Kefanaanku

Keabadian tak hadir di sela-sela huruf yang bertalian membentuk nama-nama kita, Sayang. Ia lebih suka bermasyuk ria dengan kerinduan pahit yang kukecap di sepanjang jalan menuju lobus-lobus terjauh di relung kepalaku. Akankah ia fana? Mana kutahu. Kadang ia lelap saja sebentar, sementara aku tertawa pias-pias menyesap teh-teh panas yang basi, beserta hati yang ditekan semati-mati. Bisa saja beberapa kedip kemudian, ia menyala terang bagai api abadi di kuil-kuil Zoroaster, memberangus kewarasanku. Lantas bagaimana mungkin kutahbiskan diriku sebagai pejuang yang memenangkan perang melawan kenangan? Sedangkan dari sudut jauh saja kulihat kau tersenyum, pada dedaunan yang menguning di ujung taman kampus kita, tektonik dua digit seolah diruahkan ke dalam jasadku. Bingar. Ingar. Hingga rasanya sangkakala disegerakan tiupannya detik itu jua. Bila nama-nama kita tak abadi, bisakah kematian menjadi kefanaan satu-satunya bagi perasaan purbaku ini, Sayang?

(Malang, 24 Oktober 2016)

Komentar

Posting Komentar