MENENGGAK AROMA KEMATIAN (Memutar kembali adegan tragedi gempa 30 September bukan PKI)

Kita telah sama-sama melipat waktu tujuh tahun yang berlalu itu dan menyimpannya jauh di suatu tempat yang kita sebut belakang. Namun siapa yang akan menyangka ketika hari ini aku menyadari suara terjunnya jarum detik itu dari pucuk angka dua belas tengah malam, tujuh tahun bahkan terasa bagai seminggu saja. Aku lantas terhenyak disergap keheranan yang tak perlu: "Apa benar sejumlah itu waktu yang telah berlalu?" Memang, pertanyaan retorika belaka. Tipikal manusia-manusia yang mudah dibuai lena.

Belum lekang memoriku--walaupun dibutuhkan sedikit usaha untuk meraba-raba serpihan-serpihan detail kejadiannya--tentang kiamat kecil yang menimpa tanah kami. 'Minangkabau menangis', kata mereka, para penjaja air mata duka di televisi-televisi mana saja. Dari Jakarta, hingga Amerika. Jeritan itu menggema menyesaki kolong langit. Sampai-sampai seluruh dunia tahu kecuali, mungkin, Timbuktu dan Honolulu, tentang kehancuran lahir batin yang memporak-porandakan rumah kami. Dan aku, berada persis di sana. Di pusat keramaian para malaikat pencabut nyawa yang mondar mandir mengintai entah siapa.

Bila masa tumbuh kembang ayahku bersinggungan dengan tragedi 30 September berdarah-darah yang menyejarah itu, maka aku pun juga didera kepahitan yang tak kalah mencekiknya. Tepat di tanggal dan bulan yang sama, aku hampir mengucapkan selamat tinggal pada dunia seisinya. Untuk satu hal itu, berdasarkan perenungan ilmu cocokologi mumpuni yang kumiliki, aku menjadi semakin yakin bahwa buah jatuh memang tidak akan jauh dari rumpun pohonnya.

Adegan kejadian itu sekarang tergambar terang benderang dalam benakku. Hari masih belum terlalu senja, sekitar pukul setengah lima. Setengah lima di kota Padang tentulah tak sama dengan di Wamena. Matahari masih perkasa menggagahi semesta kota. Angkuh sebagaimana yang kita semua tahu. Aku, dan karibku, sebut saja namanya Rizki baru saja meninggalkan area parkir MAN 2 Padang dengan menunggangi sepeda motor buatan Jepang-nya. Kami bau keringat. Khas remaja lelaki yang sedang mengalami pubertas stadium tinggi. Berseragam sekolah khusus pelajaran olahraga. Badan gerah. Perut meronta. Kata Rizki, kita ke Jati saja. Cari makan, atau sesuatu yang lain. Aku bilang, baiklah.

Kami meluncur keluar dari wilayah Gunung Pangilun. Meretas jalanan Gadjah Mada yang lebarnya selalu dimanfaatkan oleh para supir angkutan kota bertampang mobil balap itu dengan penuh keteladanan: arena adu ketangkasan berkendara.

Sepuluh menit berlalu, perguruan Adabiah telah kami lampaui. Muncullah celetukanku dari jok belakang pada Rizki. Bagaimana kalau kita singgah di warnet dulu? Sudah lama aku tak update status facebook, kataku. Rizki bertanya, sejak kapan? Kujawab, sejak kemarin malam. Dia terkekeh. Kami menepi ke deretan warung internet di seberang SMA 10 Padang. Kukabari engkau, Kawanku yang super, para generasi harapan bangsa penggila Youtuber. Di tahun itu, 2009, kami manalah paham cara menggunggah curhatan lewat media tontonan. Keranjingan update status di wall facebook saja rasanya sudah seperti dapat jatah ciuman pertama. Meskipun, kau mungkin juga mengalami, cara kami menulis tidak lebih baik dari anak sekolah dasar kelas satu. Kalimatnya keriting-keriting. Dan butuh perenungan mendalam untuk kau dapat menggali maknanya. Facebook waktu itu adalah candu. Melebihi yang mampu ditebarkan oleh tatapan matamu.

Kami memarkir sepeda motor di halaman warnet. Rizki masuk dahulu, aku mengekor kemudian. Amboi, tahulah aku bahwa yang terjangkit virus update status itu bukan hanya aku, tetapi juga puluhan remaja berseragam serupa. Semua bilik PC di warnet itu sesak oleh para calon penerus bangsa, kecuali satu bilik saja di dekat pintu keluar. Bentuknya lesehan di lantai. Dilingkupi kotak tripleks setinggi pinggang yang bila duduk, akan menenggelamkan tubuh di sebaliknya. Aku ragu. Dekat pintu terlalu berisiko. Meskipun biliknya aman dari intipan iseng petugas operator, tetap saja tak leluasa bila aku ingin mengapa-apa, misalnya, mengunduh foto-foto alay cewek incaran di sekolah.

