Mimpi yang Bisu dan Nestapa yang Kau Sembunyikan dalam Kepura-puraan yang Lara

/1/
Aku mengejarmu hingga ke kaki Semeru, kutemukan mega senja yang terlampau usang di bukit-bukit terjal dan tubir-tubir berbatu. Di tepian Ranupane petang itu, rona wajahmu jatuh menimpa riak telaga yang beku, membuncah senyap hingga kepingan-kepingannya berderai seperti tawamu, melingkupi langit dengan halimun malam seharum desah napasmu. Dalam gigilku yang menghebat, kau merangkumku ke dalam pagutan liar yang hangat, aku lantas takluk oleh mimpi yang tak bersuara. Sedang bayanganmu bernyanyi-nyanyi dalam kebisuan yang lara.

/2/
Ada debur rasa yang mencabik fajarku di tepian Balekamba yang sesak laksana pasar pagi. Para perempuan dan lelaki yang bertelanjang kaki, apa yang mereka cari? Bagaimana rumusnya memandang laut membuat nelangsamu sirna? Entah senyum dan tawa dikejar ombak hanya ilusi kesenangan dan semua orang sepakat untuk menyembunyikan kepura-puraan, menyimpan nestapa diam-diam. Enyah kalian, biarkan aku menjadi setulus-tulusnya kejujuran. Aku akan berteriak, memaki, menangisi jasad-jasad yang telah mati dikubur samudera tanpa sempat membayar rindu, serta mayat-mayat hanyut yang tak pernah mengerti cara bangkit dari luka sedang mimpi-mimpi masih berkelebat seperti potongan pelangi. Teruntuk mereka, yang memeluk maut dalam napasnya yang masih mendesah, akan kupersembahkan sejernih-jernihnya air mata.

/3/
Apa kabar, Nopemberku yang kalah? Akankah hujanmu merintik tepat waktu tahun ini? Basahi aku nanti, agar rindu, lara, dan mimpi-mimpi tentangnya, mekar sama hebatnya.

(Malang, 2 Januari 2017)

Komentar