Ngomongin Film 'Dilan 1990': Memanggil Ulang Kenangan di Kepala Masing-masing


Foto milik Falcon Pictures

Peringatan: tulisan ini akan panjang dan membosankan, penuh spoiler, ngalor-ngidul gak jelas seenak yang nulis, dan sama-sekali tidak akan membantumu masuk surga. Sebaiknya dahulukan sholat dan baca Qur’an dan mengerjakan PR hehehe.

Pertama-tama, perlu kuberitahukan kepada khalayak budiman bahwa aku menonton film ini tanpa ekspektasi yang tinggi, tidak berharap banyak, karena sampai malam itu, ketika akhirnya saya memutuskan untuk menontonnya setelah seminggu lebih plesetannya viral di mana-mana, film drama percintaan remaja terbaik menurutku masih dipegang oleh Posesif (2017). Jadi begitu, aku tetap menonton karena memang cuma ingin mendapatkan hiburan ketimbang bengong di kosan mengingat-ingat kenangan sama mantan. Dan syukur-syukur kalau ternyata bisa membuktikan kebenaran rekomendasi dari teman-temanku dan mematahkan perasaan skeptis dalam diriku sebelum-sebelumnya. Enaknya menonton tanpa ekspektasi apapun adalah kamu akan enjoy dan tenang sepanjang film. Mengalir aja. Gak perlu mikir akan kecewa dan semacamnya.


Film dimulai dengan pemandangan malam hari di kota Jakarta di tahun 2014 dengan suara narator perempuan bernama Milea Adnan Hussain yang sedang menceritakan latar singkat dirinya dan seterusnya, lalu berpindah ke adegan flash back bertahun-tahun silam, ke suasana pagi hari di jalanan yang asri dan tenang tanpa hiruk pikuk kendaraan sebagaimana sarapan pagi masyarakat perkotaan saban hari. Anak-anak SMA berjalan kaki di sisi kanan dan kiri, gontai dan riang bersama teman-temannya. Melihat scene itu aku tersenyum, ini pemandangan yang menyenangkan, pikirku, mengingatkanku pada jaman-jaman sekolah di kampung dulu yang persis begitu. Gaya pakaian sekolah anak SMA tahun '90-an yang masih suka dengan yang gembor-gembor kegedean, benar-benar berhasil digambarkan dengan baik dan itu otomatis saja memantik endapan pengalaman dalam kepalaku bertahun-tahun lalu dari apa yang pernah kusaksikan di tahun '90-an akhir di masa kecil. Waktu itu aku memang belum SMA sih, masih SD kelas satu mungkin. Tapi aku tahu, aku tiap pagi melihat anak-anak SMA jaman itu lewat jalan kaki depan rumah, atau juga bersepeda ramai-ramai. Riang dan bersemangat. Dan kelihatannya keren-keren banget dan merasa ingin cepat-cepat SMA pula. Aku manggut-manggut, hmm, baiklah, first impression film ini bagus juga.

Lalu aku menyaksikan adegan seorang anak cowok naik motor CB jadul nyamperin seorang cewek yang lagi jalan kaki sendirian yang tadinya oleh si narator diakui sebagai dirinya, Milea.

"Hai, selamat pagi. Kamu Milea, ya?" Sapa si cowok yang masih terus mengendarai motornya pelan-pelan. Mukanya datar, nadanya juga biasa, gak ada kesan menggoda atau genit.

"Iya." Si cewek menjawab jutek. Aku pikir itu wajar, mungkin mereka belum saling kenal (Ingat, sampai saat itu, aku belum pernah baca novelnya jadi memang buta sama sekali tentang kemungkinan jalan cerita film ini dan adegan apa saja yang kira-kira akan terjadi).

"Boleh, gak aku ramal?" (Nah, sampai di sini mulai menarik. Anti-mainstream banget seorang cowok random yang belum kenal sama cewek yang disapanya bukannya ngajak kenalan malah nawarin ramalan).

