Menikmati Peluh Darah Perjuangan dalam Perantauan

Gambar: gadangdirantau.wordpress.com
Kredo yang jamak didengar itu, yang mengukuhkan bahwa lelaki Minang sesungguhnya terlahir membawa tabiat perantau dalam aliran darahnya itu, mungkin memang tepat adanya. Saat ini, berdasarkan itu pula barangkali bisa kutahbiskan diri sendiri sebagai lelaki Minang sejati (uhuk). Spirit merantau ini telah mengalir dalam nadiku sejak usiaku bahkan masih belum genap tiga tahun. Diboyong meninggalkan kampung halaman oleh papa dan mamaku menuju negeri nan jauh di seberang lautan sana, menyeberangi selat Malaka, dengan perahu tongkang nelayan seadanya, yang tiap lima menit sekali semua penumpang lelaki di atas perahu berebut menguras air laut yang merembes masuk tiada henti sepanjang malam agar kami semua tidak karam diamuk gelombang lautan yang mengganas, tubuh mungilku yang harus dibungkus plastik agar tidak kuyup kedinginan oleh guyur hujan dan tempias air laut, demi mencari nasib penghidupan yang lebih baik, tentu menjadi pengalaman hidup tak terlupakan yang mengendap kuat dalam alam bawah sadarku. Buktinya, beberapa potong adegan pelayaran menyeberangi selat Malaka di suatu malam, 22 tahun silam itu masih melekat kuat di ingatanku sampai sekarang, seperti kelebat potongan adegan film-film lawas yang diputar berulang-ulang dan diam-diam menjadi bahan bakar utama yang senantiasa meneguhkan jiwaku untuk tidak gampang iba hati bila mendadak kangen orang tua dan keluarga yang jauh di mata. Pun, yang selalu menantang egoku untuk meneriakkan dalam kepala, saban hari, saban waktu: pantang pulang sebelum jadi orang.

Gambar milik Durradatul Azkia - Blogger
Meski, memang, bagi kami orang-orang Minang, tradisi berjuang di perantauan ini bukanlah hal yang istimewa dan perlu dibangga-banggakan. Karena, mengutip ucapan penulis idola saya, mas Eko Triono, cerpenis muda keren yang katanya sebentar lagi mau menikah dan kalau ngomong bisa lebih memotivasi dibanding Mario Teguh sekaligus lucu nggak ketulungan macam Sule—tapi lebih elegan dan elit, "Penjual bakso tidaklah dianggap keren ketika dia berhasil membuat bakso yang enak, karena memang kerjaannya membuat bakso". Demikianlah, orang Minang tidak seharusnya merasa keren hanya karena dia terbiasa hidup merantau, sebab emang merantau sudah jadi fisolofi wajib hidup mereka dari sononya. Sampai di sini, jelaslah, bahwa meski kebanyakan teman-teman yang mengenal saya dengan cukup akrab seringkali merasa takjub, terpana, bercucuran air mata (nggak, ini lebay), heran, nggak habis pikir, berdecak kagum dengan riwayat perantauan saya yang bahkan mengalah-ngalahkan Bang Toyib itu, sebenarnya kesemuanya itu tidaklah begitu memesona sebagaimana kedengarannya. Bertandanglah sekali-sekali ke kampung halaman saya. Akan Saudara dapati hampir 70% lebih anak mudanya tidak berada di kampung pada hari-hari biasa seperti ini. Mereka semua sedang berjuang di perantauan, hanya pulang sekian tahun sekali. Hidup di kampung tanpa menyumbangkan manfaat berarti bagi masyarakat, hanya bermalas-malasan membuncit-buncitkan perut meluluhlantakkan beras ibu tanpa diimbangi dengan pekerjaan dan penghasilan yang layak, jelaslah menjadi aib besar yang amat memalukan keluarga.

