Review Film Annabelle 2: Creation (No Spoiler)

Tadinya, saya sedang bosan, lalu iseng melihat-lihat jadwal tayang film terbaru di bioskop-bioskop kota Malang dan mendapati film ini diputar di banyak layar; hak istimewa yang biasanya hanya didapatkan oleh film-film laris yang ditunggu-tunggu penggemarnya. Saya sendiri nggak ngeh kalau tahun ini ada rilisan prekuel dari film Annabelle (2014) yang rilis tiga tahun lalu, yang sayangnya mendapat ulasan buruk dari kritikus dengan hanya memperoleh rating 29% di situs kritik film Rotten Tomatoes. Didorong oleh kekecewaan pada film itu pula, saya tidak begitu tertarik untuk berebut menonton Annabelle 2: Creation ini di awal-awal tayang di bioskop. Saya pikir, ah paling juga bakal membosankan kayak film sebelumnya. Walaupun sempat kaget dengan rating 100% fresh yang diberikan kritikus di Rotten Tomatoes, sesuatu yang amat langka terjadi di perfilman Hollywood, apalagi untuk kategori film horor, saya tetap saja tidak begitu tertarik.


Setelah beberapa hari mendiamkan diri, dan ternyata saya diserang rasa bosan yang menyebalkan itu lagi, saya akhirnya memutuskan untuk meluangkan waktu menonton film ini. Maka berangkatlah saya ke Movimax Dinoyo Malang, memilih jam tayang malam hari pukul 21.15 WIB, seorang diri, dan berpura-pura lupa kalau saat itu malam minggu (saya rasa ini tidak perlu dijelaskan terlalu jauh, mohon pemaklumannya saja, dan sedikit simpati kalau ada). Dan inilah yang sangat menyebalkan jika kamu nekat menonton sendirian di bioskop pada malam Minggu: kamu akan terjepit di antara pasangan-pasangan yang sibuk berpelukan sepanjang film, entah memang karena benar-benar ketakutan, atau modus belaka. Apalagi ini film horor. Kelar hidup lo, Mblo!

Kembali ke Annabelle 2: Creation.

Jadi, ceritanya, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, film ini merupakan prekuel dari film Annabelle (2014). Ya begitulah Hollywood, mereka memang hobi sekali bikin prekuel dan sekuel. Karena prekuel, maka latar ceritanya mundur hingga 24 tahun lebih, sekitar tahun 90-an. Di sini diceritakan asal mula penciptaan boneka Annabelle, berikut tragedi-tragedi yang terjadi yang menyebabkan boneka ini dirasuki arwah jahat. Sudah. Idenya sesederhana itu saja sebenarnya.

Tenang, saya tidak akan menebar spoiler. Saya akan mengulas film ini dari beberapa hal yang menurut saya positif maupun negatif.

Pertama, yang paling penting dari sebuah film, adalah plot. Oke, menurut saya bagian ini pantas mendapat acungan empat jempol. Nih, ambil semua nih. Jempol tangan. Jempol kaki. Ambil semua! Plotnya enak diikuti, nggak bertele-tele, bahkan tidak butuh waktu panjang untuk melakukan 'perkenalan' pada penonton tentang tokoh-tokoh penting yang akan menimbulkan konflik besar sepanjang film. Jadi, kamu nggak perlu khawatir akan kelelahan mengikutinya sampai habis. Nggak perlu bawa bantal juga dari rumah karena dijamin kamu nggak bakal punya kesempatan untuk bosan dan mengantuk. Nilai positif lainnya, film ini berhasil membawakan tensi ketegangannya dengan sangat baik seperti mengajak penonton mendaki gunung. Permulaan yang riang, perlahan-lahan membawamu ke dalam situasi suram yang mencekam, terus mendaki konflik yang mengejutkan, semakin ke tengah semakin penuh teror, dan diakhiri dengan twist penting yang nggak kalah mengejutkan. Saya berani kasih nilai 8 dari 10 untuk plot film ini. Good job! 

