AMBANG WARAS

Kemarin petang, aku bersua Hartono, karibku semasa kuliah dulu yang kini jadi saudagar kaya raya. Toko ritelnya ada di mana-mana. Selain perutnya yang tidak lagi diam dengan tenang di balik kemejanya, beriak bergelombang tiap ia bergerak dan tertawa, serta kepalanya yang bersaput uban di sana-sini, tak ada yang berubah. Caranya menyapaku, masih selayaknya kawan lama yang seolah tak pernah dipisahkan rentang tiga puluh tahun lebih waktu.

"Kau harus menikah," ucap Hartono dengan selayang tatapan prihatin berikut kasihan.

"Siapa yang mau bersuamikan lelaki tua pesakitan sepertiku?"


Hartono tercenung cukup lama. Pandangannya yang berair pindah-pindah dari antara pelipisku dan kursi tamu rumahku yang buluknya bukan kepalang. Ia tentu tak bisa menyangkal kenyataan tak terbantahkan yang kusodorkan ke mukanya itu.

"Beri aku waktu dua minggu. Akan kupikirkan jalan keluarnya."

Aku tergelak. "Sudahlah, tak usah kau risaukan perkaraku. Aku sudah biasa hidup melajang. Toh sebentar lagi aku juga mati."

Perjumpaan dengan Hartono menjadi musabab bangkitnya ingatanku tentang Kamilah, cinta pertamaku dari masa kuliah itu. Jika aku harus menikah, maka hanya Kamilah-lah satu-satunya perempuan yang kuinginkan. Tapi berhubung mendamba hal itu sama mustahilnya dengan membalik usiaku ke dua puluh tahun lalu, Kamilah akan tetap menjadi harapan dan angan belaka bagiku. Tak mungkin Kamilah memilihku. Sama tak mungkinnya bagiku untuk menolak ketika dua puluh tahun lalu, Hartono meminta tolong padaku untuk menemaninya ke rumah orang tua Kamilah, dan melamarnya. Hartono anak orang kaya, lebih segala-galanya dibanding aku. Kudengar pula gunjingan orang, Kamilah telah lama memendam hati pada Hartono.

Dua minggu berlalu. Aku hampir lupa dengan pertemuanku dengan Hartono. Lalu sebuah taksi putih berhenti di depan rumahku. Dari balik tirai jendela, aku hampir saja terjungkang di lantai saking terkejutnya. Hartono turun dari taksi, mengapit lengan Kamilah di sisinya. Aku menggigil dalam cuaca panas membara siang terik itu.

"Akan kuceraikan Kamilah. Menikahlah dengannya."

Mulutku mengaga sedemikian lebar sehingga aku takut Kamilah dapat melihat anak tekakku yang bergetar-getar. Ini pasti mimpi. Ataukah Hartono sedang bercanda. Ia pasti hendak mempermalukanku di depan Karmila.

Rasanya kejadian itu melambat dengan rikuh sekali. Kami bertiga bertatapan, sama-sama diam. Hingga seseorang menggapai tanganku dari belakang.

"Pak, ayo masuk, nanti kehujanan."

Aku berpaling pada perempuan muda yang menarikku ke dalam. Ia menutup pintu.

"Tunggu, Hartono," aku menunjuk ke balik pintu yang baru saja tertutup. "Kamilah. Kami akan menikah. Hartono akan menikahkanku dengan Kamilah."

"Pak, pasti obatnya nggak diminum lagi?" perempuan muda itu tersenyum dengan kalimatnya yang tenang dan anggun. "Ayo saya antarkan ke kamar."

Aku menggaruk-garuk kepala. Aku tak mengerti. Tadi ada Hartono. Tadi ada Kamilah. Kenapa sekarang semua ruangan ini serba putih-putih?

(Malang, 5 Desember 2016)

Komentar