"Aku ramal, kita akan bertemu di kantin." Kata cowok itu lagi. Lalu dia berlalu nyelonong begitu saja. Oke, ini absurd dan ya, sekilas kurasa agak garing. Tapi baiklah, kita lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan buat kamu yang udah nonton atau udah baca novelnya, sudah pasti tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Adegan usaha pedekate yang bertubi-tubi dan tak kenal lelah. Biasalah, namanya juga lagi ngejar cewek kan. Cuman, yang bikin menarik adalah cara si cowok ini yang setelah beberapa scene berikutnya diungkap bernama Dilan (Ini ngikutin alurnya aja, dari awal juga sebenarnya siapapun sudah tahu kalau itu Dilan hehehe) yang benar-benar aneh, unik, gak pasaran, dan kadang rada garing juga sih tapi tetap bikin penasaran tentang: 'Kira-kira abis ini dia mau ngapain lagi nih si kaleng rengginang?!'.

Dan ... film pun selesai setelah si Dilan akhirnya berhasil menaklukkan hati Milea dan mereka menuliskan teks proklamasi bahwa mereka resmi berpacaran tertanggal 22 Desember 1990. Tamat.

LOH, KOK UDAH SELESAI AJA?! REVIEW APA-APAAN SIH INI!! DASAR LU BULU KETEK AMOEBA!!

Kalau kamu berharap di film ini akan ada konflik yang bikin tegang, keringat dingin bercucuran, jantung berdebar-debar kencang dan kening berkerut kebanyakan berpikir, kamu memang harus kecewa bulat-bulat. Gak ada konflik yang berarti di sini. Jika pun ada beberapa adegan berantam dan tampar-menampar, itu sebenarnya biasa aja. Gak dramatis-dramatis amat. Aku waktu sekolah juga pernah ditampar kepala sekolah. Pernah dimarahin guru BP gara-gara cabut jam pelajaran. Pernah lihat siswa taruhan dari dekat (kalau ikutan sih gak punya nyali). Dan mungkin ini keluhanku satu-satunya, scene penyerangan siswa lain ke sekolah Dilan terkesan meh aja. Permainan musiknya sih lumayan, tapi nanggung, masih kurang mencekam. Aku sendiri membayangkan andai yang menyerbu lebih banyak lagi dan mereka berhasil membobol pagar sekolah dan tumpah ruah di halamannya lalu mulai merusak, melempar dan membakar, pasti adegan itu bakal lebih epik. Udah yang nyerbu sedikit, mereka cuma teriak-teriak gak jelas di luar pagar entah ke siapa juga gak jelas, random banget pokoknya. Itu aja sih yang menurutku kerasa cringe. Oh, bentar, ada satu lagi (tadi katamu satu-satunya, gimana sih, gak konsisten! Pantesan diputusin! Hehehe). Yaitu adegan CGI di dalam mobil si Bundahara waktu mengantar Milea pulang yang terasa sangat mentah dan mengganggu banget. Duh, kenapa ya harus sekasar gitu efeknya? Gara-gara itu, aku jadi kurang fokus sama ekspresi Vanesha yang gemes lucu itu padahal dialognya lumayan seru. Tapi ya sudah, aku husnuzon aja mungkin memang budget-nya kurang atau produsernya sengaja ngasih cacat filmnya di bagian itu biar ada bahan buat manusia-manusia kurang kerjaan macam aku untuk menulis ulasan seenak perut hehehe.

