Surabaya,
22 November 2015, pukul 08:00 WIB
Rasanya sekarang, seperti sedang berada di
pelipir kawah gunung berapi. Setengah langkah lagi berjalan, aku akan
menjerumuskan tubuhku dengan bebas ke dalam lautan lahar mendidih di bawah sana
tanpa sedikit pun menyesalinya sebagaimana saat ini aku menyesali kebodohanku
yang sungguh tak termaafkan.
Penyesalan
itu, yang telah menumpahkan berkubik-kubik air dari mataku selama berjam-jam
sejak semalam, yang membuat bengkak kantong mataku, hingga tak ada lagi yang bisa
kukeluarkan selain isak dan sedu sedan, sama sekali tidak akan sanggup menebus
dosaku pada Rafli.
Lelakiku
itu, sekarang sedang terbujur kaku di ruang tamu rumahku, di balik helai-helai
kafan putih yang membungkus jasadnya.
***
Surabaya, 9 September 2012, pukul 08:00 WIB
Aku
baru saja pulang lari pagi di kompleks perumahan.
Ketika
membuka pagar dan memasuki halaman depan, kutemukan seorang lelaki muda berkaus
hitam polos bercelana jeans panjang
biru tua sedang menggali tanah di atas rumput di pojok halaman. Dia menggunakan
benda dari batangan besi menyerupai setang sepeda setinggi satu meter lebih
dengan ujung runcing seperti bor. Aku berhenti berjalan untuk memperhatikannya.
“Permisi,”
sapaku, “kamu tukang kebun yang baru?” Sejak pak Seno berhenti bekerja di rumah
kami dan pulang kampung lewat dua bulan lalu, papa memang belum sempat mencari
tukang kebun penggantinya.
Dia
menoleh padaku tanpa menghentikan pekerjaannya. Dia tersenyum, lalu kembali
membelakangiku, tidak berkata apa-apa.
“Baiklah
kalau begitu.” Kuanggap senyumannya barusan sebagai jawaban iya. Kubiarkan dia
melanjutkan pekerjaannya.
Aku
berjalan masuk ke dalam rumah dan tak kutemukan siapa-siapa di sana. Ini
kebiasaan yang aneh setiap minggu pagi. Selalu saja aku penghuni rumah yang terlebih
dahulu pulang setelah tadi pagi keluar di jam yang sama, pukul enam. Selain mama—mungkin
saat ini bertemu dengan salah seorang teman gosipnya di jalan sampai-sampai
sudah dua jam lebih belum juga pulang—yang keluar untuk berbelanja ke pasar,
aku, papa dan Erinda, adikku, keluar untuk lari pagi. Kami bertiga memang
terbiasa mengambil jalur lari sendiri-sendiri, sudah semacam aturan tak
tertulis. Aku tadi sempat melihat papa di taman kompleks, sedang mengobrol
dengan om Dalih, teman kantornya. Adapun Erinda, aku yakin dia sekarang sedang
jalan-jalan di CFD buat ‘cuci mata’ bareng geng begundalnya. Cewek centil itu
pasti sedang tebar pesona ke mana-mana. Lari pagi hanya alibi.
Aku
mengambil botol kaca minuman dingin dari kulkas di dapur lalu menaiki tangga
menuju kamarku dan Erinda di lantai dua. Setelah menenggak hampir separuh dari
botol isi satu liter itu, lalu meletakkannya di atas meja belajar, aku berjalan
gontai memasuki kamar mandi yang pintunya berada di pojok kamar.
Aku
mengutuk dalam hati karena kerannya macet. Aku malas-malasan turun ke kamar
mandi lantai bawah. Aku kembali uring-uringan karena keran di bawah juga macet.
Tanpa berpikir panjang, aku keluar menghampiri lelaki tadi. Dari ambang pintu
yang terbuka separuh, aku memanggilnya.
“Permisi.”
Rupanya
dia memiliki pendengaran yang cukup peka untuk merespons suaraku yang tidak
terlalu tinggi. Dia yang sedang berjongkok mengeluarkan tanah dari lubang galian
dengan tangannya, mengangkat kepala dan memandang ke arahku. “Kamu bisa memperbaiki
keran yang macet?” Dia, kan, tukang
kebun! Aku merasa konyol sendiri dengan pertanyaan itu. Tapi apa salahnya
bertanya. Siapa tahu dia punya banyak keahlian lain, batinku.
