Oleh: Jumaiko Ahmadi
(Ditulis di bulan Maret 2012)
Pagi tadi, aku tiba di
rumah. Pulang kampung setelah lima tahun hidup di perantauan tak pernah bersua
dengan ibu. Malam ini ibu langsung memburuku dengan pertanyaan klasik yang
selalu beliau tanyakan padaku semenjak tiga tahun terakhir ini melalui
percakapan lewat telepon dan surat-suratnya.
Aku sudah menduga
pertanyaan itu. Jawabanku masih sama seperti yang sudah-sudah: diam. Kutatap
mata ibu lekat-lekat sembari mengalum senyum. Kubelai rambut kepalanya yang
sudah memutih sebagian. Ibu mendengus lesu mendapati jawaban diamku. Beliau
membuang muka jauh-jauh menembus gelap malam yang sedang dirembesi angin
dingin. Aku merebahkan kepala di bahunya. Kupeluk tubuh kurusnya yang semakin
lemah digerogoti usia senja.
“Adikmu, Riani, dua
bulan lagi akan melahirkan anak keempatnya. Sementara kau, satu saja belum.
Sampai kapan kau akan hidup membujang?”
Malam menjalar perlahan
meniti puncak gelapnya. Udara dingin makin kentara menggelitik kulit
menimbulkan gigil-gigil kecil. Sama seperti sepuluh tahun lalu, halaman luas
rumah ini, pohon rambutannya yang rimbun dan sebentar lagi akan pula belajar
berputik, bunga-bungaan indah yang tertata rapi di terasnya hasil karya
kelembutan perasaan wanita terhebat sepanjang masa: ibuku, bangku kayu bercat
coklat ini, semuanya masih terasa sama. Yang berbeda hanya aku dan ibu. Aku 35
tahun sekarang. Ibu hampir memasuki 65.
“Nanti kalau sudah
waktunya, aku pasti akan menikah, Bu,” Kukecup kepalanya. Ini jawaban
pertamaku. Sekadar membesarkan hati ibu. Bagaimanapun, urusan ini sungguh
penting baginya. Salah-salah bicara, hatinya akan terluka. Dan aku tak ingin
melukai hatinya sedikitpun.
“Kau laki-laki, Buyung.
Jodoh itu harus dicari, dijemput. Jangan hanya menyerah pada takdir. Jangan
hanya menunggu,”
“Iya, Bu… Aku tahu…”
“Ibumu ini sudah tua.
Besok atau lusa, sang pencabut nyawa itu pasti akan datang menjemput, tak ada
yang tahu,”
“Ibu…” Nafasku tercekat.
Aku tak ingin mendengar ibu mengucapkan kata-kata itu. Aku tak ingin berpisah
dengan ibu secepat itu, tidak!
“Maka selagi ada waktu,
izinkanlah si tua ini melihat anak bujangnya menikah, menimang anak…” Mata ibu
basah. Disekanya sudut matanya yang berembun itu dengan selendang putihnya.
“Ibu jangan bicara
begitu…” Aku mempererat pelukanku padanya.
Ia menatapku sejenak,
seperti sedang mengumpulkan sesuatu di pikirannya, “Jangan bilang kau masih
memikirkan perempuan itu, Anakku…”
Aku tergugu. Lidahku
kelu.
“Ibu???”
***
“Hei, Za! Kau ditunggu Siti
di kantin depan!” Andi menepuk pundakku.
“Siti? Ada perlu apa?”
Ragu-ragu, kututup juga akhirnya diktat kuliahku lalu kumasukkan ke dalam tas.
“Mana aku tahu,” Andi
mengangkat bahu. Aku segera bangkit dari duduk. Kurapikan kursi. Beberapa buah
buku tebal berberat sekitar tiga kiloan kukembalikan ke raknya.
“Kau ikut?” tawarku
pada Andi sekadar basa-basi. Dia menggeleng cepat seakan sudah tahu maksud
basa-basiku.
Sejurus kemudian aku
telah keluar dari ruang perpustakaan menuju kantin yang dimaksud Andi, dua
ratus meter di depan sana. Dari jarak lima belas langkah, aku telah melihat dengan
jelas seorang gadis berkerudung gelap duduk sendirian memainkan sedotan dalam
gelas minuman dinginnya.