Karena tidak ada konflik yang berarti, jadi menurutku, yang bisa dinikmati di film ini adalah murni seni interaksi antara dua tokoh utamanya saja: Dilan dan Milea (Tapi bukan berarti cast yang lain gak menarik, nanti kubahas). Kubilang bisa dinikmati, ya, memang kamu akan dibuai sepanjang film dengan alur yang tenang ibarat permukaan danau yang beriak-riak kecil dengan bumbu-bumbu dialog (sebagian besarnya berupa gombalan-gombalan one liner) yang cerdas dan padat berisi dari kedua anak remaja ini yang bisa bikin kamu senyum-senyum sendiri, tertawa-tertawa sendiri, dan sesekali mungkin menyayangkan betapa kejamnya dunia pada manusia-manusia jomblo sepertimu. Sepertiku juga sih, kita senasib hehehe. Dan akhirnya memang harus kuakui dua anak muda ini berhasil menjadi pencuri perhatian di sepanjang film dan dunia di film itu jadi benar-benar milik mereka berdua. Tingkah-tingkahnya bikin aku pengen balik SMA lagi dan melakukan hal yang sama pada si gebetan yang tidak pernah berhasil kudapatkan dan sekarang sudah menikah dan punya anak hehehe.

Aku tidak tahu bagaimana Dilan digambarkan dalam novelnya selain dari yang dapat diwakilkan oleh kata-kata seperti: bandel, slengekan, unik, gengster, tapi juga pintar dan baik ke orang tua, ke teman-temannya dan ke pacar. Itu pun kuketahui dari kabar yang dibawa terbang burung-burung dari langit lalu mampir di telingaku. Dan begitu menyaksikan karakter Dilan dalam film, aku harus memberikan salut dan apresiasi yang sebesar-besarnya pada Iqbaal Ramadhan karena dia sukses parah menjadi sosok yang mewakili kata-kata tadi. Seratus persen sesuai. Gak kurang gak lebih. Aku bahkan hampir lupa bahwa itu, si Dilan, si brengsek itu, yang sedang kusaksikan keabsurdannya sepanjang film, adalah bocah ingusan yang dulu sempat goyang-goyang sok keren sambil nyanyiin lagu orang dewasa! (Aku bukan hater Coboy Junior kok, kurang suka aja. Padahal juga hapal lagu-lagunya hehehe).

Melalui ini, secara terang-terangan pada seluruh penduduk Bumi, aku harus menyesali perbuatanku beberapa bulan belakangan yang ikut-ikutan tidak menyukai Iqbaal sebagai pemeran Dilan. Ternyata dia berhasil mematahkan semua keraguan yang sering dilontarkan netijen budiman kepadanya. Sekarang, setelah akhirnya aku berhasil menamatkan ketiga novel Dilan beberapa hari lalu, aku gak bisa lagi membayangkan siapapun yang akan merepresentasikan karakter Dilan selain Iqbaal. Persis seperti Harry Potter yang gak mungkin dilepaskan dari persona Daniel Radcliffe. Aku angkat topi untuk anak ini. Good job! Masa depanmu cemerlang, Nak! Insyaallah!

Kemudian, soal Vanesha Prescilla. Aduh, aku gak tahu lagi mau ngomong apa soal anak ini. Rasa-rasanya aku rela dicap tidak tahu diri (emang dari dulu sih) sebab aku sangat menyukai keseluruhan tentang dirinya dalam film ini. Aktingnya pas meski masih jauh untuk dapat dikatakan sempurna dan kuyakin dia masih akan berkembang, masih 18 tahun, Cuy! (Gigit jari) Hal itu dapat dimaklumi karena Dilan 1990 adalah debutnya sebagai pemain film. Mungkin ada di beberapa adegan yang terkesan masih kaku seperti pada scene dia berbicara dengan Piyan dan menitip konfirmasi bahwa dia tidak berpacaran sama Nandan, atau ketika mengantar Beni dan kawan-kawannya ke depan rumah untuk balik ke Jakarta di malam ulang tahunnya, di situ terasa kurang natural aja menurutku. Selebihnya oke, terutama ekspresi tersipunya dipuji dan digombalin Dilan, cara ngomongnya, cara tertawanya, cara menangisnya, cara marahnya, rindunya, caranya berjalan, menghela napas, menatap. Aduh, Abang lemas lihat senyum kamu, Neng! Dan tentu saja, sebagaimana Dilan, sulit untuk membayangkan orang lain yang menjadi Milea selain Vanesha. Maka kurasa insting Pidi Baiq tidak meleset sama sekali ketika katanya--menurut cerita Vanesha--langsung menunjuk Vanesha Prescilla menjadi Milea hanya dari satu kali jumpa.