Kulihat
bola matanya bergerak-gerak sebentar searah jarum jam, dahinya berkerut,
seperti memikirkan sesuatu. “Iya, aku bisa.” Tuh, kan! Kubilang juga apa!
Aku
menunggu di ruang tamu setelah kutunjukkan keran kamar mandi belakang padanya.
Lima menit setelah itu, dia mendekatiku. “Di sini pakai air ledeng atau air
sumur bor?”
“Eh
... pakai sumur bor ... memangnya kenapa?”
“Tidak
ada yang salah dengan kerannya. Mungkin pompa airnya yang bermasalah? Pompa
airnya di mana? Boleh kuperiksa?”
Aku
beranjak dari sofa dan berjalan dua langkah di depannya menuju halaman belakang.
Sumur bor berada di sudut halaman sedangkan pompa air dipasang di dalam kotak
besi di atas sebuah lantai beton berbentuk lingkaran yang menutupi sumur.
“Itu.”
Dia
mendekati benda yang kutunjuk sementara aku berdiri menunggu di pintu. Aku
melihatnya mencabut kabel pompa air dari sebuah colokan di dinding pagar, lalu
memasangnya kembali. Anggut-anggut sesaat, lantas dicabutnya lagi.
“Aku
pinjam obeng, pisau, dan selotip hitam.”
“Oke,
sebentar.”
Aku
mengambil semua yang dia minta dari garasi, sebentar kemudian sudah kembali ke
dekatnya menyerahkan benda-benda itu.
“Terima
kasih.”
Aku
mengangguk. Dia lalu kutinggal kembali ke ruang tamu. Tidak sampai lima belas
menit aku bersandar malas di sofa sambil menyemil sebungkus keripik kentang
yang kuambil dari atas kulkas, aku mendengar suara pintu belakang ditutup.
Refleks aku menoleh ke arah asal suara, namun dia masih belum terlihat dari
sini. Aku masih menunggu kemunculannya untuk memberiku berita bagus mengenai
pompa air itu. Beberapa detik berikutnya, yang kudengar malah bunyi kucuran air
di bak mandi yang tersendat-sendat lalu berhenti dan hening sama sekali.
Tak
kunjung melihat kemunculannya, aku pun kembali mengempaskan tubuhku. Kali ini
dengan memerosotkan punggungku perlahan-lahan hingga setengah badanku bagian
atas terbaring di atas sofa, sedangkan kedua kakiku kubiarkan tetap menjulur di
lantai.
Aku
buru-buru berdiri dan menarik kausku ke bawah, yang tadinya sempat tersingkap
sedikit, ketika tanpa kusadari si lelaki tukang kebun telah berada di ruang
tamu, kurang dua langkah dariku. Obeng, pisau dan selotip hitam yang tadi dia
pinjam ditaruh hati-hati di atas meja kaca dan aku tahu pasti, dia sedikit pun
tidak berusaha curi-curi kesempatan melirikku.
“Itu,
pompa airnya sudah bisa,” katanya dengan nada yang berat namun terdengar ramah
dan menyenangkan. Sepasang pupil matanya yang hitam kecokelatan dikelilingi
warna putih sejernih susu, bergerak bebas mengikuti arah telunjuknya ke kamar
mandi belakang. “Karena tandon airnya kosong, silakan ditunggu dulu beberapa
menit lagi hingga terisi, baru setelah itu kamar mandinya bisa digunakan.” Dia menutup
kalimatnya dengan tersenyum pendek, lantas membalikkan badan tanpa berlama-lama
beradu tatap denganku. Sialnya, aku justru terpaku memperhatikan sepasang bola
mata berikut alisnya yang tebal, tanpa sempat membalas kalimatnya. Saat aku
baru saja menghela nafas untuk mengucapkan sesuatu, dia sudah melangkah ke luar
rumah untuk melanjutkan pekerjaannya di halaman depan yang tadi sempat
tertinggal. Aku sebenarnya masih sempat mengucapkan terima kasih, tapi aku
tidak yakin dia mendengarnya atau tidak karena langkahnya cepat sekali.
Setelah
dia berada di luar dan memulai kembali pekerjaannya. Aku memutuskan untuk
memperhatikannya diam-diam dari balik kain gorden bertepatan dengan munculnya
Erinda di pintu pagar. Dia kulihat kaget dengan keberadaan lelaki itu. Ekspresi
Erinda membuatku tertawa. Adikku itu bergegas masuk rumah. Sebelum Erinda
berhasil menggapai gagang pintu, aku buru-buru kembali duduk di sofa, tidak
ingin kepergok Erinda bahwa aku sedang mengintip lelaki itu. Kusambar asal
sebuah koran dari rak di bawah meja kaca lalu pura-pura membacanya.
