Memikirkan 1910 Cara Kematian

Hai, Oktober. Kamu datang lagi, ya. Terlalu cepat, kurasa. Belum beberapa kejap kakiku berjalan-jalan di sudut-sudut September yang kering, berdebu dan sunyi, tahu-tahu kau telah berdiri di sini, di hadapanku, merentangkan tanganmu lebar-lebar, menatapku dengan bola mata beningmu yang dapat kuselami kedalamannya yang sarat ingatan-ingatan; menerbitkan kelu di sekujur tubuhku yang masih belum sepenuhnya pulih dari sesuatu yang aku sendiri tidak tahu harus menamainya apa. Luka? Mana ada luka yang tak sembuh bertahun-tahun lamanya? Cemen sekali kalau aku harus takluk oleh hal-hal dramatis seperti itu. Yekan?

Kau tahu, aku membencimu tapi juga menggilaimu. Ini sulit diketengahkan. Kau penuh oleh hal-hal indah yang kusyukuri, segalanya itu mengularkan kehangatan ke dalam ruang senyap dalam diriku--di satu sisi. Tapi kau juga tak cukup menyuapiku dengan keindahan-keindahan saja, kau jangkiti juga aku dengan kepahitan-kepahitan itu. Jika kau adalah teman, maka sungguh kau teman yang amat sangat menyebalkan. Kau hujan yang kutunggu dengan rindu yang tak terperi, namun juga taufan yang kubenci hingga seputih-putihnya tulang-belulang. Jangan pura-pura lupa, kau berikan dia padaku, kau renggut pula tak berapa lama setelahnya.

Namun, bagaimana pun, karena saat ini aku tidak punya teman lagi yang bersedia mendengarkan celoteh-celoteh panjangku tentang apa saja (semakin dewasa kau, semakin sedikit waktumu bertemu teman-teman baikmu, sedikit pula waktu mereka untukmu, lumrahnya begitu), maka aku akan menekan sejenak kebencianku padamu. Aku ingin bercerita banyak hal padamu. Kau tak keberatan mendengarku bercerita, bukan?

Baik, kuanggap kau tak keberatan.

Banyak sekali yang mengganggu pikiranku belakangan ini. Ya, memang, kapan pernahnya pikiranku tak terganggu? Tapi, saat ini rasanya terlalu bedebah. Apakah memang seperti ini rasanya menjadi manusia seperempat abad? Harus merasa tersakiti oleh pikiran-pikirannya sendiri?

Kadang aneh, ya kau bisa menganggapnya aneh, belakangan ini aku paling sering memikirkan tentang kematian yang mendadak. Aku tidak sedang bercanda. Aku sedikit paranoid akhir-akhir ini. Ke mana pun aku pergi, keluar rumah, melintasi kampung-kampung, menyeberang jalan raya, mengunjungi taman-taman, aku berpikir tentang cara-cara kematian yang mungkin saja menimpaku tanpa ada tanda-tanda peringatan apapun sebelumnya. 

Tatkala sedang jalan-jalan sore hari beberapa kilometer dari rumah, menyaksikan lesatan sepeda motor dan mobil-mobil yang tak putus-putus, aku merasa seakan-akan salah satu dari kendaraan itu sedang mengintaiku, ingin menghantamku dari belakang, meremukkan tubuhku, merenggut nyawaku. Aku bergidik membayangkan sakitnya kematian seperti itu. Apalagi bila sebelum meregang nyawa, aku harus menahan perih luka bakar, patah persendian dan semacamnya. Aku ngilu membayangkannya. 

Aku berjalan kembali ke rumah, melewati bangunan yang sedang direnovasi, aku mengambil jalan menjauh, takut kapan-kapan tanpa diduga-duga sebuah batu bata tergelincir dari tangan tukang bangunan di lantai tiga, lalu mengenai ubun-ubunku, merampas kehidupanku. Itu juga kematian yang tidak keren sama sekali. Aku tidak ingin mati seperti itu. 

Aku juga tidak ingin mati keracunan makanan. Tidak, itu tidak menyenangkan juga. Makanya, sekarang aku tidak lagi mau beli makanan sembarangan. Aku mulai belajar memasak sendiri, meskipun pada akhirnya, begitu kukecap hasil masakanku, aku hampir mati keracunan oleh rasanya yang benar-benar payah. Tidak lucu bila aku mati gara-gara masakanku sendiri yang cita rasanya nggak karuan.