Lalu, yang terpenting dan menjadi favoritku tentu saja interaksi mereka berdua. Karena film ini adalah tentang kisah cinta mereka. Aku pernah memfavoritkan akting dan chemistry antara Adipati dan Putri Marino dalam Posesif yang terbangun dengan bagus sekali. Tapi setelah menyaksikan Dilan dan Milea, rasanya gak akan ada lagi couple remaja di film Indonesia mana pun setelah ini yang akan semanis mereka berdua, iya, hiperbola sih, tapi memang begitulah yang kurasakan. Bukan bermaksud merendahkan, dan meski punya kelebihannya sendiri, kelekatan antara Rangga dan Cinta jadi terasa berkurang manisnya setelah aku menyaksikan Dilan 1990 dan tiba-tiba saja di otakku otomatis terjadi proses membanding-bandingkan.

Apalagi, cara mereka menjalani masa-masa pendekatan yang penuh niat dan usaha itu, yang memanglah tidak mudah menurutku untuk ukuran anak remaja jaman dulu dengan segala keterbatasan teknologi dan fasilitas, berhasil menerbitkan perasaan hangat di hati penonton terutama di diriku pribadi. Aku tentu saja ikut hanyut dalam nostalgia yang kurang lebih sama ketika dulu, di 2000an awal, aku juga sempat merasakan dag-dig-dug menelepon gebetan ke telepon rumahnya karena jaman itu belum banyak yang punya hp. Bedanya, Dilan menelepon Milea dari telepon umum, aku penelepon si cinta pertama dari wartel. Tapi tetap saja, rasa hangatnya sama, kenangannya pun sama indahnya. Atau tentang betapa riangnya hati ini membonceng gebetan di tengah hujan, dengan masih berbalut seragam SMA, untuk mengantarnya pulang dan mengucapkan selamat tidur. Atau juga waktu dulu belum ada hp seperti sekarang, betapa indahnya proses pedekate melalui surat-suratan yang di titipin ke teman. Adegan surat-suratan yang ditampilkan di film ini memang berhasil bikin senyum-senyum sendiri sih. Bikin keingat yang dulu-dulu hehehe. Tuhan, gara-gara ini aku jadi merasa sudah tua banget. Rasa-rasanya masa SMA itu--yang bagiku mungkin tidak terlalu indah tapi tetap ada manis-manisnya--telah sangat-sangat jauh tertinggal di belakang.

Dan yang paling aku suka dari film ini adalah penggambaran karakter Dilan yang bikin aku kagum. Bukan dari keahlian menggombalnya belaka secara lahiriah yang berbusa-busa sepanjang film itu, tapi lebih kompleks dari itu. Pertama, soal gombalan dan cara-cara pedekate-nya yang anti-mainstream itu, menurutku sama sekali bukan hal remah yang mudah dilakukan siapa saja. Ada proses kognitif yang rumit di situ. Kemudian bisa dimaklumi ketika ditunjukkan di film bahwa Dilan punya banyak buku bacaan di kamarnya, suka bikin puisi dan juga menggemari karya sastra (di novelnya kemudian aku tahu bahwa Dilan sangat mengidolakan Rendra). Gombalan-gombalan cerdas itu kuyakini timbul dari pembacaannya yang luas pada berbagai buku-buku berkualitas dan karya sastra, yang lalu termanifestasi pada cara berpikirnya yang sangat out of the box untuk seorang anak SMA. Kurang nyeleneh apa coba ketika anak-anak yang lain masih berpikir seperti remaja kebanyakan untuk menghadiahkan boneka atau kue ulang tahun mahal untuk orang yang dicintai, dia malah memberi TTS yang udah capek-capek dia isi dengan alasan tidak ingin orang yang dia sayang repot-repot mikir. Ini cerdas! Gak heran karena ternyata memang dijelaskan bahwa dia adalah siswa yang pintar dan selalu juara kelas.

