Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2015

Pangkas Rambut

Kejadiannya tidak hanya sekali, selalu saja seperti itu, berulang-ulang. Sialnya, ujungnya pun selalu sama: mesti aku yang harus mengalah. Aku tidak berbuat apa-apa setiap kali itu terjadi. Memang tidak ada yang bisa kulakukan selain tertunduk pasrah membiarkan suaranya berdesing-desing di dekat telingaku. Aku mematung menyaksikan dengan nanar helai-helai halus itu ia porak-porandakan lalu berserakan di lantai seperti dedaunan tua yang digugurkan angin. Kupejamkan mataku, aku tidak tahan lagi membiarkannya memperlakukanku seperti ini, tapi lidahku terkunci tanpa sanggup melontarkan sepatah pun kalimat protes.  Setelah semuanya berakhir, aku melihat pantulan wajahku di cermin dengan kekesalan yang menggebu-gebu. Itulah alasannya kenapa aku tidak pernah bisa nyaman dengannya, tidak juga dengan semua orang sepertinya, karena tidak satupun dari mereka yang bisa memahamiku. Aku turun dari kursi itu, kurogoh saku celana mengeluarkan selembar sepuluh ribuan. "Te...

Kamu Adalah 'Selamanya'-ku yang Fana

Saya rasa, sapaan 'hai' saja sudah cukup mampu untuk mendeskripsikan bagaimana kondisi hati saya, setiap kali memulai chat di Line ke kamu. Yup, hanya di Line. Itu pun saya harus perang batin dulu sebelum memencet tombol ' send' agar tiga huruf plus tiga titik pendampingnya itu meluncur menyapamu di seberang sana yang 'entah sedang apa dan di mana, dirimu yang (selalu) kucinta, ku tak tahu tak lagi tahu, seperti waktu dulu '.

1000 Tahunku yang Hilang

"Ren! Reno! Kamu bisa nggak datang ke pesta ulang tahunku besok malam?" Teriak Engla beberapa langkah setelah aku meninggalkan ruangan kelas filsafat siang itu.  "Serius? Kamu benar-benar mengundangku?" Langkahku tertahan di depan tangga turun ke lantai dua, tersenyum kikuk. Padahal tadi aku sengaja buru-buru keluar kelas agar luput dari perhatiannya. Aku ingin tahu apakah dia masih memedulikanku dan mengundangku ke acara itu, ulang tahunnya yang ke dua puluh satu, pasti akan benar-benar spesial.  Apakah aku masih akan ada di  momen   spesialmu  itu, Engla ?   Bukan, pertanyaan yang lebih tepatnya  adalah:  masihkan  aku menjadi seseorang yang  spesial  itu?

Halo, Pengecut!

Gambar
Sumber gambar: swl-speranza.blogspot.com Sepanjang ingatan saya, sampai segede ini, saya belum pernah memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu atau yang biasa orang-orang istilahkan dengan fobia. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam nyeletuk dari belakang, "Kalau fobia sama mantan gimana, Mas? Juga enggak?" Belum, belum, senyesek apapun ketemu mantan, masih belum sampai ke taraf itu kok, tenang saja. Mantan itu bagaimanapun juga tetaplah salah satu anugerah terindah yang diberikan Tuhan. Yah, kayak yang dibilang neng Raisa, semacam Mantan Terindah gitu lah, kurang lebihnya. Sebab, katanya sih, kata

Elok Wujudmu yang Menghilang di Suatu Pagi Nan Buta (Sebuah Puisi)

Kita pernah berdiri di hampar pualam merah delima. Menyulam senyum di sepasang bibir ranum kala itu. Tertegun mengurai sabda cinta dan janji setia. Kau bak safir, tertanam elok pada sekeping cincin putih yang tak tersentuh. Bagai sebutir bintang kemilau yang disembunyikan kelam saat purnama telah berlalu lima belas hari. Kau berbisik laksana semilir aroma puspa yang menelisik halus ke dalam kesadaran lelakiku. Membangunkan segenap impian tentang harap ijab di suatu waktu yang kita namakan masa depan. Nafasmu hangat, melipurku dari kegundahanku akan senja yang telah asing, tanah yang tak berjejak, langit yang tak bertangkup, tegak yang tak bertiang. Lantas manakala jam dinding terjungkang pungkang dari angka dua belas, kau raib bersama tetesan embun pagi buta yang menguap dihisap kabut. Musnah beserta remah-remah cerita yang pernah kita dekap. Menghapus ribuan langkah yang pernah kita derap. Malang, 5 Februari 2015 Di bulan yang, katanya, penuh kasih sayang.

Janjimu Pada Setangkup Hatiku yang Dulu Layu (Sebuah puisi)

Ingatkah kau akan janji yang kautuangkan ke setangkup hatiku yang dulu layu? Ia bertumbuh tiada tahu musim dan zaman Nan berlari bak kilatan burak menuju arasy Tuhan: Cepat mekarnya. Hebat tegaknya. Lebat pengharapannya. Mencengkeram palung bumi hingga tujuh lapis kubur purba di dasar merapi. Janjimu sempurna memporak-porandakan tabir mimpi buruk di setiap langkah ringkih yang kupelihara diam-diam tanpa ucap. Ia bak duyung yang mengapungkanku kembali setelah terbujur menyasar lantai samudra beku di Atlantika. Bagai sehelai dawai syahdu di gitar tuaku yang kehilangan nada ria. Berselasar teduh, bertonggak teguh, bersirap rindang merencah masa. Lalu tatkala jenuh menerpamu di suatu malam nan legam, masihkah kau ingat akan janji yang kautuangkan ke setangkup hatiku yang dulu layu? Malang, 1 Februari 2014 Miko Waldufri