yang isinya tak jauh-jauh dari memoar harian tentang cewek sekelas yang kutaksir, tapi dia menaksir anak cowok kelas sebelah. Memang aku pernah menulis puisi. Tapi lagi-lagi serupa dengan yang sebelumnya, alay-alay gimana gitu.

Kupersingkat, keinginan itu baru muncul setelah kutuntaskan membaca Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta waktu aku SMA kelas satu. Tapi tetap saja, pernah kucoba coret-coret di buku tulis Sinar Dunia isi 40, setelah kubaca kembali cerita itu, aku jijik sendiri. Akhirnya keinginan itu terkubur begitu saja sekian tahun lamanya hingga terpancing kembali di awal-awal tahun 2012. Aku menulis cerita bersambung di Facebook yang kuberi judul awal yang lumayan norak: Cintaku di Antara Istiqlal dan Katedral. Terinspirasi dari perjalanan singkatku tinggal di Jakarta Selatan dan Depok di musim persiapan SNMPTN 2012. Di sela-sela menuliskan cerita itulah takdir kehidupanku bersinggungan secara tidak langsung dengan DIVA Press.

Aku diberitahu tentang lomba menulis cerpen Galaxy Cinta yang hadiahnya sungguh menggiurkan. Kucobalah peruntunganku. Tak banyak ekspektasi. Karena aku sadar sebatas mana potensiku: masih amat sangat miskin ilmu dan minim pengalaman. Bismillah, di suatu petang di musim kemarau itu, Gadis Sejuta Payung yang tuntas kukarang meluncur ke Yogyakarta untuk bertarung dengan ratusan--mungkin bahkan ribuan--cerpen-cerpen lainnya. Tentang kelanjutan nasib cerpen itu, tidaklah lagi menjadi penting. Sebab, ada satu hal besar yang lebih utama untuk kupahatkan ke dinding sejarah kehidupanku sendiri. Hari itu, aku memantapkan niat untuk menjadi penulis. Bisik-bisik diri yang sedikit utopia, sih, menurutku waktu itu.

Hidup terus berlanjut, satu titik itu ternyata membawaku ke mana-mana. Aku mencoba mengenal dunia kepenulisan perlahan-lahan. Mengikuti workshop kepenulisan di beberapa tepat. Menyertakan cerpen-cerpen amatirku ke macam-macam lomba lainnya yang sayangnya tak pernah menang. Rutin memantangi tips-tips menulis dari MinCop dan MinLev-nya DIVA yang nyebelin itu. Hingga sedikit demi sedikit, mozaik-mozaik itu terekat makin dekat. Bahwa dapat berada dalam satu komunitas Kampus Fiksi yang fenomenal itu, bisa kutegaskan tidaklah berlebihan bila adanya kuanggap layaknya a dream comes true. Mimpi yang benar-benar menyata.

Antara Menikmati Kesendirian dan Merayakan Kebersamaan

Hal pertama yang sangat membekas dari Kampus Fiksi tentunya pertemuan dengan orang-orang hebat yang selama ini hanya bisa kukagumi lewat rangkaian-rangaian kalimat magis di media-media sosial dan buku-buku bacaan. Aku berangkat dari Malang dengan menyandang status amatiran. Malu-malu mengaku diri sebagai penulis. Nyatanya, memang aku belum pernah percaya diri dan tak punya kadar keberanian yang cukup untuk menahbiskan diri sebagai penulis. Sebutan itu terlalu sakral bagi seseorang sepertiku yang proses menulisnya masih ditopang oleh suasana mood yang tak stabil dan semangat menulis yang masih labil. Harapanku besar, semoga ada yang berubah dari diriku sekembalinya aku dari Yogyakarta nantinya, pikirku waktu itu. Maka 23 September 2016 kucatat sebagai peristiwa peletakan batu pertama renovasi diri.

Tibalah aku di kota pemasok rindu yang berlimpah-limpah itu. Yogyakarta begitu sendu ketika kakiku menapak peron stasiun Tugu. Lebih sendu lagi karena aku berkali-kali salah memberi informasi ke Mbak Ve tentang lokasi kedatanganku.

