Halo, Pengecut!

Sumber gambar: swl-speranza.blogspot.com
Sepanjang ingatan saya, sampai segede ini, saya belum pernah memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu atau yang biasa orang-orang istilahkan dengan fobia. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam nyeletuk dari belakang, "Kalau fobia sama mantan gimana, Mas? Juga enggak?" Belum, belum, senyesek apapun ketemu mantan, masih belum sampai ke taraf itu kok, tenang saja. Mantan itu bagaimanapun juga tetaplah salah satu anugerah terindah yang diberikan Tuhan. Yah, kayak yang dibilang neng Raisa, semacam Mantan Terindah gitu lah, kurang lebihnya. Sebab, katanya sih, kata
yang ngaku-ngakunya udah expert dalam urusan permantanan loh ya, "Dari mantan, kita bisa belajar banyak hal. Belajar peka, belajar bersabar, belajar menekan ego, belajar introspeksi diri lalu memperbaikinya untuk masa yang akan tiba. Dan yang enggak kalah pentingnya nih, dari mantan jugalah kita bisa terlatih patah hati dan terlatih disakiti." (Ngumpet di pojok kamar mandangin foto berdua sama mantan sambil ngelap ingus). 

Terima kasih kalian

Barisan para mantan

Dan semua yang pergi

Tanpa sempat aku miliki
*jreng jreng jreng*

Ada banyak macam fobia di dunia ini. Dari yang memang sepantasnya ditakuti seperti fobia terhadap hewan-hewan berbahaya, sampai ketakutan pada benda yang seharusnya bikin segar, misalnya mentimun. Seorang teman saya mengidap fobia ini. Bagaimana ceritanya ya entar kalau dia sudah waktunya bermain-main dengan 'mentimun' pas malam pertama? (Hush! Ngawur!). Saya tidak akan menguraikan teori-teori ilmiah tentang fobia dan sejauh mana batas suatu ketakutan itu bisa dikategorikan sebagai sebuah fobia. Dalam pandangan awam kita-kita ini, biasanya ketakutan-ketakutan kecil juga terkadang dibilang fobia. Kayak fobia mantan itu tadi. Mungkin memang nyesek, mungkin memang nggak pengen ketemu karena takut kebayang sakitnya, mungkin juga ingin lari dari masa lalu (orang-orang di kampung saya menyebutnya: move on), sehingga lama-lama keengganan untuk berhadapan dengan makhluk bernama mantan itu pun disisipi dengan kata 'takut', ujung-ujungnya dianggap fobia.

Jadi memang, kalau sekali lagi ditanyakan apakah saya fobia atau tidak, saya sih haqqulyaqin seratus persen bahwa saya nggak fobia terhadap mantan saya, yang ada justru kangen (buru-buru nelan aspirin dua puluh butir). 

Hanya saja, barangkali ada sedikit imbas yang membekas pada seseorang ketika dia gagal menjalin sebuah hubungan percintaan, dengan kata lain: patah hati. Fobia mungkin tidak, namun tidak menutup kemungkinan dia akan menunjukkan kehati-hatian (mungkin karena hatinya udah patah banget, jadi harus dijaga benar-benar) yang berlebihan yang justru mengindikasikan kesan trumatik dalam tindak-tanduknya ketika hendak memasuki kondisi yang serupa. Ada ungkapan bahwa manusia yang cerdas tidak akan terjatuh di lubang yang sama dua kali, kalau tidak dia pasti lebih dungu ketimbang keledai. Ini bisa saja terjadi pada seseorang yang hubungan percintaannya tidak menghasilkan apapun selain mantan. Harus saya akui dengan berat hati, keadaan yang barusan saya sebut itu, benar-benar gue banget!

Ngomong-ngomong soal patah hati, tidak hanya sekali saya mengalaminya. Sebelumnya pernah suatu kali, saya berpacaran dengan adik kelas dari zaman SMP yang setelah empat tahun berpisah, berjumpa lagi pada suatu hari yang cerah di penghujung bulan desember yang dingin. Setelah pendekatan sebulan, saya nembak dia, dia tewas menerima saya dan kami jadian. Sebulan-dua-bulan jalan, hubungan kami masih baik-baik saja, saya tidak sedikitpun mencurigai retak-retak halus di sepasang hati kami yang bertautan itu. Saya pun mulai yakin bahwa dia memang yang terbaik dan akan benar-benar saya seriusin—karena gaya berpacaran saya sejak zaman mesolitikum memang sudah begitu, tidak pernah sekadar main-main, melainkan selalu marriage oriented—sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi dan yang harus saya lakukan adalah memfokuskan pikiran pada cita-cita positif tersebut. Namun apa hendak dikata, malang tak dapat dinego mujur tak dapat diembat, memasuki bulan ketiga, dia tiba-tiba bilang, "Bang, kita berteman aja ya". Saya yang polos-polos bego itu sempat-sempatnya menanggapinya dengan gombalan, "Iya, Dik, kan kita memang udah berteman, teman hidup :)". Dia bilang lagi, "Abang boleh bilang aku jahat, kejam, tapi mungkin ini yang terbaik buat kita. Aku pengen kita putus, berteman aja". Saya segera lari ke dokter THT untuk cek kesehatan telinga, jangan-jangan saya mulai budeg sehingga salah dengar!

