Titik Tolak dan Titik Balik

Untuk apa Tuhan menciptakan jalan kehidupan seorang hamba yang berbelok-belok tajam? Tentu bukan untuk sebuah kesia-siaan. Bahasa syari'atnya mengatakan, "Selalu ada hikmah di balik segala kejadian". Sesederhana itu yang kupercayai dan yakini, setiap kali roda kehidupanku mulai menggelinding menuju turunan tajam yang bikin sesaknya dada dan susah terpejamnya mata di malam gulita. Meskipun aku bukan muslim sesempurna akhy-akhy idamanmu, namun jauh di lubuk jiwaku, aku percaya Tuhan tak akan menelantarkanku remuk dalam cerita perjalanan yang tak kuasa kuampu.

Siapapun kurasa pernah berada di fase-fase krisis itu. Merasa keberadaanmu di dunia hanyalah debu, remah-remah roti, sisa kulit kwaci, atau bekas remukan kertas revisian skripsi yang dijadikan bungkus cabai di pasar-pasar pagi. Tak berguna, gagal, hopeless, merasa lebih baik tak pernah dilahirkan ke bumi. Semua itu wajar belaka, pertanda bahwa kamu masih memiliki sifat-sifat manusiawi.

Kewajaran itu membuat penderitaanmu tidaklah menjadi lebih mulia dan lebih hebat dari temanmu. Terlebih lagi, persepsi orang-orang dalam memandang penderitaan tentu beragam, di satu dua bagian, cenderung mengalami proses dramatisasi. Nelangsa menurutmu, bisa jadi belum seupilnya nelangsa menurut pengemis yang menadah tangan sepanjang pedestarian kota. Durja di mata pengemis itu, belum tentu juga lebih menyakitkan dari durjamu yang mengemis-ngemis cinta tapi masih saja tak terlihat hilal pengharapanmu akan merekah. Sampai di sini, semua serba relatif, tak bisa dipukul rata.

Namun, terlepas dari segala itu, pada akhirnya kita sendirilah yang akan memutuskan ke arah mana kesakitan-kesakitan itu akan kita perjalankan untuk mencari kesembuhan, dan pengorbanan-pengorbanan semacam apa yang hendak kita pertaruhkan. Maka kamu dan aku, di suatu titik perjalanan itu, akan takjub dengan pintu keluar yang dihamparkan Tuhan, sekonyong-konyong, tak tertebak, yang bahkan dalam mimpi terliarmu sekalipun tak pernah membayang. Itulah yang kita sebut dengan titik tolak dan titik balik kehidupan. Ketika kamu menemukan kedua titik itu, percayalah, kamu akan merasakan kekuasaan Tuhan itu nyata. Dan kehidupanmu serta merta seakan sedang dihujani oleh mukjizat dengan berjuta keajaiban tak masuk akal.

Inilah titik balik sekaligus titik tolakku: Yogyakarta, Kampus Fiksi, dan buku-buku.

Dari Yogyakarta, petualanganku untuk melanjutkan SNMPTN dimulai 4 tahun lalu hingga kakiku sekarang berpijak di kampus yang kucintai dan sebentar lagi ingin segera kutinggalkan, setelah terseok-seok sendirian di negeri rantau yang tak kepalang jauhnya dari apa yang kusebut pulang. Di tahun itu juga aku mencoba berkisah melalui cerita-cerita pendek dan bersambung, yang menghubungkanku dengan penerbit Diva Press yang terkenal karena CEO-nya yang nyentrik, koplak, bertangan dingin, rada egois, namun kaya raya--ya hartanya ya hatinya--itu, yang bertahun kemudian menautkankan nasibku pada sebuah keluarga yang bernama Kampus Fiksi. Tali-tali takdir memang penuh misteri. Aku haqqul yakin, tak akan ada teknologi masa depan yang akan mampu menerka nasibmu. Apalagi cuma lewat selembar kartu tarot dan ramalan bintang. Maka tak pernah pula aku bermimpi dulunya, bahwa hari ini kehidupan akan membawaku ke titik balik dan titik tolak ini. Tak pernah. Tak tertebak, tak terprediksi, persis sikapmu.

Tentu aku bahagia berada di lingkar takdir yang kuhuni sekarang. Ya, meski aku belum ingin menjanjikanmu banyak hal di masa depan. Selain melecut diriku sendiri tiap hari, bahwa seperti para tetuaku yang karya-karya mereka abadi dalam ketiga buku antologi cerpen ini, aku harus berada di bukit yang sama dengan mereka suatu kelak, untuk terus berkarya, berkarya, dan berkarya. Setidaknya, bila aku nanti mati, namaku masih tersenyum padamu, dari rak-rak buku rumahmu. Dan kamu pun akan teringat padaku, seorang lelaki melankolis (calon) penulis yang gemar membanjiri beranda facebook-mu dengan status-statusnya yang selalu sendu.

Untukmu yang membaca ini, kupersembahkan pelukan hangat dari jauh, dan sebait doa agar kamu temukan sendiri titik balik dan titik tolak hidupmu, yang lantas akan mengubah keseluruhan cerita durjamu, menjadi buku-buku pemahaman dan pengharapan yang akan abadi dalam lemari-lemari kebahagiaan. Yang akan menopang tegakmu untuk senantiasa menghadapi dunia dengan segenap penerimaan yang lapang.

Tersenyumlah!

Tersenyumlah!

Tersenyumlah!

Tersenyumlah, meski tak ada bintang malam nanti, meski tak tidur-tidur matamu demi menuntaskan skripsi.

(Malang, 11 Januari 2017)

Komentar