My Life As A Recruiter: Intro

Photo by Tima Miroshnichenko: https://www.pexels.com


Kali ini, aku mau cerita tentang perjalanan karierku sebagai rekrutmen konsultan, talent advisor, recruitment staff, rekruter, HRD (sebutan paling lumrah yang sering kita dengar), tukang rekrut, apapun itu namanya. Yang pasti kerjaannya masuk-masukin orang ke perusahaan tertentu untuk kerja. Bukan untuk mencari cinta sejati ya. Kalau pun iya, itu unexpected bonus belaka.

Sebelum cerita tentang hari ini, kayaknya seru kalau aku mengajak kalian jalan-jalan sebentar ke masa lalu.

Mari berangkat.

Oke, stop. Mesin waktu kita sekarang berhenti di bulan Januari 2012. Sepuluh tahun dari sekarang, lebih sedikit. Kita sedang berdiri di warung pecel lele Lela seberang sebuah apartemen di Jalan Margonda, Depok. Langit gelap sejak pagi, siang teduh, gerimis menari-nari di pelipis. Aku baru saja pulang dari UI. 

Sekarang kita akan menyeberang jalan menuju pulang ke gang Haji Mahali (bukan Mahalini ya, ingat ini tahun 2012, Mahalini baru akan tenar 10 tahun lagi, tapi jangan bilang siapa-siapa ya!).

Oh, gak kok. Aku gak ngekos di apartemen itu. Selain katanya serem bekas lokasi pembunuhan yang sempat heboh belakangan ini, uang saku yang dijatah mama cuma cukup buat sewa kos murah 300 ribu rupiah sebulan.

Setidaknya aku punya tiga alasan sering main ke UI sejak pindah ke sini akhir Desember kemarin. Satu, kata orang, kalau pengen sesuatu, harus sering-sering melihat yang kita inginkan sambil solawat, dan aku ingin banget masuk sastra Indonesia UI; dua, telaga UI adalah tempat yang asik buat merenungkan keputusanku berhenti kuliah di kampus yang dulu padahal udah jalan 3 semester, apa jangan-jangan keputusanku salah? Apa iya aku bisa kuliah lagi, di UI pula, setelah 2 tahun gak menyentuh mapel yang diujiankan di SNMPTN? Cara melamar kerja jadi kasir Indomaret gimana sih?; dan tiga, emang dasar gak tau lagi mau main ke mana di Depok. Ke mal gak punya duit. Gak punya teman main. Anak-anak penghuni kos ini kuliah semua siang-siang gini. 

Aku yakin gak yakin sih dengan keputusan ini. Gak 100%. Cuman berasa udah buntu aja. Segala kemungkinan masa depan yang kubayangkan kalau lanjut di jurusan sebelumnya itu rasanya benar-benar gelap aja gitu, gak tahu juga kenapa.

Jadi, ya udah cabut aja. Aku pikir (pemikiran anak 19 tahun sepanjang apa sih?) yang penting keluar aja dulu. Selanjutnya lihat nanti. Eh bener, sekarang bingung bukan main.

Ini pertama kali dalam hidup aku senekat ini mengambil keputusan besar: berhenti kuliah, dan mengulang SNMPTN. Yang pertama udah pasti, karena udah kadung. Yang kedua hasilnya abu-abu tai Bulbasaur. Ya kalau lolos SNMPTN dan dengan suatu keajaiban hebat aku berhasil masuk UI, kalau enggak? Mana ini kesempatan terakhir buat bisa ikut tes kuliah negeri kan. Muatek kon!

Demi menenangkan hati dan menguatkan pikiran serta mengutamakan keselamatan mental remajaku, konsultasilah aku dengan salah satu penghuni kos yang kebetulan kuliah di Psikologi UI. Namanya bang Iwan (bukan fals). Sama-sama dari Padang, dan sekarang sudah semester lima. Singkat dia: "Ngapain ambil Sastra? Mending Psikologi."

"Aku suka nulis-nulis gak jelas gitu, Bang. Kupikir masuk kuliah Sastra bakal meningkatkan kemampuanku ke level Tere Liye."

"Gak perlu kuliah sastra kalau cuma pengen hebat nulis. Justru kalau kamu belajar Psikologi, tulisanmu akan lebih bagus dong. Tere Liye aja kuliah akuntansi."

"Serius, Bang?"

"Gak tahu juga sih."

"OK."

Aku setuju. Segampang itu aku berubah pikiran. LABIL KAN GUE?!!

Ya gimana ya, namanya juga meraba-raba. Cuman ini agak riskan ya meraba-raba masa depan. Hei, tapi kalau dipikir-pikir lagi, siapa sih yang enggak? Semua orang gak tahu masa depannya, kecuali Roy Kiyoshi!

Baiklah, keputusan sudah bulat. Aku akan ambil pilihan jurusan Psikologi, di UI. Tapi ini harus pilih opsi kedua juga, enaknya di mana ya? Oke sip, Psikologi UNAIR aja, toh aku udah pernah lama di Jawa Timur, gampanglah adaptasinya. Tapi sebentar, Surabaya udaranya panas banget kayak kompor Chef Farah Quinn gak sih?  

Coba kita lihat ada kampus bagus apa lagi di sekitar sana? Pencarianku berujung di Universitas Brawijaya, Malang. Alasannya, aku pernah ke sana sekali di 2010, selain udaranya dingin sepanjang hari, beli nasi ayam goreng krispi pakai lalapan cuma lima ribu perak sampai kenyang. Baik, aku sudah mantab. Tinggal ikut ujian dan menunggu hasilnya. Bismillah.