“Dia
siapa, kak?” Tanya Erinda sembari menutup pintu pelan-pelan, matanya masih tak
putus menguntit sosok lelaki di luar sana.
Aku
mengangkat kedua bahu dan mencibirkan bibir. “Mungkin tukang kebun yang baru.”
“Tapi
... kok ganteng?”
“Memangnya
nggak boleh tukang kebun ganteng?” Sering aku memang tidak habis pikir dengan
cara pikir adikku ini. Walaupun kali ini harus kuakui bahwa pendapatnya benar.
Lelaki si tukang kebun itu ... dia ... memang tampan, sih ... untuk ukuran seorang tukang kebun.
“Ih,
bukan gitu, Kak! Biasanya selama ini mantan tukang kebun kita, kan, sudah
bangkotan semua. Pak Seno, Pak Munajih, Pak Iskandar, Koh Aceng.” Erinda mulai
menurunkan tangannya dari kain gorden dan beringsut pelan ke arahku. Dia
menyambar bungkus keripik kentangku dari atas meja kaca, mencomotnya segenggam
penuh, lantas ikut duduk di sebelahku. “Tapi ini? Kok tumben, ya, papa nyari
tukang kebun muda dan ganteng,” lanjutnya sambil menikmati kunyahan keripik
kentang dalam mulutnya dengan wajah tak berdosa.
“Kakak salah tingkah gara-gara tukang kebun
itu, ya?”
“Hah?
Maksudmu?” Aku melirik sebentar ke luar jendela, berharap lelaki itu tidak
mendengar kegaduhan ini. Aku memelototi Erinda lama.
“Itu,
sejak kapan Kakak mau baca koran? Tumben amat. Koran basi tiga hari yang lalu
lagi.” Celetuk Erinda sambil terkekeh-kekeh berlarian ke kamar kami di lantai
atas. Ah, sialan! Aku ketahuan!.
“Erindaaaa! Awas kamu!”
***
Sejam
kemudian, aku kembali duduk di ruang tamu sehabis mandi dan berganti pakaian. Mama
sudah pulang selagi aku mandi tadi dan langsung sibuk memasak di dapur dibantu
Erinda. Memasak memang bukan keahlianku. Mama menurunkan bakat mengolah
makanannya itu hanya ke Erinda, sedangkan yang diturunkan ke aku adalah
kecerdasannya dan tentu saja, kecantikannya. Erinda juga cantik, sih, tapi aku jelas-jelas lebih cantik
daripada dia.
Sesampai
di ruang tamu, aku terkejut melihat papa tertawa-tawa dengan si lelaki tukang
kebun. Mereka tampak sudah sangat akrab. Papa juga ikut menanamkan potongan
pipa paralon sepanjang tiga puluh sentimeter, yang entah untuk apa gunanya, ke
dalam beberapa lubang bekas galian lelaki tadi. Lelaki itu berbicara lagi, yang
entah membicarakan apa, lalu papa kembali tertawa dan membalas mengatakan
sesuatu. Setelah selesai, papa mengangguk-angguk memandangi hasil kerjaan
lelaki itu. Posisi papa saat itu membelakangiku, otomatis lelaki itu yang
berposisi menghadapku. Aku sekali lagi dapat melihat dengan jelas raut wajah
menyenangkan darinya. Sekali lagi pula, aku terpaku ... hingga sebuah tapukan
di pundakku menarikku kembali ke kenyataan.
“Ternyata
dia bukan tukang kebun kita yang baru, Kak.” Bisik Erinda di telingaku.
“Hah?
... Apa?” Aku tak mengerti.
“Nanti
juga Kakak bakal tahu sendiri.” Erinda mencibirkan bibirnya padaku. Dia sudah
berdiri di pintu, menghadap ke arah papa. “Pa, makanannya sudah siap. Disuruh mama
makan sekarang.”
Mataku
segera beralih ke arah dua orang itu. Papa merangkul sebelah bahu lelaki itu,
sepertinya papa mengajaknya ikut masuk untuk makan pagi bersama kami. Tiba-tiba
saja darahku berdesir hebat. Jika bukan
tukang kebun kami yang baru, lantas dia siapa?