Sebelumnya, beberapa menit sebelum kereta berhenti di stasiun terakhir, aku menyimak baik-baik nama stasiun yang akan disebut. Sial, suara itu hanya mengatakan bahwa 'kereta akan berhenti terakhir di stasiun Yogyakarta'. Bodohnya aku, tak paham bedanya Stasiun Tugu dan Lempuyangan. Ditambah lagi, semesta seolah berkonspirasi menjaili keluguanku dengan menyampirkan ilusi singkat di kedua mata. Aku menangkap satu tulisan yang baru saja terlewat melalui jendela kereta: Stasiun Lempuyangan. Kutanyai ibu tua di depan kursiku. "Ibu, ini terakhir stasiun apa?" Ibu itu menjawab, Stasiun Lempuyangan, Dik. Baiklah, aku panik-panik tipis. Kuhubungi Mbak Ve lewat inbox Facebook.

"Mbak Ve, ternyata saya malah nyampenya di stasiun lempuyangan. Padahal saya pesan tiketnya stasiun tugu 
 
*Miko lugu banget ya Allah..."
Kukira akan kena marah, Mbak Ve malah menertawaiku. Aku berprasangka baik, mungkin mood Mbak Ve sedang bagus. Entah sedang jatuh hati atau apalah, manalah kutahu. Aku disuruh menunggu di tempat aku sampai. 

Kebingungan yang terjadi berikutnya justru semakin ribet. Percakapan di telepon genggam itu berbelit-belit. 

"Sebenarnya kamu di mana? Ada ancer-ancer apa di sana?" Kira-kira begitu tanya mas yang menjemputku. 

"Stasiun Lempuyangan, Mas. Aku berdiri di pintu keluar timur, dekat parkiran taksi yang banyak-banyak ini."

"Ini aku udah di Lempuyangan, kamu pakai baju apa?"

"Kaus biru tua, celana jin biru agak terang."

Kutangkap diskusi singkat antara mas itu dengan co-sopir.

"Coba lihat sekelilingmu, ada gedung apa saja di sana?"

"Anu, ini di depanku, ada hotel Malioboro, Mas."

"Allah... itu stasiun Tugu. Bukan Lempuyangan."

Aku pucat. Bagaimana aku bisa sebego itu? Tidak bisa memastikan di stasiun mana aku datang. Benar-benar payah. Aku merasa bersalah sekali pada mas yang menjemputku itu. Semakin bersalah karena setelah akhirnya beliau berhasil sampai di tempatku berada, aku masih saja tak lurus memberi arah.

"Kamu di mana? Ini saya sudah di stasiun Tugu."

"Ini, di dekatku ada banyak tukang becak, Mas."

"Kamu di pinggir jalan, nggak?"

"Iya, Mas, saya di pinggir jalan kok ini." (Pinggir jalan versiku ternyata berbeda dari yang dimaksud oleh si mas).

Setelah melalui perjuangan panjang yang berliku dan melelahkan. Kemelut itu berhasil diurai. Aku dan mas yang menjemputku bertemu. Aku sudah siap diri untuk dimaki-maki. Atau apapun itu hukumannya, akan kuterima dengan lapang dada, asal tidak diminta tiba-tiba melamar Sandra. Kan, sangat tidak rasional. Syukurlah, ternyata kedua mas-mas yang menjemputku itu baik sekali hatinya. Tak ada makian yang terlontar. Hanya menertawai keluguanku. Aku belakangan diperkenalkan bahwa dua mas-mas lajang menantuable yang menjemputku itu bernama Imam dan Reza. Semoga Allah memudahkan jodoh keduanya karena telah bersabar menemukanku yang hampir kehilangan arah dan terlunta-lunta tanpa tujuan. Paling tidak, kejadian itu memberikan kesan yang susah untuk kulupakan. Menjadi bahan candaan yang seru untuk ditertawakan kapan-kapan bila aku kembali ke sana. Menertawakan kekonyolan-kekonyolan dalam hidup kita, bukankah juga bagian dari seni menikmati usia?