Rizki menguatkan keyakinanku untuk menggunakan saja PC yang tersedia itu. Jadi orang jangan banyak menuntut. Syukuri apa yang ada, seperti sabda Bang Rian D'Masiv, kan. Terlanjur basah, aku pun menerima. Duduklah kami berdua di satu bilik itu yang memang cukup lapang seandainya ingin dimanfaatkan untuk suatu kegiatan yang membutuhkan ruang gerak ganjil yang menguras tenaga. Praktik senam aerobik, misalnya.

PC menyala. Kami menanti proses booting dengan rindu menggebu-gebu pada status-status terbaru yang mungkin telah penuh sesak di laman feedback akunku. Kami telah sepakat sebelumnya untuk membuka akunku dahulu, akun Rizki kemudian. Sementara menunggu, dua botol cola dingin telah pula dipesan Rizki. Soreku terasa semakin sempurna.

Log in billing berhasil. Aku bersuka cita. Kuketiklah url facebook di kolom atas browser. Kutunggu dengan penuh kesabaran dan ketenangan memesona. Berhasillah aku log-in kurang dari dua menit selanjutnya. Merekahlah senyumanku mendapati update foto dari seorang cewek cantik taksiranku yang tengah terpampang di beranda. Aku sumringah. Segera saja aku menge-klik akunnya. Ingin kukomentari postingannya itu. Memuji betapa jelitanya ia.

Telah kuketikkan beberapa penggal kalimat.

Aku tersenyum sekali lagi. Kemudian memandangi Rizki. Karibku itu mengerti apa yang kumau. Kirimkan saja, ujarnya mantap.

Jari telunjukku bergerak. Kurang dari sepersekian detik lagi, kata-kata pujian puitis itu akan melesat cepat menyapa pemilik akun berwajah lucu-lucu menggemaskan itu.

Aku berhitung dengan waktu.

Tiga.

Dua.

Sa--

Saat itulah kiamat itu terjadi.

Belum sempat aku menuntaskannya. Telinga kami mendadak dipekakkan oleh suara deru deram yang ingar. Aku pucat. Memaku. Tempat duduk kami bergetar. Tidak hanya bergetar. Tapi berguncang. Guncangan yang teramat kasar.

Rizki refleks berdiri. Kususul dengan wajah pias dan barangkali sudah sepasi kulit pari.
"Gempa!!!"

Seisi warung berkecamuk. Teriakan memantul-mantul hebat menghentak dinding, atap, lantas menabrak kesadaranku. Mekanisme pertahanan diriku segera bertindak. Aku sigap berdiri.

Kudengar suara berdentum keras dari belakang. Aku tak sanggup menoleh. Aku menerka bahwa gedung bagian belakang telah rubuh.

Kami melompati bilik PC dengan sekali gerak. Pintu keluar satu-satunya di bagian depan serta merta sesak. Manusia-manusia muda berseragam sepertiku dan Rizki berimpit-impitan mencari jalan keluar. Rupanya kami kalah cepat. Bayangan menakutkan segera menggelayuti akal sehatku sebab gempa tak kunjung reda, malah bertambah ganas intensitas getarannya.

Aku pasrah. Baru pertama kalinya aku mengalami ketakutan semencekam itu yang menutup semua celah jalan berpikirku. Aku terhuyung, berdiriku tak tegak lagi. Aku menopang pada dinding. Memantik kepasrahan berikutnya. Sebentar lagi aku mati. Saat itu, yang mampu kuingat hanya satu: dosa-dosaku.

Aku berbisik lirih pada Tuhan. Bahwa jika aku mati di tempat ini. "Akankah aku Kau maafkan?"

"Ko! Miko! Cepat keluar!"

Rizki menarik paksa tanganku begitu melihat ada celah di pintu. Tidak kurasakan lagi sakitnya jari kaki yang membentur sendi pintu. Kami berdua melesat keluar dari ruangan itu.

Tak mampu kutahan gemetar tubuhku seketika kaki-kaki telanjang kami menginjak aspal dan memandangi jalan raya yang menghampar di depan. Pengendara sepeda motor bergelimpangan. Mobil-mobil bertabrakan. Berkali-kali aku tumbang. Setiap kucoba bangkit, setiap itu lagi guncangan bumi membuatku terperosok kembali.

"Allahu akbar!"

"Astagfirullah!"

Kalimat-kalimat itu diteriakkan di mana-mana.

Belasan langkah dariku, serombongan siswa berseragam sepertiku berwajah oriental menangis tersedu-sedu seraya tak putus-putus melantunkan nama Yesus Kristus.

Seumur hidupku, tak pernah kutemukan pemandangan keputusasaan yang teramat dalam melebihi saat itu.

Senja itu, 30 September 2009, pertama kalinya  dalam hidup kurasakan betapa nyatanya keberadaan Tuhan.

Aku terisak sendiri, terpisah dari Rizki. Air mataku menghunjam ke dada. Di detik itulah kutemukan rupa paling rapuh dari diriku di rentang 17 tahun yang telah kuhabiskan di muka dunia. "Ya Allah, bila aku mati hari ini, kumohon, jangan campakkan aku ke neraka...."