Kedua, Dilan, meskipun bandel dan gengster brengsek, kalau kata Milea, dalam film ini digambarkan memiliki prinsip yang kuat. Dia akan melawan jika merasa telah diperlakukan secara tidak adil dan layak. Dia akan menghargai dengan sangat tinggi orang-orang yang menghargainya dan sebaliknya tidak segan melawan guru yang suka berbuat seenaknya. Sekilas kalau sumbu pendekmu keburu tersulut, adegan Dilan melawan Pak Suripto akan terkesan kurang ajar dan sama sekali tidak berpendidikan. Tapi kamu akan mengangguk-angguk setuju setelah tahu apa motif sesungguhnya yang mendasari tindakannya melawan sekeras itu. Setelah membaca novelnya, aku semakin bisa memaklumi tindakan Dilan meski idealnya memang tidak perlu melawan seperti itu yang menyebabkan dirinya mendapat skors tidak boleh masuk sekolah selama seminggu berikut masa percobaan dengan ancaman dipecat dari sekolah. Pesan moral penting dari sini untuk generasi micin selanjutnya: jangan melawan guru jika hanya untuk gagah-gagahan belaka dan ingin merasa jagoan. Kamu gak keren, malah norak. Sudahlah, kamu bukan Dilan.

Satu hal yang membedakan Dilan dari Beni, yang itu kemudian menjadi jurang yang sangat dalam dan jauh antara keduanya, dan itu pula yang lalu memantapkan Milea untuk menjatuhkan hati pada Dilan, adalah caranya memperlakukan perempuan yang dia sayang. Dilan mungkin 'preman, nakal, tapi dia tidak kasar', aku Milea kurang lebihnya. Dia tidak kasar sama wanita. Bahkan kamu akan senyum-senyum sendiri melihat adegan Milea memarahi Dilan dan dia hanya diam alih-alih balik membentak atau mengata-ngatai dengan kasar seperti yang pernah (sepertinya sering) Beni lakukan. Ini sikap yang sangat-sangat gentle. Mengetahui fakta ini, aku mengurut dada dan bernapas lega, bersyukur dulu aku gak pernah kasar sama mantanku karena aku sayang banget sama dia. Eh, pernah gak ya?

Lalu ini semualah, yang sudah kubahas sebelumnya itu padamu, yang kemudian mempengaruhi otakku selama beberapa hari setelah aku menonton film ini. Entahlah, seingatku, tak pernah aku menyukai film percintaan, apalagi dengan genre drama remaja, yang berhasil membuatku susah berpikir normal selama berhari-hari. Film ini sukses besar membuatku baper berlarut-larut dan jadi suka menggali-gali lagi kenangan-kenangan yang mengendap di dalam kepalaku sendiri sejak lama. Jangan lupa, faktanya film Dilan 1990 ini keseluruhannya adalah tentang kenangan. Tentang seseorang yang pernah menjadi sangat berarti bagi Milea di masa silamnya, ketika dulu masih SMA. Saking berartinya Dilan, dia begitu meyakini bahwa kerinduannya saat ini pada Dilan adalah "...hutan rindu, sungai yang mengalir, dan laut yang berdebur." Dan saking kuatnya masa lalu itu mencengkeram Milea, saking dalamnya dia jatuh pada Dilan di masa silam, dia percaya bahwa "...Tidak ada kekuatan yang dapat menolak, tidak ada keahlian untuk menahan. Kuat seperti kehidupan, dan aktif!".

