Pangkas Rambut

Kejadiannya tidak hanya sekali, selalu saja seperti itu, berulang-ulang. Sialnya, ujungnya pun selalu sama: mesti aku yang harus mengalah.

Aku tidak berbuat apa-apa setiap kali itu terjadi. Memang tidak ada yang bisa kulakukan selain tertunduk pasrah membiarkan suaranya berdesing-desing di dekat telingaku. Aku mematung menyaksikan dengan nanar helai-helai halus itu ia porak-porandakan lalu berserakan di lantai seperti dedaunan tua yang digugurkan angin. Kupejamkan mataku, aku tidak tahan lagi membiarkannya memperlakukanku seperti ini, tapi lidahku terkunci tanpa sanggup melontarkan sepatah pun kalimat protes. 

Setelah semuanya berakhir, aku melihat pantulan wajahku di cermin dengan kekesalan yang menggebu-gebu. Itulah alasannya kenapa aku tidak pernah bisa nyaman dengannya, tidak juga dengan semua orang sepertinya, karena tidak satupun dari mereka yang bisa memahamiku. Aku turun dari kursi itu, kurogoh saku celana mengeluarkan selembar sepuluh ribuan.

"Terima kasih, Mas." Katanya sumringah menerima uangku.

"IYA SAMA-SAMA, PAK. TERIMA KASIH JUGA TELAH MERUSAK RAMBUTKU YANG SUSAH PAYAH KURAWAT SELAMA SATU SEMESTER TERAKHIR."

Yah, kalimat itu hanyalah umpatanku dalam hati seiring dengan langkahku menjauhi tempat pangkas rambut itu di suatu sore yang kelabu.

Komentar