Kita lompat ke lima bulan berikutnya, Juli 2012. Sedianya aku sudah siap-siap menyambut tanggal 7, tanggal penentuan nasib. Apakah aku lulus di UI atau tidak. Doaku berbulan-bulan hanya UI, UI, dan UI, soalnya belum kenal IU, kalau Sistar sih tahu satu lagu doang, Ma Boy. Stop, ini arahnya ke mana ya?

Sore-sore tanggal 6 Juli, aku habis mandi, nonton berita di televisi kamar kos sebelah. Mataku menangkap sekelebat berita text berjalan di bagian bawah layar televisi yang mendadak membuat jantungku melakukan akrobat ekstrem: "Pengumuman hasil SNMPTN sudah bisa dilihat mulai malam ini pukul 19.00 WIB."

Tuhan, tolong selamatkan jantungku.

Aku bergegas ke warnet terdekat. Sialan, yang terdekat pada penuh. Aku terpaksa berjalan kaki lebih jauh dan baru ketemu satu yang gak penuh dekat DETOS. Aku masuk dengan tarikan napas kayak menyeret rantai di aspal. Kaosku bersimbah keringat. 

Kalian mungkin nanya kenapa gak naik angkot aja? Gak ada duit. Ini aja benar-benar ngirit biar tetap bisa ke warnet nyari informasi. Aku cuma pegang 20 ribu, sisa harta benda satu-satunya setelah jual laptop dua bulan sebelumnya. Aku ambil paket hemat 5 jam seharga 10 ribu perak. Sisanya mau beli nasi sayur di rumah makan padang buat makan malam. Besok belum kupikirkan mau beli makan pakai jenis dedaunan yang mana.

Dan kenapa di bulan Juli itu aku gak punya duit? Mama sudah berhenti mengirimkan duit karena suatu hal yang kalau aku ceritakan sekarang akan menghabiskan halaman setebal KBBI edisi keempat. Lagi pula aku sudah ceritakan ini di salah satu bab Apple Town. Aku share lain kali kalau gak malas posting ya muehehe.

Mungkin saking banyaknya yang mengakses website pengumuman SNMPTN, ada sekitar empat jam halamannya cuma menampilkan icon buletan loading yang gak berkesudahan. Benar-benar menguji kemampuan mengendalikan emosiku. Belum lagi was was karena billing-ku sisa satu jam lagi. 

Rasanya ubun-ubun udah bisa dipakai buat menyalakan api unggun.

Jam 11 malam akhirnya halaman pengumuman itu kebuka. Aku lemas seketika karena gagal dapat UI. Tapi jadi tahu diri karena tiba-tiba sadar kalau mimpiku ketinggian. Pedih sih. Tapi mau bagaimana lagi.
Berita baiknya, aku keterima di UNIBRAW, jurusan Psikologi. Waktunya mengucapkan selamat tinggal kepada Depok yang meskipun hanya sebentar, paling tidak aku sempat punya kenangan diputusin pacar lewat telpon padahal udah kadung beli jam tangan buat kado ulang tahunnya, pakai duit hasil jual laptop pula, yang harusnya kuhemat buat bertahan hidup. YHA.

Seenggaknya pula, aku udah sering mengirup udara di sepanjang trotoar UI yang rindang dilindungi hijau-hijau pepohonan. Keliling-keliling gak jelas naik Bis Kuning. Sholat di masjidnya yang megah. UI kayak gebetan yang aku kejar mati-matian, aku kira dia membalas perasaanku, tapi ternyata aku bukan kriterianya. Aku kalah. Dan Kota Malang akan jadi perempuan berhati baik yang rela kujadikan pelarian. Namanya juga urip.

Segalanya lantas berlalu begitu cepat. Perjalanan waktu memang suka mencengangkan. Coba berdiri di depan cermin, lihat tanggal hari ini sebagai patokan, lalu  bayangkan hal tak terlupakan yang pernah terjadi di hidupmu sepuluh tahun lalu. Ada kalanya satu kejadian penting terasa hanya berjarak sekian jam bahkan menit dari pijakanmu sekarang, namun nyatanya ia telah berlalu ratusan hari di belakang. 

Kadang aku masih merasa bangun tidur di pagi hari untuk bersiap-siap masuk kuliah Psikologi Umum 1 dengan pak Amir, dosenku yang super baik. Yang sampai sekarang pembawaan khasnya masih berkelindan di kepala, dan suaranya yang nyaring tertahan itu melantang melantunkan mars Psikologi, "Kawan, jangan lupa...."

Rasanya baru kemarin.

Ternyata tahu-tahu sudah satu dekade, dan sekarang sudah ada satu turunan generasi di rumahku. Hidup berjalan begitu cepat, hanya saja kita sering terlalu lelah untuk ikut memperbesar langkah. Lelah oleh ekspektasi-ekspektasi sendiri dan manusia lain di luar kontrol kita.

Baiklah, kurasa urusan kita di masa lalu sudah selesai.

Aplikasi Go-Back di ponsel cerdasku sudah berbunyi sejak tadi (aplikasi ojeg-waktu online yang konon dipinjamkan dari tahun 3042 ke 2022, ongkosnya murah kok, sepuluh tahun perjalanan cuma bayar 25 ribu perak belum pakai kode promo Hari Masa Lalu Sedunia).

Abang-abang driver Go-Back mengirimkan chat bilang dia sudah sampai di titik jemput, di pertigaan yang salah satu belokannya menuju ke tahun 2014. Tapi kita tidak sedang ingin ke sana. Terlalu kelam. Kita berkunjung kapan-kapan saja.

Ayo Bang, berangkat, balik ke Januari 2022.

"Siap meluncur!"

"Bang, kok helmku bau Starla Jeruk ya???!!!"

[Bersambung kalau lagi rajin]

Komentar

Posting Komentar