Pernahkah kau berangkat tidur dengan ketakutan yang sama? Itu juga kurasakan. Setiap malam, nyaris setiap malam, setelah kupadamkan lampu kamar, dan kegelapan melingkupiku seketika, aku tak bisa segera memicingkan mata dan lelap. Dadaku bergemuruh, sunyi itu tidak benar-benar senyap. Aku mendengar kebisingan yang ganjil, yang begitu dekat dengan kepalaku, atau mungkin itu adalah suara-suara dalam kepalaku sendiri, aku tak bisa memastikannya. Ia seperti gemuruh hujan yang sering kau tumpahkan di pertengahan umurmu, memekak, dan menakut-nakutiku tentang pagi esok yang tak akan pernah kujumpai. Aku khawatir tak bisa membuka mata lagi setelah terlelap sebentar lagi. Jika sudah seperti itu, tak jarang aku akhirnya terjaga hingga matahari kembali naik ke kepala. Aku tak bisa tidur malam hari, seperti saat aku menulis semua ini padamu. Mungkin, kematian yang menyapaku saat aku tertidur bukan sesuatu yang menakutkan. Kubayangkan, barangkali rasanya seperti mimpi saja. Kau tidur, mati, bangun di tempat yang lain--alam lain. Tapi, tetap saja, aku belum siap. Aku belum siap mati.

Ada banyak bentuk kematian lainnya yang suka mendadak kupikirkan dalam diamku yang sekarang sekarang ini lebih panjang daripada usia siang. Semakin kutahan pikiran-pikiran itu, ia semakin kuat menari-nari dalam kepalaku. Hingga akhirnya kuputuskan untuk membayangkan kematian ideal yang kuinginkan:

Aku ingin mati dengan cara satu dari dua kemungkinan ini:

Pertama, di suatu tempat yang sama sekali asing. Entah di gunung mana, di lautan mana, di gurun mana, yang tiada sesiapapun akan menyaksikan tubuhku kaku dan menjadi tanah. Aku ingin mati dalam kesunyian. Aku tak ingin mendengar tangisan-tangisan siapapun untuk meratapi kematianku--jujur ataupun palsu adanya tangisan itu. Di tempat asing itu, aku dikubur zaman, jasadku membusuk dilumat waktu, atau terpanggang api hingga menjadi debu, atau ditelan samudera hingga ke kedalamannya yang jauh tak terjamah dan menjadi santapan ikan-ikan. Entahlah, setiap membayangkan satu kemungkinan ini, aku merasa lebih damai, dan tiba-tiba bayangan-bayangan kematian itu tidak lagi menakutkan bagiku. 

Atau, jika tidak demikian, yang kedua, aku ingin mati dengan cara yang lebih heroik. Di medan perang melawan teroris misalnya. Membela negara, membela agama, pastilah menjadi kematian yang sangat agung. Aku mendambakan mati seperti itu. Mungkin bagimu ini kedengaran lucu, tapi benar, akibat pemikiran itu, aku sekarang jadi suka lari pagi, demi menjaga fisik dan melatih kekuatan raga, kataku, biar nanti sewaktu-waktu ada panggilan untuk berperang, aku siap saat itu juga. Ini juga salah satu jenis kematian yang menyenangkan.

Namun, ya, bagaimanapun, aku sadar juga, kematian bukan entitas yang bisa kita atur dan inginkan sesukanya. Ia adalah sebuah rahasia yang paling rumit. Siapa tahu, setelah menulis ini, Tuhan memutus nyawaku begitu saja. 

Tapi, akhirnya aku juga hanya bisa pasrah, cara kematian bagaimapun terserahlah. Asalkan, tolong jangan cabut nyawaku sebelum lunas utang-utangku. Tidak keren sama sekali mati membawa utang. Dan sebagai manusia theis dan beragama, tentu yang paling penting adalah aku ingin mati dalam pelukan agama yang kuyakini. Bukan yang lainnya.

Omong-omong, maafkan aku, ya, jika menyambut kedatanganmu dengan keluhan menyeramkan seperti ini. Tapi ini baru satu dari sekian banyak kecamuk di pikiranku yang ingin kubagi denganmu.

Ada banyak lagi yang lainnya.

Selain hal jamak seperti tuntutan untuk segera wisuda dan bekerja (seharusnya ini memang kewajiban terhadap diri sendiri, bukan lagi demi tuntutan dari orang di luar diri, sesiapapun itu), aku mulai khawatir dengan kondisi hatiku saat ini. Aku, entahlah, merasa tak bisa benar-benar jatuh cinta. Aku, bahkan, kehilangan cara untuk merindukan siapapun. Siapapun. Aku sedang berada di titik yang, entah bagaimana harus menjelaskannya, merasa terkucilkan dari dunia di luar diriku. Aku seperti sedang berada dalam gelembung pekat yang mengurungku rapat-rapat. Gelembung itu juga seperti perangkat penangkal sinyal bagi kasih, cinta, rindu atau apalah sebutannya, dari orang-orang di luar diriku. 

Kesimpulan mudahnya, aku, saat ini, wahai Oktober, tak pernah merasa sehampa ini.

Apa yang salah dengan diriku?

Tapi sudahlah, apapun itu, selamat datang untukmu. Kutunggu hujanmu. Adapun kenangan-kenanganmu, masih kugenggam erat-erat. (Mlg)

Komentar