“Nah,
ini dia anak pertama Om, kakaknya Erinda. Dia sekarang kuliah semester lima di
Teknik Informatika ITS,” kata papa pada lelaki itu yang berjalan bersisian
dengannya. Setelah itu, papa mengarahkan tangannya padaku dan memandangku seraya
tersenyum. “Kiran, kenalkan, ini namanya Rafli. Dia dulu anak magang di kantor
papa selama tiga bulan. Sekarang dia kembali ke kota ini dan bekerja di perusahaan
surat kabar harian besar nasional yang menjadi langganan papa itu. Keren,
bukan?”
Cara
papa merangkul bahu lelaki itu, persis seperti papa merangkul bahu kami, kedua
anak perempuannya. Lelaki itu hanya tersenyum pendek ke arahku seperti tadi,
lagi-lagi tak berlama-lama menatapku. Adapun aku, sama sekali tidak tahu harus
berekspresi bagaimana. Aku hanya berdiri mematung dengan kedua telapak tangan
kugesek-gesekkan pertanda bahwa aku sedang grogi parah.
“Tuh,
kubilang juga apa. Dia bukan tukang kebun.” Erinda cekikikan membisikiku
sepintas lalu sebelum melewatiku menuju ruang makan.
Erindaaaa!!!
***
Waktu
terasa berlalu sangat cepat sejak hari pertama aku salah mengira Rafli sebagai
tukang kebun kami. Oh, iya, satu hal, aku tidak pernah memanggil Rafli dengan
panggilan kakak karena sejak awal aku sudah terlanjur menyapanya dengan panggilan
‘kamu’. Terkadang, aku agak merasa bersalah juga, sih, walaupun usianya hanya terpaut dua tahun di atasku. Berbeda dengan
Erinda yang tiga tahun lebih muda dariku, dia memanggil Rafli dengan panggilan ‘abang’.
Caranya memanggil Rafli yang terkesan dimanja-manjakan itu, membuatku mual
sendiri dan merasa ingin melabrak adikku itu dengan mangkuk bakso. Bukan
apa-apa, selain aku menangkap raut tidak nyaman di wajah Rafli, aku juga ...
tidak suka ... dengan sikap kekanak-kanakan Erinda. Oke, aku akui, aku cemburu!
Cemburu?
Aku memang baru empat bulan kenal Rafli. Tapi rasanya sudah cukup untuk
diam-diam mengaguminya. Apakah aku salah bila aku ... menyukainya ...
diam-diam? Tetapi, yang perlu dicatat, aku tak senorak Erinda bila berada di
dekat Rafli, gengsi, dong. Tapi aku
selalu yang paling jago memperhatikan gerak-geriknya diam-diam, memancing papa
untuk bercerita lebih banyak kepadaku tentang Rafli, setiap aku mengantar papa
ke kantor, berdua saja, tanpa dicampuri Erinda.
Rafli
yang ramah, santun dan mudah berbaur dengan semua orang, begitu yang papa sering
bilang. Lihatlah caranya mengakrabkan diri dengan mama, sampai-sampai mama
pernah keceplosan mengimbuhkan sebutan ‘anakku’ di depan nama Rafli. Hei, tidak
jarang dia ikut membantu mama memasak di dapur kami. Dan sialnya lagi,
kemampuan memasak Rafli jauh lebih baik dibanding Erinda, sehingga itu berarti,
dia telah mengalahku dengan skor telak karena kemampuan memasak Erinda jauh
lebih baik dariku. Satu lagi alasanku untuk cemburu pada Erinda. Apabila sudah berbicara
tentang masakan, Rafli, mama dan Erinda selalu nyambung, membuatku tiba-tiba terasa seperti alien yang tersasar
dari planet luar.
