Kamu Adalah 'Selamanya'-ku yang Fana

Saya rasa, sapaan 'hai' saja sudah cukup mampu untuk mendeskripsikan bagaimana kondisi hati saya, setiap kali memulai chat di Line ke kamu. Yup, hanya di Line. Itu pun saya harus perang batin dulu sebelum memencet tombol 'send' agar tiga huruf plus tiga titik pendampingnya itu meluncur menyapamu di seberang sana yang 'entah sedang apa dan di mana, dirimu yang (selalu) kucinta, ku tak tahu tak lagi tahu, seperti waktu dulu'.


Itu adalah momen ketika saya merasa sangat merindukanmu dengan berbagai alasan, yang sebagian besarnya adalah kenangan. Misalnya, suatu pagi, saya iseng beli bubur ayam yang lewat di depan kontrakan. Mas yang jual menawarkan 'pakai seledri nggak, Mase?', saya terhenyak, serrrr, bunyi darahku. Saya teringat padamu yang apabila beli bubur ayam tidak pernah suka seledri. Kenangan sesederhana itu, bila terlintas tanpa diundang, langsung membuat suasana hati saya keruh bagai lumpur sawah dicampuri kopi. Kampret banget kan.
Sudah lewat 6 bulan, lebih sehari, kita putus. Tapi saya masih sempoyongan merengkuh hati yang nggak kunjung sembuh ini. Enggak, saya memang enggak berniat menunggu pergantian tanggal di pukul 00:01 agar ketemu tanggal 19 yang 'sakral' ini lalu mengucapkan selamat kepadamu seperti dulu-dulu yang hampir selalu saya lakukan: "Selamat tanggal 19, langgeng selalu denganku, ya. Jangan pernah bosan. Atau, boleh kamu bosan. Tapi, sebosan-bosannya kamu, jangan pernah berpikir untuk meninggalkan saya. Karena, saya hanya mau kamu selamanya. S e l a m a n y a." Sekarang saya mengerti, kata selamanya memang tak patut diucapkan oleh insan fana semacam saya ini.

Satu pertanyaan yang tak pernah habis menerjang saya setiap saat, sebagaimana air laut yang tak akan pernah kering ditimba dengan sebuah ciduk mungil: semelankolis inikah saya sebagai lelaki hingga begitu sukarnya melepasmu? Dan iya, tak berhasil saya temui satu jawabanku atas pertanyaan itu.

Bukan tidak pernah saya mencoba mengalihkan pikiran darimu. Kudekati beberapa makhluk indah sepertimu. Namun apa? Saat itu juga saya ingin segera menenggelamkan wajah saya ke bumi, sebab saya melihat wajahmu di wajahnya. Membuat saya merasa kejam telah 'berencana' menjadikan seseorang tak berdosa sebagai pelarian luka di diri saya yang makin ke sini makin parah saja.

Selalu, dan selalu, kenangan itu berputar-putar dalam kepala saya. Setiap itu terjadi, hanya membuat saya seperti orang gila yang menangisi kuburan yang telah lama mati. Sia-sia.

Saya masih ingat sekali, pertama kali kamu menyatakan perasaanmu bahwa kamu merasa beruntung memiliki saya. Itu adalah hari ketika saya merasa menjadi lelaki paling menang sedunia. Betapa tidak. Semua kita mulai hanya dengan cinta sepihak. Hanya dari saya, sedangkan kamu tidak. Bagaimana tidak luluh hati saya mendengar pengakuanmu itu setelah tiga bulan lamanya saya 'terkatung-katung' antara ingin menyerah dengan takut kehilangan seseorang yang terlanjur dicintainya?

Bodohnya saya, begitu saya dengar kamu berucap demikian, dengan begonya saya menanamkan keyakinan dalam dada bahwa saya dan kamu tidak akan lagi pernah dipisahkan. Berbagai janji saya utarakan, saya ajukan padamu untuk mengikat kita lebih kuat. Sehingga dengannya saya begitu percaya bahwa kita akan berhasil membawa ikatan hati itu selamanya. S e l a m a n y a.

Sekarang apa? Yang kutemukan hanyalah kefanaan. Kamu telah pergi. Semakin menyakitkan lagi karena saya paham, sekali kamu pergi, kamu tidak akan pernah kembali lagi pada saya. Dan kata selamanya itu akan berbalik menancap di tubuh saya, membunuh saya dengan perlahan. Karena, selamanya pula, kamu tidak akan pernah saya miliki lagi.

Komentar