***
Seingatku, gempa itu berlangsung sangat panjang dibanding yang pernah terjadi. Lima belas menit kurang lebih kami diguncang sedahsyat itu. Setelah getarannya mereda. Aku masih tidak tahu cara berdiri di atas kakiku. Hingga Rizki kembali menyadarkanku.

"Cepatlah. Kita harus pergi dari sini."

Jika kau orang Padang, atau setidaknya, berdomisili di sana, jamak dipahami bahwa gempa, adalah jodoh yang harmonis bagi Tsunami. Semakin menjadi-jadilah kegemparan itu.

Lautan manusia tumpah-ruah di jalan raya. Semua orang berlarian kesetanan menyelamatkan nyawa sendiri-sendiri. Percayalah padaku, saat itu, kau tak akan lagi peduli pada perempuan bertelajang bulat yang terus berlarian meninggalkan rumahnya tanpa sadar bahwa bagian-bagian intim tubuhnya telah terbuka sempurna, hanya dilindungi oleh busa sabun yang belum sempat dibilas. Kau sama-sekali tak peduli akan itu. Menyelamatkan selembar nyawa di tubuhmu dari ancaman sabetan pedang kematian jauh lebih utama dan menyita segala-galanya.

Rizki menegakkan sepeda motornya yang tergeletak di halaman warnet. Kami bersyukur ia bisa menyala.

"Kita ke mana, Ki?" tanyaku panik, bergemetar.

"Saat ini yang kita khawatirkan adalah gempa susulan dan Tsunami. Kita harus mencapai dataran tinggi."

Daerah Jati dan sekitarnya, sesungguhnya berada tidak jauh dari bibir pantai Padang. Bila kekhawatiran itu tidak meleset dari perkiraan, kami sungguhlah tidak punya banyak waktu untuk selamat. Jangan kira setelah gempa hebat itu mereda, kami telah aman. Tidak, Kawan. Malaikat maut masih belum pergi. Ancaman kematian masih menyata di pelupuk mata.

"Kita ke rumahku sekarang. Ke belimbing. Di sana cukup tinggi." Rizki mengambil keputusan penting. Aku diam di belakang. Kami berpacu dengan waktu. Rizki mengarahkan tujuan kami kembali ke Gunung Pangilun. Sial. Dua lajur jalan raya tiba-tiba berubah menjadi satu arah. Semua kendaraan melesat berdatangan dari arah yang ingin kami tuju.

Rizki segera berputar. "Kita ke Indarung!"

Aku mengangguk. Mataku masih basah. Sepanjang jalan, kulihat asap pekat di mana-mana. Teriakan kepanikan menguar memenuhi udara. Gedung-gedung penting runtuh berserakan di mana-mana dan rata dengan tanah. Tiang-tiang listrik bertumbangan. Salah satunya menimpa sebuah rumah. Seketika nayala api merebak tinggi. Merah darah. Aku tak tahu lagi berapa kematian yang telah berjatuhan senja itu.

"Ko! Buntu!" Rizki kembali mengerem mendadak. Sampai di perempatan RSUD M. Djamil, kami terpaksa kembali berhenti. Sama sekali tak ada celah untuk lewat. Macet parah. Ini benar-benar buruk.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aku tidak mampu lagi memikirkan jalan keluar apapun. Satu-satunya jalan yang terbuka hanyalah masuk ke areal rumah sakit. Ke sanalah akhirnya sepeda motornya diarahkan Rizki. Dengan kepasrahan mendalam, kami berhenti melarikan diri. Di areal parkir kendaraan terluar rumah sakit, kami turun terduduk di tanah setelah sebelumnya kepalaku nyaris pecah dihantam tiang baliho besar yang tumbang--andai saja Rizki tidak menyeretku menjauh. Aku menunduk dalam-dalam. Kami terdiam. Langit mulai gelap gulita. Listrik putus total. Waktu magrib yang biasanya selalu ramai oleh gema azan, hari itu berganti raungan ambulans dan pekikan kematian.

Aku menenggak semua aroma keputusasaan itu bersama Rizki di halaman RSUD M. Djamil. Menggeletak tanpa perlawanan. Kalah. Terpaksa bungkam menyaksikan reruntuhan peradaban. Menatap pasi deretan mayat yang bergelimpangan. Menghitung waktu yang tersiksa. Menunggu ajal masing-masing.

Aku tidak akan pernah lupa. Tujuh tahun lalu, di jam yang sama saat tulisan ini kuakhiri, kami mungkin adalah manusia yang baru terlahir ke dunia. Lolos dari ancaman Tsunami yang sudah siap kami terima dengan kepala tertunduk ke tanah.

Tujuh tahun yang lalu, Tuhan masih sayang pada kami yang masih bernyawa hingga hari ini. Iya, saat itu, Tuhan mungkin berfirman kepada para malaikatNya, "Biarkan mereka hidup. Tangguhkan azab untuk mereka, untuk sementara."

Malang, 1 Oktober 2016
Mengenang bencana terbesar di bumi Minangkabau, tujuh tahun silam.

Komentar