Gambar milik minangrancak.com
Maka benarlah adanya bahwa merantau adalah salah satu guru terbaik dalam proses mendewasakan diri. Tak terhitung banyaknya pengalaman hidup yang telah mengubah cara pandangku terhadap dunia sejauh ini. Yang mengajariku untukmenukil pesan Pak Iyu"menjadi manusia". Belum lagi pengalaman spritualitas dalam perjalanan menemukan Tuhan, atau bertemu orang-orang yang antipati pada Tuhan, atau bertemu orang-orang yang merasa paling berhak jadi kaki tangan Tuhan, akan selalu menjadi pelajaran berharga yang tak akan pernah Saudara dapatkan di bangku-bangku sekolah. Tentu tak terlupakan pula pengalaman bertemu dengan bejibun orang-orang keren lainnya yang berpengaruh besar dalam penentuan arah kehidupan, dan sederet kejadian-kejadian besar sejenis itu yang akan mustahil bisa kudapatkan bila aku tidak meninggalkan rumah. Dengan merantau, Saudara akan mengerti arti perjuangan, penderitaan, rasa lapar nggak manusiawi kala kehabisan uang tanpa bisa mengadu pada sanak saudara di rumah, perasaan keterasingan yang menyakitkan, warna-warni jatuh cinta dan sesak dan remuk redamnya patah hati, bahkan bagaimana rasanya nyasar di suatu kota yang baru pertama kali Saudara singgahi, tanpa alat komunikasi, dengan lutut bergemetar menahan lapar dan dahaga, lantas dengan pasrahnya harus menumpang tidur di pos polisi. Perjuangan-perjuangan semacam ini, tentu tidak akan kutemui bila aku berdiam diri di kampung halamanku dan tidak ke mana-mana. Aku pastilah akan terus menerus menjadi katak dalam tempurung.

Lantas, setelah sejauh itu pengalaman perantauan membentukku menjadi diriku yang sekarang, yang belakangan semakin kusadari kemudian adalah bahwa aku harus terus menerus belajar untuk menjadi sebenar-benarnya manusia. Manusia yang berarti (dan semoga segera beristri). Manusia yang perjuangannya memiliki kebermanfaatan bagi manusia sekelilingnya. Manusia yang tidak mudah menyerah. Manusia yang harus sungguh-sungguh berusaha menyelesaikan skripsinya dan segera wisuda. Manusia yang pantang ciut ketika badai kesusahan menimpa biduk kehidupannya, namun tidak lantas menjadi jemawa dan besar kepala setelah berada di atas angin dan kaya raya. Untuk jenis manusia terakhir ini, panutanku tentu saja tak lain dan tak bukan adalah Pak Iyu.

Gambar milik wonderfulminangkabau.com
Dengan bermodalkan pengalaman-pengalaman yang telah kuuraikan tadi, dan durasi perantauan yang hingga hari ini, sudah memasuki tahun ketujuh dengan hanya baru sekali menjejakkan kaki pulang kampung, tentu aku berharap kedewasaanku akan pula semakin menabal seiring bertambahnya usia dan berkurangnya jatah hidup di dunia, entah pemikiran, keimanan, juga (semoga) kemapanan. Sejauh ini pulalah, aku selalu berusaha untuk menikmati setiap penggal episode perjuangan yang sedang berlangsung. Berdamai dengan masa lalu, berkasih mesra dengan harapan-harapan masa depan. Dan jangan pula lupa, bahwa perjuangan ini akan terasa semakin manis bila dinikmati dari titik terendahnya, agar bila nanti berhasil mencapai puncak, aku tak sombong, tak lupa daratan, dan ingat betul dari lembah mana dulunya aku berasal. Itulah jua yang menjadi alasan mengapa aku memilih untuk mengidolakan klub sepakbola antah berantah yang sedang berjuang di liga kasta bawah, seperti QPR di Premiere League, alih-alih Chelsea atau MU, dan Granada di La Liga, alih-alih Real Madrid atau Barcelona, walaupun musim ini aku harus rela menyaksikan klub dukunganku itu terdegradasi. Terakhir, semoga, setelah membaca curahan hatiku yang berlepotan ini, kamu juga bersedia berjuang bersamaku dari bawah, ya. Kamu, iya, kamu, yang kelak akan menjadi ibu bagi anak-anakku, anak-anak kita (uhuk-uhuk-uhuk).

Malang, 20 Maret 2017
Miko Waldufri

Komentar