Dilatasi Mimpi

Bahkan sekarang, Maudy Ayunda pun ikut menyemangatiku nulis skripsi.

Kami barusan berada dalam satu mobil yang sama. Dia yang menyetir, tentu saja. Karena aku hanya bisa mengendara sepeda, skill paling tinggi, sebatas menunggang Yahama Bison milik teman yang beberapa kali kupinjam untuk jalan-jalan ke gunung atau ke pantai.

Maudy mengantarku ke stasiun, dia akan melepasku di sana.


"Secepat ini?" tanyaku seraya menarik senyuman yang tiba-tiba terasa pahit. Dia mengangguk lucu. Mengerling, dan seketika senyumannya menumbangkan pertahananku. Dia tampak sangat cantik sedekat ini. Apalagi dengan tingkahnya yang manja itu.

"Sabar. Kamu harus menyelesaikan skripsimu, kan." Tuhan... terasa sejuk sekali rangkaian kalimat yang meluncur dari bibirnya yang sore ini tak diolesi gincu merek apapun. Namun tetap tak berkurang pesonanya sedikitpun.

Aku lagi-lagi tersenyum padanya, dengan pelupuk yang makin memberat.

"Aku pasti bakal kangen banget sama kamu, Di." Aku berbisik lirih, mulai mendayu. Kuraih pipinya dan kuusap lembut dengan tangan kananku. Bermain-main lama jemariku di situ, menelusuri rambut legamnya. Dia tak menampik. Dia hanya tersenyum. Matanya sesekali menatapku syahdu, selain tentunya memandang awas jalan raya yang kami tempuh.

"Iya, aku tahu. Aku juga bakal kangen sama kamu, Mas. Makanya, cepat-cepat lulus, ya, lamar aku...."

Semakin dekat ke stasiun, tiba-tiba aku tertegun, mengingat sesuatu. Aku ingin menanyakam perihal penting itu padanya. Bahwa bukannya dia sudah punya pacar? Tentang foto lelaki yang sering dia unggah di akun instagramnya itu, berdua, mesra. Mendadak dadaku panas. Kecemburuanku mendidih. Aku lantas diselibungi kegerahan yang bergelora, meski di luar mobil, hujan sedang mengganas. AC pun bahkan masih menyala sempurna.

"Di, aku ingin kamu jawab pertanyaanku dengan jujur...." suaraku tak lagi terkendali. Nadanya rumpang bergelombang di sana sini. Kuelus lagi pipinya, sambil menatap tajam. Dia memandangku sekilas dengan gerakan alis tebalnya yang merepresentasikan rasa heran mendalam.

"Kamu mau tanya apa?"

"Begini...."

Belum sempat aku menyampaikan pertanyaan penting itu, seseorang menjatuhkan ember di depan kamarku. Bunyi glutak glutak nyaring itu membuatku terbangun. Sialan! Sungguh sialan! 
 _________________
Malang, 6 Oktober 2016
Pukul 15:30 WIB
Ini bukan Fiksi, tak pula nyata. Hanya mimpi indah yang tak sudah.

Komentar