DIA ADALAH TEUKU RAFLI-KU


Surabaya, 22 November 2015, pukul 08:00 WIB
Rasanya sekarang, seperti sedang berada di pelipir kawah gunung berapi. Setengah langkah lagi berjalan, aku akan menjerumuskan tubuhku dengan bebas ke dalam lautan lahar mendidih di bawah sana tanpa sedikit pun menyesalinya sebagaimana saat ini aku menyesali kebodohanku yang sungguh tak termaafkan.
Penyesalan itu, yang telah menumpahkan berkubik-kubik air dari mataku selama berjam-jam sejak semalam, yang membuat bengkak kantong mataku, hingga tak ada lagi yang bisa kukeluarkan selain isak dan sedu sedan, sama sekali tidak akan sanggup menebus dosaku pada Rafli.
Lelakiku itu, sekarang sedang terbujur kaku di ruang tamu rumahku, di balik helai-helai kafan putih yang membungkus jasadnya.
Oh, Rafli-ku yang malang....

***


Surabaya, 9 September 2012, pukul 08:00 WIB
Minggu pagi yang bersejarah....
Aku baru saja pulang lari pagi di kompleks perumahan.
Ketika membuka pagar dan memasuki halaman depan, kutemukan seorang lelaki muda berkaus hitam polos bercelana jeans panjang biru tua sedang menggali tanah di atas rumput di pojok halaman. Dia menggunakan benda dari batangan besi menyerupai setang sepeda setinggi satu meter lebih dengan ujung runcing seperti bor. Aku berhenti berjalan untuk memperhatikannya.
“Permisi,” sapaku, “kamu tukang kebun yang baru?” Sejak pak Seno berhenti bekerja di rumah kami dan pulang kampung lewat dua bulan lalu, papa memang belum sempat mencari tukang kebun penggantinya.
Dia menoleh padaku tanpa menghentikan pekerjaannya. Dia tersenyum, lalu kembali membelakangiku, tidak berkata apa-apa.
“Baiklah kalau begitu.” Kuanggap senyumannya barusan sebagai jawaban iya. Kubiarkan dia melanjutkan pekerjaannya.
Aku berjalan masuk ke dalam rumah dan tak kutemukan siapa-siapa di sana. Ini kebiasaan yang aneh setiap minggu pagi. Selalu saja aku penghuni rumah yang terlebih dahulu pulang setelah tadi pagi keluar di jam yang sama, pukul enam. Selain mama—mungkin saat ini bertemu dengan salah seorang teman gosipnya di jalan sampai-sampai sudah dua jam lebih belum juga pulang—yang keluar untuk berbelanja ke pasar, aku, papa dan Erinda, adikku, keluar untuk lari pagi. Kami bertiga memang terbiasa mengambil jalur lari sendiri-sendiri, sudah semacam aturan tak tertulis. Aku tadi sempat melihat papa di taman kompleks, sedang mengobrol dengan om Dalih, teman kantornya. Adapun Erinda, aku yakin dia sekarang sedang jalan-jalan di CFD buat ‘cuci mata’ bareng geng begundalnya. Cewek centil itu pasti sedang tebar pesona ke mana-mana. Lari pagi hanya alibi.
Aku mengambil botol kaca minuman dingin dari kulkas di dapur lalu menaiki tangga menuju kamarku dan Erinda di lantai dua. Setelah menenggak hampir separuh dari botol isi satu liter itu, lalu meletakkannya di atas meja belajar, aku berjalan gontai memasuki kamar mandi yang pintunya berada di pojok kamar.
Aku mengutuk dalam hati karena kerannya macet. Aku malas-malasan turun ke kamar mandi lantai bawah. Aku kembali uring-uringan karena keran di bawah juga macet. Tanpa berpikir panjang, aku keluar menghampiri lelaki tadi. Dari ambang pintu yang terbuka separuh, aku memanggilnya.
“Permisi.”
