Curhatan Galau Mahasiswa Tua

Untuk ukuran seorang mahasiswa strata satu berusia seperempat abad sepertiku yang belum kunjung lulus, sementara teman-teman seangkatan yang lebih tepat kupanggil 'adik-adik' sudah wisuda duluan, rasanya seperti menenggak kopi dingin tanpa gula dicampur jus pare. Pahit. Pahitnya pekat di kerongkongan. Menjalar ke sekujur badan. Bikin tubuh kejang-kejang dan mulut berbusa-busa. Ternyata kopinya nggak sengaja ketumpahan racun tikus. Ah, nggak lucu.

Ngomong-ngomong, memang sama sekali nggak lucu, ketika kamu harus pura-pura bahagia datang ke acara wisuda temanmu, sementara hatimu berkecamuk marah-marah entah pada siapa. Apakah sebaiknya marah pada keadaan yang menyebabkanmu harus tertinggal dari temanmu? Entahlah. Tidak mungkin melampiaskan kekesalan pada teman yang sedang wisuda itu. Wong, dia memang nggak ada sangkut pautnya dengan kebelumlulusanmu. Tidak mungkin juga menyalahkan Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Toh, beliau sudah tidak lagi menjabat sebagai menteri. Mungkin satu-satunya yang patut untuk dikambinghitamkan dalam masalah pelik ini adalah rumput-rumput yang bergoyang. Karena ia selalu saja diam setiap ditanyakan "kenapa temanku bisa lulus duluan sementara aku tidak?!"

Dan, untuk persoalan teman lulus duluan itu, bagiku sungguh dilema besar. Aku tiba-tiba saja terjangkit sejenis bipolar aneh karena harus senang dan sedih di saat yang bersamaan. Aku harus senang dan--setidaknya--terlihat bahagia dengan kesuksesan si teman. Tapi juga bermuram durja dan diamuk kekecewaan mendalam, nggak rela ditinggal lulus duluan. 

"Kenapa temanku bisa lulus tepat waktu sedangkan aku tidak?"

Aku bisa saja menjawab pertanyaan kotor di atas dengan berbagai alasan masuk akal seperti berikut ini:

"Aku kan nggak fokus kuliah doang, aku juga sibuk dengan organisasi ini-itu. Kegiatan itu-ini. Banyak lah pokoknya. Mereka mah, enak, kuliah-pulang-kuliah-pulang doang."

"Aku belum bisa nih fokus buat nuntaasin skripsiku. Maklum, aku harus kerja part time nyari duit tambahan. Buat bayar spp semester depan aja aku belum cukup duit nih, masih harus ngejar cicilan."

"Aku cuti dulu. Belum cukup niat buat ngerjain skripsi. Buntu."

"Aku kayaknya mau nikah dulu aja, deh, biar skripsinya ada yang nyemangatin."

Sudah, sudah, cukup. Kalau dilanjutin, akan ada ratusan alasan lainnya. Karena begitulah manusia, pintar banget bikin alasan.

"Ngeles mulu. Kerjain tuh skripsi!"

Aku tahu, aku nggak sendiri di dunia ini yang merasakan kegundahan yang sama. Kamu, kamu, dan kamu, yang sekarang sedang suntuk karena nggak lulus-lulus, lalu nggak sengaja nyasar ke tulisan ini, percayalah, aku tahu apa yang kamu rasakan. Sakitnya tuh, di mana-mana. Sialnya, tidak ada satu dokter hebat pun yang bisa mengobati sakit itu. Karena, sakitnya abstrak. Seperti angin, tak berwujud tapi bisa dirasakan. Tak berbentuk, tapi rasanya bisa menghancurkan dirimu.

Aku tahu, aku mengerti. Sakit banget rasanya berada di posisi seperti ini. Nggak enak banget ditinggal lulus duluan. Dan akan jauh lebih nggak enak lagi bila yang lulus lebih dulu darimu itu adalah, ya, mantanmu.

Sudah jatuh ketiban tangga, masih harus nyungsep ke atas tanah lembek yang ternyata adalah tai kucing.

Apes deh.

Komentar

  1. Sumpakaaau setengah eh... Seperempat abad? Tapi mukamu kaya sama kelairannya sama aku, Mik. Sungguhan.

    Senin aku bimbingan. Kamu kapan?

    Jangan-jangan... Sedihmu dalam tulisan ini cuma komuditi biar tulisan kamu jadi menarik. Macam ekting meratapi kejombloan atau ngaku-ngaku beriman. Duh, Mik... Tobat...

    BalasHapus
  2. Haha syukurlah, mukaku terlihat lebih muda dari usiaku :v

    Cinta dan kesedihan bukankah meang dua hal yang selalu menjadi komoditi seksi untuk meraup keuntungan dalam bentuk apapun? haha

    BalasHapus

Posting Komentar