Ending-nya gampang ditebak, saya galau berbulan-bulan. Karena kenyataannya bukan telinga saya yang rusak melainkan sesuatu di dalam sini (nunjuk ulu hati). Saya butuh waktu kurang lebih setengah tahun untuk bisa melanjutkan hidup dengan sekeping hati yang tidak utuh lagi, bopeng-bopeng dicuil tikus cinta yang menjelma menjadi sesosok bidadari jelita (Permisi, Bang, gue mules!). Itu pun baru berhasil setelah saya pindah ke kota yang sekarang saya tempati, jauh darinya di ujung paling barat pulau Jawa sana. Saya sempat pesimis, saya tidak usah jatuh cinta dulu lah, toh nanti ujung-ujungnya pasti putus lagi, sakit lagi, patah hati lagi, entar lama-lama bisa habis dong hati ini dan akan lebih repot karena nggak ada asuransinya pula. Sampai-sampai, walaupun indera penglihatan saya mulai tertarik pada beberapa makhluk cantik bernama perempuan yang baru saya kenal, hati saya tetap menggeleng-geleng. I am single I am very happy aja deh, Mik, mendingan, nggak usah suka sama cewek, bisik si hati (Oh, Come on! Saya harus suka sama cowok, gitu? Amit-amit jabang orok! Sampai Gadjah Mada bangkit dari kubur lalu ikut pemilu presiden pun saya gak bakal sudi!).

Atas beberapa pertimbangan sok penting, saya mengabaikan keraguan itu dan memberanikan diri untuk mencoba peruntungan. Saya mendekati seorang teman baik yang akhirnya jadi pacar (sekarang mantan dong). Saya sangat bahagia ketika akhirnya hubungan itu dapat bertahan lebih lama ketimbang hubungan saya yang dahulu. Tidak ada rasanya yang lebih membahagiakan di dunia ini saat itu daripada kebahagiaan karena dicintai oleh seseorang yang juga kita cintai sepenuh hati dan jiwa. Saya mulai berani membicarakan masa depan (lagi). Berani mengatakan 'Aku sayang kamu, aku hanya mau kamu selamanya' saking besarnya harapan dan keyakinan untuk membawa hubungan ini ke penghulu nikah suatu hari nanti setelah lulus kuliah. Dengan congkak, saya mulai lupa dengan suara-suara pesimis yang dulu sempat saya idap bahwa 'toh ujung-ujungnya bakal putus'. Pernah ada teman yang mengatakan hal serupa pada saya ketika saya tanya alasan kenapa dia tidak ingin berpacaran, dengan tampang menyebalkan, saya malah menertawakan alasan pesimisnya itu yang padahal dulu juga pernah saya ucapkan pada orang lain. Sok sekali memang. Saya merasa semuanya sudah sangat sempurna dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi sampai prahara itu datang. Saya harus terlempar kembali di sebuah kekalutan dan kehilangan yang berkali-kali lipat lebih pedih dari sebelum-sebelumnya (Latarnya adegan kapal titanic mau tenggelam dengan soundtrack Kegagalan Cinta-nya bang haji Rhoma Irama).

Lalu di sinilah saya sekarang. Saya belum pernah mengidap fobia apapun sejak kecil, tapi jika ini dianggap sebagai salah satu bentuk fobia (dalam pandangan awam) maka saat ini saya sedang fobia dengan yang namanya jatuh cinta. Entahlah, saya merasa percuma saja. Malas mengulang prosesnya itu dari awal lagi. Belum lagi beban-beban masa lalu yang masih ngikut-ngikut. Bahkan pemikiran bodoh saya akhir-akhir ini sering sekali berputar-putar merenungkan asumsi pengecut seperti ini:  

"Apa iya cinta sejati itu ada? Toh pada akhirnya, sesayang apapun seseorang pada kita, suatu saat dia pasti bosan dan memilih untuk pergi. Ada yang menikah dan harus bercerai karena bosan dengan rutinitas rumah tangga. Jenuh dengan sikap pasangan yang tidak sesuai dengan standard kenyamanan yang dia pasang. Bercerai akibat kesenjangan cara pandang dalam menjalankan kehidupan bersama. Berpisah akibat taraf kesejahteraan yang timpang, salah satu merasa lebih hebat dari pasangannya. Ada juga yang kepincut dengan orang ketiga yang dianggap lebih memiliki daya tarik yang wow. Jadi, percuma saja pacaran, percuma saja menikah, toh ujung-ujungnya kalau bosan pasti bakal udahan gitu aja nggak peduli pihak yang ditinggalkan udah kadung cinta mati sekalipun. Jadi, nggak usah terlalu sayang, nggak usah terlalu cinta. Nanti kalau gagal, sakitnya bakal pedih banget."

Mungkin saya sekarang benar-benar telah bertransformasi menjadi power ranger seorang pengecut yang pesimistis. Memang sih, kita harus tetap berterima kasih pada masa lalu atas banyak pelajaran yang dia kasih. Tapi sejarah pasti akan terulang lagi sebagaimana pola yang sudah-sudah. Mengutip perkataan dosen Psikologi Abnormal saya semester lalu (NB: Saya nge-fans loh sama doi): "seperti lingkaran setan yang nggak putus-putus". Kecuali bila kamu bisa membuktikan padaku bahwa cinta sejati itu nyata. Kamu, iya, kamu! Yang belakangan sering ngode-ngode saya sambil tertawa cekikikan dari atas pohon bambu belakang kosan! (Lempar bunga tujuh rupa sambil baca ayat kursi!)

Komentar

Posting Komentar