Rupanya dia memiliki pendengaran yang cukup peka untuk merespons suaraku yang tidak terlalu tinggi. Dia yang sedang berjongkok mengeluarkan tanah dari lubang galian dengan tangannya, mengangkat kepala dan memandang ke arahku. “Kamu bisa memperbaiki keran yang macet?” Dia, kan, tukang kebun! Aku merasa konyol sendiri dengan pertanyaan itu. Tapi apa salahnya bertanya. Siapa tahu dia punya banyak keahlian lain, batinku.
Kulihat bola matanya bergerak-gerak sebentar searah jarum jam, dahinya berkerut, seperti memikirkan sesuatu. “Iya, aku bisa.” Tuh, kan! Kubilang juga apa!
Aku menunggu di ruang tamu setelah kutunjukkan keran kamar mandi belakang padanya. Lima menit setelah itu, dia mendekatiku. “Di sini pakai air ledeng atau air sumur bor?”
“Eh ... pakai sumur bor ... memangnya kenapa?”
“Tidak ada yang salah dengan kerannya. Mungkin pompa airnya yang bermasalah? Pompa airnya di mana? Boleh kuperiksa?”
Aku beranjak dari sofa dan berjalan dua langkah di depannya menuju halaman belakang. Sumur bor berada di sudut halaman sedangkan pompa air dipasang di dalam kotak besi di atas sebuah lantai beton berbentuk lingkaran yang menutupi sumur.
“Itu.”
Dia mendekati benda yang kutunjuk sementara aku berdiri menunggu di pintu. Aku melihatnya mencabut kabel pompa air dari sebuah colokan di dinding pagar, lalu memasangnya kembali. Anggut-anggut sesaat, lantas dicabutnya lagi.
“Aku pinjam obeng, pisau, dan selotip hitam.”
“Oke, sebentar.”
Aku mengambil semua yang dia minta dari garasi, sebentar kemudian sudah kembali ke dekatnya menyerahkan benda-benda itu.
“Terima kasih.”
Aku mengangguk. Dia lalu kutinggal kembali ke ruang tamu. Tidak sampai lima belas menit aku bersandar malas di sofa sambil menyemil sebungkus keripik kentang yang kuambil dari atas kulkas, aku mendengar suara pintu belakang ditutup. Refleks aku menoleh ke arah asal suara, namun dia masih belum terlihat dari sini. Aku masih menunggu kemunculannya untuk memberiku berita bagus mengenai pompa air itu. Beberapa detik berikutnya, yang kudengar malah bunyi kucuran air di bak mandi yang tersendat-sendat lalu berhenti dan hening sama sekali.
Tak kunjung melihat kemunculannya, aku pun kembali mengempaskan tubuhku. Kali ini dengan memerosotkan punggungku perlahan-lahan hingga setengah badanku bagian atas terbaring di atas sofa, sedangkan kedua kakiku kubiarkan tetap menjulur di lantai.
Aku buru-buru berdiri dan menarik kausku ke bawah, yang tadinya sempat tersingkap sedikit, ketika tanpa kusadari si lelaki tukang kebun telah berada di ruang tamu, kurang dua langkah dariku. Obeng, pisau dan selotip hitam yang tadi dia pinjam ditaruh hati-hati di atas meja kaca dan aku tahu pasti, dia sedikit pun tidak berusaha curi-curi kesempatan melirikku.
“Itu, pompa airnya sudah bisa,” katanya dengan nada yang berat namun terdengar ramah dan menyenangkan. Sepasang pupil matanya yang hitam kecokelatan dikelilingi warna putih sejernih susu, bergerak bebas mengikuti arah telunjuknya ke kamar mandi belakang. “Karena tandon airnya kosong, silakan ditunggu dulu beberapa menit lagi hingga terisi, baru setelah itu kamar mandinya bisa digunakan.” Dia menutup kalimatnya dengan tersenyum pendek, lantas membalikkan badan tanpa berlama-lama beradu tatap denganku. Sialnya, aku justru terpaku memperhatikan sepasang bola mata berikut alisnya yang tebal, tanpa sempat membalas kalimatnya. Saat aku baru saja menghela nafas untuk mengucapkan sesuatu, dia sudah melangkah ke luar rumah untuk melanjutkan pekerjaannya di halaman depan yang tadi sempat tertinggal. Aku sebenarnya masih sempat mengucapkan terima kasih, tapi aku tidak yakin dia mendengarnya atau tidak karena langkahnya cepat sekali.