“Hai, maaf kelamaan
nunggu,” Aku menarik sebuah kursi, duduk berhadap-hadapan dengannya dibatasi
meja makan. Gadis itu tersenyum.
“Kamu apa kabar?” tanyaku
lagi.
“Baik…” jawabnya pelan.
“Syukurlah,” ujarku
tersenyum. Mataku berkeliling mengamati sekitar. Sengaja tak memandang gadis
itu. Jemariku mulai usil mengetuk-ngetuk meja mengisi kekosongan.
“Kamu nggak mesan makan
atau minum?”
“Eh, nggak. Aku udah
makan siang,” Aku tersenyum lagi. Dia mengangguk pelan sambil memain-mainkan
sedotan dalam gelas. Seperti kesulitan memulai pembicaraan. Aku diam
menunggunya bicara.
“Za…” Ia menyebut
namaku. Aku mengalihkan pandangan tepat di kedua matanya. Mengangkat alis
menanti kalimat yang akan diucapkannya.
“Dua bulan lagi kita
wisuda, apa rencanamu selanjutnya, Za?”
“Melamar kerja,
pastinya…” jawabku, “memang kenapa?”
“Kalau udah dapat
pekerjaan?”
“Menikah, mungkin…”
“Kamu akan menikah
dengan siapa?” Ia menunduk. Kutebak arah pembicaraan ini, pasti tentang
perjodohan itu.
“Siti… Maaf…”
“Iya, aku tahu, kamu
masih mencintai dia…” katanya pelan, “aku mengajakmu datang ke sini hanya untuk
memastikan apa kamu mau menerima rencana perjodohan itu atau tidak, itu saja. Dan
sekarang aku sudah tahu jawabanmu,”
“Kamu nggak harus
memaksakan diri dengan perjodohan itu, Siti. Kamu berhak menolak. Seperti juga
aku, berhak mengatakan tidak,”
“Nggak… Kamu nggak
tahu, aku sama sekali nggak bisa berkata tidak pada kedua orang tuaku. Dan…”
“Dan apa?’
“Aku sendiri juga nggak
mau mengatakan tidak…”
***
“Nisa, aku nggak tahu
apa aku akan bisa jatuh cinta lagi selain padamu. Sejak pertama kali aku
mengenal cinta, segala definisiku tentangnya hanyalah segala hal indah yang
kurasakan bila melihatmu. Hanya kamu, Nisa! Hanya kamu!”
“Aku nggak melarangmu
jatuh cinta padaku, Za. Kamu berhak mencintai siapa saja. Tapi kamu juga harus
tahu, aku, seperti juga kamu, punya hak yang sama untuk mencintai siapapun yang
kumau,”
“Tapi Nisa, apakah
sedikitpun kamu nggak merasakan hal yang sama padaku? Kebaikan-kebaikanmu itu,
sikap baikmu padaku, perhatianmu, semuanya, bukankah pertanda bahwa kamu juga…”
“Nggak, Za! Jangan
keliru! Kita sudah berteman sejak kecil, wajar saja jika aku bersikap baik
padamu! Tolong, jangan salah artikan kebaikan-kebaikanku!”
“Nisa, please! Tidak adakah sedikit saja
kesempatan untukku? Sedikit saja, Nis!”
“Bagaimana?? Aku nggak
pernah mencintaimu! Kita hanya berteman, nggak lebih! Cinta itu nggak bisa
dipaksakan, Za!”
“Nisa…”
“Sudahlah, Za! Ibu
mana? Aku datang ke sini untuk mengasih ini pada ibu,”
“Apa itu?”
“Untukmu juga… Ini,”
Aku menerima dua buah
undangan pernikahan itu.
“Nisa, kamu??”
“Maafkan aku, Za. Kami
telah saling mencintai sejak lama. Dan seminggu lagi, ikatan itu akan segera
disakralkan. Aku sangat berharap kamu dan ibu hadir di acara pernikahanku
nanti,”
Aku mematung memandangi
surat undangan itu. Mataku lembab. Dadaku bergemuruh. Tanganku bergemetar
hingga tak kuat menggenggam.
“Titip salam buat ibu.
Permisi,” Ia melangkah turun dari teras rumahku.
