Mati Rasa

Aku sudah lama tidak bisa merasakan apa-apa.
Maksudku, bukan indraku menjadi tumpul dan kehilangan kemampuan sensorinya. Tidak demikian. Aku masih terjungkang kaget kala kulit kakiku tertumpah tetesan air panas menggelegak dari gelas kopi (ya, kau tak akan percaya, aku sekarang mulai suka minum kopi). Aku juga masih mengeluhkan bau keringat dan asap rokok dalam ruang angkot ADL yang pengap dan bikin sesak, kecuali bila hidungku mampet. Soal indra penciumanku yang kadang bahkan menangkap bau ilusif seperti wangi parfum mantan yang tiba-tiba merebak padahal orangnya tak di sisi, itu lain hal. Poinnya, lima indra utamaku masih normal.

Yang tidak normal adalah indra lain tak kasat mata yang tak kutahu sebutannya apa.

Pernahkah kau merasakan sesuatu yang rumpang dalam dirimu, tapi meski telah merangkum berbagai kemungkinan dalam kepalamu, kau masih tak jua berhasil menemukan bagian mana yang hilang? Itu yang kurasakan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak bisa kurasakan dalam tubuhku. Rasa-rasanya aku telah mencubit keras-keras kesadaranku, tapi tetap tak berasa.

Apakah kau pernah merasakan sebagaimana yang kupaparkan itu?

Lebih menyesakkan lagi ketika tak berhasil kutemukan jawaban atas kehilangan tak berwujud itu, aku masih saja diburu rasa penasaran tak hingga yang terus saja menggigit-gigiti otakku kala malam menggelap dan aku bersiap rebah untuk mencapai lelap.

"Apa yang salah dengan diriku?"

Maka kulakukan hal-hal berikut ini dalam setiap kesempatan yang kupunya. Satu, membiarkan gigil merambati tubuh ketika hawa dingin Ranu Pane sedang mengamuk di titik paling rendahnya pada suatu malam yang basah oleh gerimis yang tak mau usai. Dua, di lain waktu, aku sengaja berjalan kaki sekian kilometer di tengah sengatan terik matahari yang menggelegak, kala siang sedang berdiri angkuh di puncak langit, hingga napasku tersengal, hingga kulitku yang sudah cukup gelap ini semakin berjelaga. Tak jarang bila bertemu teman lama, kalimat sapaan yang jamak kudengar pertama kali adalah 'Mik, kok makin hitam sekarang?'. Tiga, aku menghasut beberapa teman untuk main ke pantai. Bila sudah sampai di tempat yang dituju, aku akan buka baju, meresapi aroma laut dan desau tempiasnya yang memercik ke pori-pori kulit. Aku menyelam di bawah ombak, menahan napas sekuat yang kubisa. Bila aku lelah, aku berbaring di bibir pantai, menatap langit, menikmati gelitik pasir halus dan hewan-hewan kecil yang sesekali menggigit dan menimbulkan bintil-bintil merah pada kulit.

Kulakukan beberapa hal itu demi satu maksud yang belum tersampaikan. Demi mencari jawaban yang belum kunjung kudapatkan.

"Apa yang salah dengan diriku?"

"Aku merasa rumpang, tapi bagian mana?"

Kau lihat, kan? Kau baca, kan? Aku bisa merasakan semua stimuli-stimuli fisik itu dengan amat detail. Aroma laut. Gelitik pasir. Perihnya terpanggang siang. Busuknya bau kentut. Aku bisa merasakannya.

Tapi tetap saja. Ada yang tak bisa kurasakan. Aku merasakan sesuatu yang tak bisa kurasakan dalam tubuhku.

Apakah perlu aku berjalan kaki dari Malang ke Rinjani dulu, untuk menemukan rasa yang hilang itu?

Atau, bukan hilang. Tapi mati.

Ada rasa kematian.

Tapi aku tidak tahu, bagian mana di dalam tubuhku yang telah mati.
___________
Malang, 14 Oktober 2016
Miko Waldufri

Komentar