Setelah dia berada di luar dan memulai kembali pekerjaannya. Aku memutuskan untuk memperhatikannya diam-diam dari balik kain gorden bertepatan dengan munculnya Erinda di pintu pagar. Dia kulihat kaget dengan keberadaan lelaki itu. Ekspresi Erinda membuatku tertawa. Adikku itu bergegas masuk rumah. Sebelum Erinda berhasil menggapai gagang pintu, aku buru-buru kembali duduk di sofa, tidak ingin kepergok Erinda bahwa aku sedang mengintip lelaki itu. Kusambar asal sebuah koran dari rak di bawah meja kaca lalu pura-pura membacanya.
“Dia siapa, kak?” Tanya Erinda sembari menutup pintu pelan-pelan, matanya masih tak putus menguntit sosok lelaki di luar sana.
Aku mengangkat kedua bahu dan mencibirkan bibir. “Mungkin tukang kebun yang baru.”
“Tapi ... kok ganteng?”
“Memangnya nggak boleh tukang kebun ganteng?” Sering aku memang tidak habis pikir dengan cara pikir adikku ini. Walaupun kali ini harus kuakui bahwa pendapatnya benar. Lelaki si tukang kebun itu ... dia ... memang tampan, sih ... untuk ukuran seorang tukang kebun.
“Ih, bukan gitu, Kak! Biasanya selama ini mantan tukang kebun kita, kan, sudah bangkotan semua. Pak Seno, Pak Munajih, Pak Iskandar, Koh Aceng.” Erinda mulai menurunkan tangannya dari kain gorden dan beringsut pelan ke arahku. Dia menyambar bungkus keripik kentangku dari atas meja kaca, mencomotnya segenggam penuh, lantas ikut duduk di sebelahku. “Tapi ini? Kok tumben, ya, papa nyari tukang kebun muda dan ganteng,” lanjutnya sambil menikmati kunyahan keripik kentang dalam mulutnya dengan wajah tak berdosa.
 “Kakak salah tingkah gara-gara tukang kebun itu, ya?”
“Hah? Maksudmu?” Aku melirik sebentar ke luar jendela, berharap lelaki itu tidak mendengar kegaduhan ini. Aku memelototi Erinda lama.
“Itu, sejak kapan Kakak mau baca koran? Tumben amat. Koran basi tiga hari yang lalu lagi.” Celetuk Erinda sambil terkekeh-kekeh berlarian ke kamar kami di lantai atas. Ah, sialan! Aku ketahuan!.
 “Erindaaaa! Awas kamu!”
***
Sejam kemudian, aku kembali duduk di ruang tamu sehabis mandi dan berganti pakaian. Mama sudah pulang selagi aku mandi tadi dan langsung sibuk memasak di dapur dibantu Erinda. Memasak memang bukan keahlianku. Mama menurunkan bakat mengolah makanannya itu hanya ke Erinda, sedangkan yang diturunkan ke aku adalah kecerdasannya dan tentu saja, kecantikannya. Erinda juga cantik, sih, tapi aku jelas-jelas lebih cantik daripada dia.
Sesampai di ruang tamu, aku terkejut melihat papa tertawa-tawa dengan si lelaki tukang kebun. Mereka tampak sudah sangat akrab. Papa juga ikut menanamkan potongan pipa paralon sepanjang tiga puluh sentimeter, yang entah untuk apa gunanya, ke dalam beberapa lubang bekas galian lelaki tadi. Lelaki itu berbicara lagi, yang entah membicarakan apa, lalu papa kembali tertawa dan membalas mengatakan sesuatu. Setelah selesai, papa mengangguk-angguk memandangi hasil kerjaan lelaki itu. Posisi papa saat itu membelakangiku, otomatis lelaki itu yang berposisi menghadapku. Aku sekali lagi dapat melihat dengan jelas raut wajah menyenangkan darinya. Sekali lagi pula, aku terpaku ... hingga sebuah tapukan di pundakku menarikku kembali ke kenyataan.