Kedua, soal karakter pemeran utama dan pendukung. Satu hal yang selalu bikin saya kagum dengan kinerja tim casting film Hollywood yang melibatkan anak-anak: mereka jarang gagal menemukan pemeran cilik yang memiliki kualitas akting bagus. Beberapa tokoh utama dalam film ini yang masih kategori anak-anak benar-benar memiliki kemampuan akting yang layak mendapat apresiasi tinggi. Jangan samakan dengan akting anak-anak di sini yang ikutan casting untuk iklan biskuit-semua-bisa-jadi-macan itu, ya. Tolong. Saya tidak tahu, apakah anak-anak Amerika ini memang pada dasarnya mendapatkan semua kemampuan itu melalui sekolah akting, atau memang sekadar bakat alami. Tidak ada ekspresi yang aneh yang tidak pada tempatnya dan dibuat-buat. Mereka tidak hanya pintar berteriak-teriak. Tapi memang memperlihatkan raut ketakutan yang sesungguhnya, sehingga hanya dengan melihat ekspresi wajah mereka saja, penonton bisa tertular kengerian yang sama. Secara keseluruhan, tidak ada pemeran yang mubazir di film ini. Semuanya mendapat peran yang porposional dan sesuai dengan kebutuhan cerita. Untuk itu, saya kasih niai 8,5. 

Tone film ini juga salah satu yang sangat saya suka. Gelap mencekam bahkan di siang hari. Kamu mungkin sudah terbiasa memikirkan ini: di film horor mana pun, menunggu siang adalah satu-satunya cara untuk melarikan diri dari hantu. Sayang sekali, film ini akan menghapus 'stereotip' itu dari pikiranmu mulai sekarang. Kamu tidak akan pernah bisa lari dari teror hantu menakutkan, bahkan di siang bolong yang bermandikan cahaya matahari. Hal ini juga didukung dengan soundtrack yang kurang ajar. Seperti khasnya film horor Hollywood, musik penggiringnya adalah alat utama untuk memainkan tensi dan emosi penonton. Siapkan jantungmu. Musik sepanjang film ini memang, sekali lagi, kurang ajar. Kamu akan dibuat berteriak-teriak ketakutan. 7,5 untuk dua poin yang kusebutkan terakhir.

Namun, meskipun secara garis besar film ini berhasil menarik perhatianku, dan--thanks God--tidak mengecewakan seperti film sebelumnya, tetap saja terasa ada yang kurang di sana. Terus terang, saya bisa menikmati film ini bukan karena kesan seram dan mencekamnya, tapi lebih karena alur cerita yang menarik itu tadi, juga karakter-karakter tokoh yang mengagumkan. Bukannya songong nih ya, hampir tak ada yang bikin aku benar-benar ketakutan, sementara penonton lainnya--yang terdengar hanya suara cewek--berkali-kali berteriak entah karena kaget oleh detuman musik yang tiba-tiba, atau karena menghindari kemunculan hantu di tengah-tengah film. Ini barangkali disebabkan oleh formula film horor Hollywood yang begitu-begitu saja sejak dulu. Permainan musik yang mengagetkan, dengan sesekali memunculkan sosok hantu yang kalau diperhatikan baik-baik, sebenarnya masih kurang seram dibanding hantu-hantu lokal di negeri kita--sampai sekarang, aku masih suka ketakutan sendiri membayangkan sosok hantu sundel bolong Suzanna setelah bertahun-tahun menontonnya.

Tetapi, bukan berarti film ini gagal jadi film horor. Tidak begitu. Hanya masalah selera. Bagiku tidak terlalu seram, mungkin bagi kamu sudah bisa menyebabkan mimpi buruk, kan. Intinya, film ini bagus, bisa dinikmati, dan tidak mengecewakan. Namun, juga tidak sempurna sehingga harus mendapat rating 100%. Dan memang, sampai review ini saya tulis, rating film ini sudah merosot tajam di Rotten Tomatoes. Bisa dibuktikan di sini. Mengejutkan, tentunya.

Penilaian keseluruhan dari saya: 7 dari 10 bintang. Selamat menonton.

(Malang, 13 Agustus 2017)

.


Komentar