1000 Tahunku yang Hilang

"Ren! Reno! Kamu bisa nggak datang ke pesta ulang tahunku besok malam?" Teriak Engla beberapa langkah setelah aku meninggalkan ruangan kelas filsafat siang itu. 

"Serius? Kamu benar-benar mengundangku?" Langkahku tertahan di depan tangga turun ke lantai dua, tersenyum kikuk. Padahal tadi aku sengaja buru-buru keluar kelas agar luput dari perhatiannya. Aku ingin tahu apakah dia masih memedulikanku dan mengundangku ke acara itu, ulang tahunnya yang ke dua puluh satu, pasti akan benar-benar spesial. Apakah aku masih akan ada di momen spesialmu itu, Engla? Bukan, pertanyaan yang lebih tepatnya adalah: masihkan aku menjadi seseorang yang spesial itu?

Engla mengangguk dan tersenyum lebar.

"Baiklah, aku akan datang." Seruku kemudian, lalu mataku jatuh ke lantai menghindari tatapan matanya, aku siap melanjutkan langkah. 

Sebelum aku berbalik, Engla mendekatiku tiga langkah. "Makasih, ya, udah mau datang. Kamu tahu, ini momen spesialku."

Aku tersenyum semanis mungkin. "Iya, aku tahu, aku akan berada di sana."

Lalu di sinilah aku sekarang, aku berada di ruangan besar ini seperti orang kebingungan. Aku berdiri di depan panggung jazz. Di tengah keramaian orang-orang yang sebagian besar kukenal, tetapi aku merasa asing. Suasana di sini terasa berbeda, tidak seperti acara ulang tahun Engla tahun lalu. Benar-benar berbeda. Aku berharap dia segera keluar dari kamarnya di lantai dua dan menyapaku, lalu mengumumkan bahwa aku masihlah seseorang yang spesial baginya. Berharap dia menghampiriku, memintaku naik ke atas panggung dan menyanyikan untuknya lagu itu, lagu kami.

"Kau jadi bagian hidupku. Kau jadi bagian hidupku..."

MC mengalihkan lamunanku, bilang agar hadirin tenang, lalu seorang bidadari turun melewati tangga, Engla, dia sangat cantik malam ini. Aku tersenyum, mataku berembun, aku berjalan perlahan mendekatinya. Lima langkah lagi aku sampai, tetapi kakiku terpaku di lantai. Engla sudah berada di sana, sedang tangannya segera disambut seorang lelaki, lelaki itu, orang ketiga di antara aku dan Engla, yang bahkan tidak kusadari keberadaannya sejak tadi. Engla memeluk lelaki itu. Hatiku remuk.

Aku menunduk, patah. Kelopak mataku panas. Aku terkenang momen terakhir kami, saat dia meminta putus, lalu kunyanyikan lagu itu di depannya. Kuyakinkan dia bahwa aku akan bertahan menunggunya kembali padaku.

"Tak kan pernah berhenti, untuk selalu percaya. Walau harus menunggu, seribu tahun lamanya."

Apa yang harus kuperbuat sekarang?

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Komentar