“Ternyata dia bukan tukang kebun kita yang baru, Kak.” Bisik Erinda di telingaku.
“Hah? ... Apa?” Aku tak mengerti.
“Nanti juga Kakak bakal tahu sendiri.” Erinda mencibirkan bibirnya padaku. Dia sudah berdiri di pintu, menghadap ke arah papa. “Pa, makanannya sudah siap. Disuruh mama makan sekarang.”
Mataku segera beralih ke arah dua orang itu. Papa merangkul sebelah bahu lelaki itu, sepertinya papa mengajaknya ikut masuk untuk makan pagi bersama kami. Tiba-tiba saja darahku berdesir hebat. Jika bukan tukang kebun kami yang baru, lantas dia siapa?
“Nah, ini dia anak pertama Om, kakaknya Erinda. Dia sekarang kuliah semester lima di Teknik Informatika ITS,” kata papa pada lelaki itu yang berjalan bersisian dengannya. Setelah itu, papa mengarahkan tangannya padaku dan memandangku seraya tersenyum. “Kiran, kenalkan, ini namanya Rafli. Dia dulu anak magang di kantor papa selama tiga bulan. Sekarang dia kembali ke kota ini dan bekerja di perusahaan surat kabar harian besar nasional yang menjadi langganan papa itu. Keren, bukan?”
Cara papa merangkul bahu lelaki itu, persis seperti papa merangkul bahu kami, kedua anak perempuannya. Lelaki itu hanya tersenyum pendek ke arahku seperti tadi, lagi-lagi tak berlama-lama menatapku. Adapun aku, sama sekali tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Aku hanya berdiri mematung dengan kedua telapak tangan kugesek-gesekkan pertanda bahwa aku sedang grogi parah.
“Tuh, kubilang juga apa. Dia bukan tukang kebun.” Erinda cekikikan membisikiku sepintas lalu sebelum melewatiku menuju ruang makan.
Erindaaaa!!! 
*** 

Waktu terasa berlalu sangat cepat sejak hari pertama aku salah mengira Rafli sebagai tukang kebun kami. Oh, iya, satu hal, aku tidak pernah memanggil Rafli dengan panggilan kakak karena sejak awal aku sudah terlanjur menyapanya dengan panggilan ‘kamu’. Terkadang, aku agak merasa bersalah juga, sih, walaupun usianya hanya terpaut dua tahun di atasku. Berbeda dengan Erinda yang tiga tahun lebih muda dariku, dia memanggil Rafli dengan panggilan ‘abang’. Caranya memanggil Rafli yang terkesan dimanja-manjakan itu, membuatku mual sendiri dan merasa ingin melabrak adikku itu dengan mangkuk bakso. Bukan apa-apa, selain aku menangkap raut tidak nyaman di wajah Rafli, aku juga ... tidak suka ... dengan sikap kekanak-kanakan Erinda. Oke, aku akui, aku cemburu!
Cemburu? Aku memang baru empat bulan kenal Rafli. Tapi rasanya sudah cukup untuk diam-diam mengaguminya. Apakah aku salah bila aku ... menyukainya ... diam-diam? Tetapi, yang perlu dicatat, aku tak senorak Erinda bila berada di dekat Rafli, gengsi, dong. Tapi aku selalu yang paling jago memperhatikan gerak-geriknya diam-diam, memancing papa untuk bercerita lebih banyak kepadaku tentang Rafli, setiap aku mengantar papa ke kantor, berdua saja, tanpa dicampuri Erinda.