“Tunggu, Nis…”
“Apa lagi?” Ia berbalik.
Kurogoh saku celanaku.
Kukeluarkan sebuah kotak beledu kecil. Kubuka tutupnya. Bergetar tanganku
memungut benda berkilau dari dalam kotak itu. Kuacungkan benda itu ke depan, kearah
Nisa.
“Kau tahu, Nis? Malam
ini aku dan ibu berniat datang ke rumahmu membawa cincin pinangan ini… Tapi
sayang, aku terlambat. Dan lebih disayangkan lagi, kamu tak pernah mencintaiku…
Andai saja aku tahu semuanya sejak awal…” Ketegaranku sebagai lelaki rubuh.
Mataku menitik. Sementara Nisa tak bergerak. Ia ternganga melihat benda itu. Aku
yakin ia tak menyangka aku akan meminangnya. Namun, semua itu benar-benar telah
terlambat.
“Maafkan aku, Za…”
lirihnya. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Aku… Aku sudah bilang,
Nis, aku tak mengenal cinta selain dirimu… Kini kamu akan menjadi milik orang
lain. Aku tak kan bisa lagi mendapatkan cintamu, bukan? Tak apa. Meski melapuk
tubuhku ini dimakan waktu, cintaku tak kan pernah lapuk, Nisa…” baru kali ini
aku terisak di depan perempuan selain ibuku, “dan selama cinta ini masih mengakar
kuat di hatiku, aku akan tetap membujang!”
“Za…” tangisannya
tumpah jua, “maafkan aku, Za. Maafkan aku…” Ia berlari keluar pagar. Menaiki
mobilnya, lalu menghilang dari pandanganku.
***
“Ibu… Aku…”
“Jujur saja, Nak. Kamu
masih mencintai Nisa, kan?”
Aku menunduk lemas.
“Dia sudah jadi istri
orang, Yung… Kau tak boleh lagi mencintainya… Kau tak boleh tertipu oleh cinta
itu. Kau masih punya kehidupan sendiri yang lebih baik. Kau harus menikah,
belajar melupakan gadis itu…”
“Aku tak bisa, Bu…”
“Kau pasti bisa,
Anakku! Jangan perturutkan perasaanmu! Gunakan akal sehatmu! Jangan lemah!”
Wajahku pias menahan
sebak di hati. Memanglah, hanya seorang ibu yang paling mengerti perasaan
anaknya. Dan sekarang, aku tak akan mampu membohongi ibu akan hal itu. Tentang
Nisa, yang membuatku rela membujang karena cintaku padanya yang tak pernah
berbalas.
Sudah sepuluh tahun
sejak senja itu, di sini, di teras rumah ini, Nisa memberiku undangan acara
pernikahannya. Hari itu, di sini, di teras rumah ini cintaku pada gadis itu
harus terkubur hidup-hidup meski sampai saat ini ia tak jua kunjung mati. Hari
itu, di sini, di teras rumah ini, sepuluh tahun lalu, kuikrarkan tekad
‘bodoh’ku untuk terus hidup sebagai bujang lapuk akibat patah hati.
Dan sekarang, akankah
aku mengalah pada cinta pertamaku itu dengan terus terpuruk tenggelam
dibayang-bayangi masa lalu, atau aku bangkit demi membahagiakan hati ibu di
hari-hari senjanya, menyaksikan anak lelaki satu-satunya mengikrarkan akad
nikah nan suci?
“Ibu sudah memberi tahu
orang tua Siti seminggu lalu bahwa kau akan pulang. Kau tahu? Gadis itu belum
menikah hingga kini. Dia masih menunggumu. Ibu berharap kau mau mengabulkan
permintaan ibu kali ini, Anakku… Menikahlah dengan Siti,”
Aku tak tahu apa yang
harus kukatakan pada ibu. Hatiku bimbang bukan kepalang. Cintaku pada Nisa
sungguhlah tak lapuk di hatiku. Namun cintaku pada ibu tentu lebih dari
segala-galanya dibanding dunia seisinya. Kupeluk ibu sekali lagi. Dalam kebimbangan
itu, aku mengangguk lemah pada ibu.
selesai
bagian 2nya adakah? di tunggu yak.. :)
BalasHapusItu udah diposting yg bagian kedua. Appy reading
BalasHapus