Sebagaimana telah kusinggung sebelumnya, hal paling mencengangkan dari keikutsertaanku di Kampus Fiksi adalah pertemuan dengan para penulis dari berbagai latar belakang. Tiada pakem mutlak yang menegaskan bahwa penulis haruslah penghuni civitas universitas Sastra. Satu keraguanku gugur sampai di situ. Namun sialnya kambuh lagi kala kuperkenalkan diriku pada beberapa peserta yang baru datang malam itu dan beradu temu di meja makan.

"Udah pernah menerbitkan berapa novel, Mas?"

"Baru lima, Mik."

Ha-ha-ha-ha baru lima! Baru lima! B a r u  l i m a ! Itu, yang bilang begitu, kuberitahu kau, tolong catat baik-baik dan rapalkan, inisialnya S Y A I F U L L A N. Novel terbarunya sudah show off di rak-rak utama Gramedia dengan keseksian tingkat tinggi. Ciutlah aku sementara itu. Jawaban berbubuh 'baru' itu juga kudengar dari Mas Redy yang bahkan semangat menulisnya lebih gila lagi padahal doi itu juga harus bekerja. Sudah lima novel yang dia telurkan, sependek ingatanku tentang percakapan malam itu. Dalam sehari  beliau mematok empat jam penuh yang konsisten untuk menulis. Nyungseplah aku ke kolong meja andai tak malu pada perempuan-perempuan peserta yang juga tengah khusyuk mengunyah di seberang sana. Aku siapalah di antara orang-orang hebat ini? Mereka adalah penulis yang benar-benar sudah jadi. Lah, aku? Menulis skripsi saja masih sempoyongan macam kera sakti keracunan sayur asem basi. Duh, Gusti....

Dialog-dialog ringan berikutnya setelah acara pembukaan acara masih berkisar seputar siapa kami-kami yang datang dari jauh itu dan bagaimana kami menjalani proses menulis masing-masing. Kawan-kawan baru, cara pandang baru. Sedikit mengobati kegundahanku tentang jauhnya keberadanku dibanding semua mereka. Aku selalu suka momentum semacam itu. Berjumpa kenalan baru, bertemu orang asing yang bersedia diajak berkawan, adalah kenikmatan tiada tara bagi sosok banyak bicara sepertiku. Aku menyukai pertemuan-pertemuan. Sungguh. Dapatlah kautebak negasinya, kan.

Malam itu aku berpikir tentang sesuatu yang sangat vital. Bahwa selama ini, aku masih terbelenggu oleh cakrawalaku yang sempit tentang dunia kepenulisan. Aku merasa sendirian. Kutemukan celah itu, kelemahanku. Aku butuh ingar bingar seperti itu untuk menahbiskan diri menjadi penulis. Aku adalah representasi paling nyata dari titel zoon politicon itu. Aku bisa saja berjalan sendiri. Menikmati hidup tanpamu, Ntan. Aku sanggup. Aku dapat menghabiskan malam-malam pengap penuh khayalan-khayalan tentangmu, Ntan, sendirian. Lantas menuliskannya sebebas-bebasnya di mana pun yang kumau. Namun, untuk benar-benar memantapkan dedikasi diri untuk menjadi penulis, aku butuh kawanan. Kawanan itu kutemui di sana. Kampus Fiksi segera menyediakan rumah untukku pulang. Pulang sebagai bagian dari orang yang ingin dikenang oleh sejarah dan peradaban masa depan. Dan, apa yang kurasakan itu, simpul yang kukebat itu, ternyata adalah juga slogan keren yang dipelihara dengan sangat baik oleh para seniorku di komunitas itu. Maka, kutawarkan diri pada mereka, untuk dianggap saudara. Bagaimana, Mas Reza? Apakah diterima?

(Bersambung)

Komentar