Rafli yang ramah, santun dan mudah berbaur dengan semua orang, begitu yang papa sering bilang. Lihatlah caranya mengakrabkan diri dengan mama, sampai-sampai mama pernah keceplosan mengimbuhkan sebutan ‘anakku’ di depan nama Rafli. Hei, tidak jarang dia ikut membantu mama memasak di dapur kami. Dan sialnya lagi, kemampuan memasak Rafli jauh lebih baik dibanding Erinda, sehingga itu berarti, dia telah mengalahku dengan skor telak karena kemampuan memasak Erinda jauh lebih baik dariku. Satu lagi alasanku untuk cemburu pada Erinda. Apabila sudah berbicara tentang masakan, Rafli, mama dan Erinda selalu nyambung, membuatku tiba-tiba terasa seperti alien yang tersasar dari planet luar.
Papa jangan dikata, jauh-jauh hari beliau terang-terangan mengaku sudah menganggap Rafli seperti anak lelakinya sendiri. Karena bekerja di Surabaya, Rafli sering sekali berkunjung ke rumahku untuk bertemu papa. Kedua orang itu memang sudah sangat akrab. Rafli ternyata mengerti banyak hal praktis—selain membetulkan pompa air beberapa bulan yang lalu—seperti menata taman. Belakangan aku baru tahu apa yang dulu dikerjakan Rafli pertama kali aku bertemu dengannya di hari yang menyebalkan sekaligus bersejarah itu. Papa mengeluhkan halaman depan dan belakang rumah yang sering tergenang air bila sudah musim hujan. Untuk itulah Rafli datang ke rumah, menawarkan solusi cerdas dengan membuatkan biopori, lubang resapan air yang sekaligus bisa digunakan sebagai pembuat kompos sederhana. Bahkan sering juga di akhir pekan, Rafli bisa-bisa begadang menemani papa menonton pertandingan bola, setelah itu baru dia pulang ke rumahnya. Omong-omong soal rumah, dari cerita papa lagi di suatu pagi saat mengantarkannya ke kantor, aku tahu bahwa Rafli baru saja mengambil kredit rumah di sebuah kawasan strategis di Surabaya, dengan uang tabungannya sendiri selama bertahun-tahun. Rafli masih belum berhenti menambah kekagumanku.
Tentang ‘tabungannya selama bertahun-tahun’ itu, sungguh berhasil mengusik keingintahuanku lebih jauh. Kukorek lagi tentang itu, kutanyai papa saat sedang sendiri di halaman belakang menanam koleksi bibit bonsai barunya.
“Papa belum pernah cerita?”
“Tentang apa?”
“Latar belakang keluarga Rafli?”
Aku menggeleng. Papa menengadah sejenak seakan mengumpulkan semua informasi seakurat mungkin di kepalanya yang mulai memutih ditumbuhi uban. Papa duduk bersila, aku ikut, kami berhadap-hadapan sekarang.
“Rafli itu seorang pemuda yang luar biasa yang pernah papa kenal.”
Aku berdebar-debar.
“Kamu ingat musibah gempa bumi dan tsunami di Aceh 2004?”
“Iya, ingat...” keningku mulai berkerut.
“Saat musibah itu terjadi, Rafli baru kelas satu SMA. Dia satu-satunya yang selamat dari seluruh keluarga besarnya. Saat itu dia sedang berada di Medan selama seminggu dalam rangka lomba membawa nama baik sekolahnya. Dia benar-benar terpukul ketika mendengar kabar buruk itu. Dia tidak bisa kembali ke kampung halamannya karena semuanya sudah hancur. Dengan hati yang juga hancur lebur ditinggal orang-orang tercintanya, dia merantau ke Padang, Palembang, hingga sampai ke Jakarta, selama setahun. Sekolahnya putus. Dia hidup sebatang kara di perantauan tanpa sanak saudara. Bekerja apa saja untuk bertahan hidup selama itu halal....”
Kulihat mata papa memerah. Kuraba pipiku, ada yang mengalir lembut di sana, hangat.
