PERSIMPANGAN

Aku tersesat di suatu persimpangan jauh. Jumlahnya enam. Eh, tujuh. Eh, delapan. Eh, entahlah. Aku tak tahu. Semuanya mengungkung seperti jari-jari sepeda tua ibuku, dan aku berkunang-kunang di sumbunya. Berkelindan seperti geligi-geligi berkarat. Aku menggapai kait-kait langit serupa suluh semangka yang menggelantung di antara sepasang bola mata cokelat tua. Di bawah atap merah darah yang memburam ketika senja turun seperti merpati jinak. Gapaianku tak tuntas, aku terhempas lepas dari persimpangan itu dan terlempar ke suatu ruang antara hitam dan putih yang pucat. Aku gamang menerka dan membaca arah angin yang berputar-putar di kepalaku. Ruang itu merekah ke segala penjuru. Mengembang seperti roti terendam ragi. Menggelembung laksana balon-balon warna-warni yang kuhadiahkan padamu pada suatu annyversary. Lalu aku melihatmu tersenyum di langit. Mengutukku jadi batu, lalu menghantamku dengan palu, hingga mendebu. Setelah semua gelap itu perlahan menyurai dari pandanganku, tiba-tiba aku berdiri di suatu pertengahan. Aku tersesat di suatu persimpangan jauh. Jumlahnya enam. Eh, tujuh. Eh, delapan. Eh, entahlah. Aku tak tahu.
________
(Malang, 25 Oktober 2016)

Komentar