YAELAAH!! SI KARET BUNGKUS BAKMI GORENG MALAH BAPER BENERAN!!!

Karena Milea, aku jadi kembali mengukur diriku, mempertanyakan banyak hal tentang cinta yang kuinginkan, yang pernah kudapatkan dan yang kemudian pernah kusia-siakan dan membuatku menyesal sedemikian dalam. Aku terpuruk ketika melihat Milea menangis karena dikata-katai Beni. Aku dulu posesif, meski tak pernah sekasar Beni, dan itu sekelebat saja langsung menghantam diriku, Beni sedikit banyaknya adalah penggambaran diriku yang dulu, yang begitu buruk, yang akhirnya harus dihukum dengan perasaan sakit teramat sangat akibat kehilangan orang yang sangat kusayang oleh ulah sikapku sendiri yang kekanak-kanakan, persis seperti Beni, bedanya Brandon Salim yang memerankan Beni itu ganteng banget sedangkan aku ganteng aja enggak hehehe.

Aku juga jadi makin patah hati lagi setelah memutuskan untuk membaca kedua novel lanjutan Dilan 1990. Karena ya begitulah, kamu yang sudah baca novelnya pasti tahu sendiri kejadian tragis apa yang terjadi di kelanjutan kisah cinta Dilan dan Milea. Aku tidak akan membahasnya sekarang karena tidak relevan dengan yang ada sekarang. Kita tunggu saja filmnya ya.

Kembali ke film, aku harus menyampaikan pujian juga untuk pemeran-pemeran pendukung di film ini. Mereka sukses menghidupkan dunia SMA di jaman '90-an dengan sangat baik. Aku jadi ingat dulunya juga punya teman sekelas seperti Anhar yang nakal dan begajulan gak tahu tempat. Atau seperti Piyan yang setia kawan. Itu keren sekali. Aku sangat menikmati pertemanan yang mereka gambarkan. Membuatku rindu pada masa-masa SMA yang telah nyaris delapan tahun berlalu (Nah, ketahuan kan usiaku sekarang?). Penggambaran suasana '90-an yang serba vintage juga cukup ngena dan representatif meski tidak terlalu sempurna juga, sekadar bisa diterimalah. Yang penting bisa mendukung alur ceritanya. 
Sumber gambar: google.com
Sampai di sini, kurasa tidak salah jika aku mengatakan bahwa Dilan 1990 adalah film remaja Indonesia terbaik sejauh ini yang pernah kutonton, melebihi Posesif malah, atau AADC, terlepas dari beberapa kelemahan yang sudah kusampaikan di awal, dan tentu saja, tanpa merendahkan film-film yang sudah kusebutkan itu. Harapanku semoga Dilan 1991 dan seterusnya bisa lebih disempurnakan lagi dari beberapa sisi yang dirasa masih kurang. Urusan beginian, aku percaya orang-orang Produser lebih paham. Mereka ahlinya. Aku mah apa, modal bacot aja hehehe.
Selamat buat Vanesha Prescilla atas kesuksesan debutmu. Buat Iqbaal, kamu keren bisa mematahkan keraguan netijen budiman yang dulunya nyinyir padamu. Sukses selalu buat kalian berdua. Semoga berjodoh. Kalau enggak, ya sudah, gak masalah. Hidup gak melulu harus sesuai dengan harapan kita, kan? Good luck buat karier kalian ke depannya.

Kayaknya aku ngomongnya udah kepanjangan, jadi, kurasa udah cukup sampai di sini aja ya. Lain kali deh kalau kepikiran pengen membahas lagi dari sisi yang lain akan kulanjutin, tapi gak janji hehehe. 

Udah, ya?

Assalamu'alaikum, jangan?

Oke, wa'alaikumussalam.

Salam sayang.

(Mlg)

 


Komentar