“Namun, kegigihan dan kesabarannya tidak akan pernah mengkhianatinya. Dia mampu bertahan dengan kondisi seperti itu. Tahun berikutnya, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Sampai dia berhasil menamatkan SMA dengan nilai terbaik lalu mendapat beasiswa penuh untuk kuliah di Ilmu Komunikasi UB, Malang. Walaupun sudah mendapat beasiswa dan bantuan biaya hidup dari pemerintah, Rafli tidak merasa puas lantas berpangku tangan. Bakatnya dalam menulis dan jurnalistik mempertemukannya dengan seorang wartawan senior di surat kabar langganan papa itu, yang perusahaannya sudah sangat terkenal dan besar secara nasional. Rafli ditawarkan bekerja paruh waktu sebagai wartawan lepas. Dia menyanggupinya. Mulai dari honor yang dulunya masih belum seberapa, dia terus menunjukkan dedikasi dan tanggung jawabnya hingga terus-menerus dipromosikan dan sekarang... begitu baru sebulan lulus kuliah....”
“Perusahaan itu langsung mengangkatnya sebagai orang penting.” Aku memotong kalimat papa sambil tersenyum dan menyeka mataku. Papa mengangguk.
Oh, Rafli. Bolehkah bila sekarang aku memanggilmu, Rafliku?

***

Jakarta, 18 Agustus 2014
Ini adalah kesalahan dan kebodohan pertama yang pernah kulakukan pada Rafli.
Sudah delapan bulan aku bekerja di Jakarta. Lulus kuliah setahun lalu, aku mendapat panggilan wawancara kerja di perusahaan IT dari Korea yang beroperasi di Indonesia dan aku diterima dua bulan kemudian. Itu berarti satu hal: aku dan Rafli sekarang saling berjauhan. Karena memang tidak pernah ada ikatan apa pun di antara kami, Rafli tidak begitu intens menghubungiku. Hanya bila kebetulan aku sedang menelepon mama atau papa dan kebetulan ada Rafli di rumah, barulah aku bisa bertanya kabar Rafli dan dia menanyakan kabarku. Tapi hingga saat ini aku masih percaya diri bahwa sesungguhnya Rafli juga ‘memandangku’ walau mungkin tak sebesar kekagumanku padanya.
Kepercayaan itu terus kupelihara hingga suatu hari, ketika aku menelepon Erinda, dia sedang berada di mal. Tebak dengan siapa? Dengan Rafli! Aku terbakar cemburu. Aku tak berselera lagi bertanya banyak hal pada Erinda.
Hari berikutnya, dan berikutnya lagi, aku semakin sering mendengar bahwa Erinda sedang pergi dengan Rafli. Darahku semakin mendidih. Aku merasa dikhianati.
Dalam kondisi yang menyedihkan itu, Bayu, rekan kerjaku, muncul menawarkan diri untuk membantuku bila merasa punya kesulitan. Momen itu kumanfaatkan dengan baik. Aku melampiaskan kemarahanku pada Rafli dan Erinda dengan menghabiskan sebagian besar waktuku bersama Bayu. Aku benar-benar kalap dan lupa diri. Kebencianku pada Rafli dan Erinda semakin meluap-luap.

Jakarta, 29 Mei 2015
Aku tidak memberi tahu keluargaku di Surabaya, termasuk Rafli bahwa aku sedang menjalin hubungan dengan Bayu. Walaupun awalnya aku hanya menjadikan Bayu pelarian, belakangan aku mulai bisa tenang. Bayu mampu menenangkanku dari bayangan kebencianku pada Rafli. Satu hal lagi, Bayu jauh lebih mapan dibanding Rafli. Bayu juga berasal dari keluarga kaya yang jelas asal usulnya. Aku selalu diterima dengan baik di keluarga besar Bayu di Jakarta. Aku mulai mensyukuri satu fase dalam hidupku. Tak bisa kubayangkan bila aku benar-benar ‘jadi’ dengan Rafli, dia tidak memiliki keluarga. Dia hanya laki-laki malang sebatang kara. Pasti sangat menyedihkan. Perlahan namun pasti, aku jadi membanding-bandingkan segala hal antara Bayu dan Rafli dan aku selalu mampu memenangkan Bayu dalam perbandingan yang kuciptakan sendiri itu.
Akhirnya aku sampai di satu titik keyakinan penuh: aku akan menikah dengan Bayu. Bayu pasti bisa membahagiakanku. Bayu kaya, memiliki segalanya. Rafli? Rumah saja masih kredit!
Jakarta, 21 November 2015
Sore itu, Erinda meneleponku. Itu pertama kalinya sejak sekian lama aku tidak mendengar suaranya. Dia memohon-mohon di SMS agar aku mengangkat teleponnya sekali saja. Ada penting yang Ingin dia katakan padaku. Aku mengabulkan permintaannya. Sekali saja, mungkin untuk terakhir kalinya.
“Bang Rafli sedang dirawat di rumah sakit. Dia kemarin kecelakaan saat sedang mengendarai mobilnya sendiri dari kantor.”
Egoku benar-benar telah membuatku berhati iblis. Sedikit pun aku tidak menunjukkan simpati. Dalam hati aku bersorak riang, menganggap semua itu pantas untuk membalas perbuatannya padaku.
“Lalu? Untuk apa kamu mengabariku? Bukankah sudah ada Erinda tercintanya yang merawat dia? Atau kamu tidak sanggup merawatnya makanya menghubungiku?”
“Kak! Kamu bicara apa! Aku mengabarimu karena Bang Rafli sendiri yang memohon-mohon padaku!” Kudengar suara isak Erinda yang mulai pecah. “Dia bilang, dia sangat merindukanmu, Kak! Dan beberapa hal penting lagi yang perlu kamu tahu, Kak. Aku sudah berusaha menjelaskan ini padamu dari dulu, tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan penjelasanku. Aku tidak pernah punya hubungan apapun dengan bang Rafli seperti yang kamu selalu tuduhkan. Dia cuma menyukaimu, bukan aku, sejak awal kamu bertanya apakah dia tukang kebun yang baru. Adapun tentang aku yang sering keluar bareng dengannya. Baiklah, kubeberkan sekarang. Itu adalah sewaktu bang Rafli memintaku menemaninya membeli cincin terbaik untuk melamarmu. Karena aku mengaku mengerti seleramu, aku bersedia membantunya. Tidak hanya itu, rumah yang dia kreditkan itu, sudah dipersiapkan dengan baik untuk kalian berdua nantinya. Dia lagi-lagi meminta bantuanku untuk menata perabotannya, sesuai dengan apa pun yang kamu suka. Memang dia sengaja tidak pernah memberitahumu apapun soal itu. Karena, dia ingin memberimu kejutan. Tapi... kamu tidak pernah kembali lagi ke Surabaya. Kamu menghilang darinya, kamu menghilang begitu saja, Kak....”
Aku terbengong setelah mendengar beberan kalimat demi kalimat dari Erinda. Dia? Rafli merindukanku? Dia tidak punya hubungan apa-apa dengan Erinda? Kejutan untukku? Melamarku? Apa-apaan itu semua? Kenapa aku sebodoh ini? Selama ini?
Aku masih terpaku hingga tangisan Erinda semakin hebat dan aku mendengar suara papa mengucapkan satu kalimat yang membuat langit-langit kamarku terasa runtuh dan menimpaku. Innalillahi wainna ilahi raji’un.... aku terduduk. Panik. Menyambar tas dan dompet, saat itu juga aku memesan tiket penerbangan ke Surabaya.
***
Surabaya, 22 November 2015, pukul 07:00 WIB
Taksi berhenti di depan rumahku. Jalanan ramai. Ada ambulans di pinggir jalan. Aku membuka pagar dengan tenaga yang hampir hilang. Sayup-sayup kudengar tangisan mama, Erinda. Dari teras, aku memperhatikan banyak wajah sedih milik pentakziah. Lalu di sana, di ruang tengah, jasad lelaki itu terbujur kaku di bawah helaian kafan putih. Aku menyeret langkah mendekati lelaki itu yang tak lagi bernyawa. Aku berlutut, memeluk tubuh kakunya. Seketika itu juga, tangisanku tak lagi dapat tertahankan.
Oh, Rafliku yang malang....


  _______
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

Komentar