Papa
jangan dikata, jauh-jauh hari beliau terang-terangan mengaku sudah menganggap
Rafli seperti anak lelakinya sendiri. Karena bekerja di Surabaya, Rafli sering
sekali berkunjung ke rumahku untuk bertemu papa. Kedua orang itu memang sudah sangat
akrab. Rafli ternyata mengerti banyak hal praktis—selain membetulkan pompa air
beberapa bulan yang lalu—seperti menata taman. Belakangan aku baru tahu apa
yang dulu dikerjakan Rafli pertama kali aku bertemu dengannya di hari yang
menyebalkan sekaligus bersejarah itu. Papa mengeluhkan halaman depan dan
belakang rumah yang sering tergenang air bila sudah musim hujan. Untuk itulah
Rafli datang ke rumah, menawarkan solusi cerdas dengan membuatkan biopori, lubang resapan air yang
sekaligus bisa digunakan sebagai pembuat kompos sederhana. Bahkan sering juga di akhir pekan, Rafli bisa-bisa begadang
menemani papa menonton pertandingan bola, setelah itu baru dia pulang ke
rumahnya. Omong-omong soal rumah,
dari cerita papa lagi di suatu pagi saat mengantarkannya ke kantor, aku tahu
bahwa Rafli baru saja mengambil kredit rumah di sebuah kawasan strategis di
Surabaya, dengan uang tabungannya sendiri selama bertahun-tahun. Rafli masih
belum berhenti menambah kekagumanku.
Tentang
‘tabungannya selama bertahun-tahun’ itu, sungguh berhasil mengusik
keingintahuanku lebih jauh. Kukorek lagi tentang itu, kutanyai papa saat sedang
sendiri di halaman belakang menanam koleksi bibit bonsai barunya.
“Papa
belum pernah cerita?”
“Tentang
apa?”
“Latar
belakang keluarga Rafli?”
Aku
menggeleng. Papa menengadah sejenak seakan mengumpulkan semua informasi
seakurat mungkin di kepalanya yang mulai memutih ditumbuhi uban. Papa duduk
bersila, aku ikut, kami berhadap-hadapan sekarang.
“Rafli
itu seorang pemuda yang luar biasa yang pernah papa kenal.”
Aku
berdebar-debar.
“Kamu
ingat musibah gempa bumi dan tsunami di Aceh 2004?”
“Iya,
ingat...” keningku mulai berkerut.
“Saat
musibah itu terjadi, Rafli baru kelas satu SMA. Dia satu-satunya yang selamat
dari seluruh keluarga besarnya. Saat itu dia sedang berada di Medan selama
seminggu dalam rangka lomba membawa nama baik sekolahnya. Dia benar-benar
terpukul ketika mendengar kabar buruk itu. Dia tidak bisa kembali ke kampung
halamannya karena semuanya sudah hancur. Dengan hati yang juga hancur lebur
ditinggal orang-orang tercintanya, dia merantau ke Padang, Palembang, hingga
sampai ke Jakarta, selama setahun. Sekolahnya putus. Dia hidup sebatang kara di
perantauan tanpa sanak saudara. Bekerja apa saja untuk bertahan hidup selama
itu halal....”
Kulihat
mata papa memerah. Kuraba pipiku, ada yang mengalir lembut di sana, hangat.
“Namun, kegigihan dan kesabarannya
tidak akan pernah mengkhianatinya. Dia mampu bertahan dengan kondisi seperti
itu. Tahun berikutnya, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Sampai dia
berhasil menamatkan SMA dengan nilai terbaik lalu mendapat beasiswa penuh untuk
kuliah di Ilmu Komunikasi UB, Malang. Walaupun sudah mendapat beasiswa dan bantuan
biaya hidup dari pemerintah, Rafli tidak merasa puas lantas berpangku tangan.
Bakatnya dalam menulis dan jurnalistik mempertemukannya dengan seorang wartawan
senior di surat kabar langganan papa itu, yang perusahaannya sudah sangat
terkenal dan besar secara nasional. Rafli ditawarkan bekerja paruh waktu
sebagai wartawan lepas. Dia menyanggupinya. Mulai dari honor yang dulunya masih
belum seberapa, dia terus menunjukkan dedikasi dan tanggung jawabnya hingga
terus-menerus dipromosikan dan sekarang... begitu baru sebulan lulus kuliah....”
“Perusahaan itu langsung
mengangkatnya sebagai orang penting.” Aku memotong kalimat papa sambil
tersenyum dan menyeka mataku. Papa mengangguk.
Oh,
Rafli. Bolehkah bila sekarang aku memanggilmu, Rafliku?
***
Jakarta,
18 Agustus 2014
Ini
adalah kesalahan dan kebodohan pertama yang pernah kulakukan pada Rafli.
Sudah
delapan bulan aku bekerja di Jakarta. Lulus kuliah setahun lalu, aku mendapat
panggilan wawancara kerja di perusahaan IT dari Korea yang beroperasi di
Indonesia dan aku diterima dua bulan kemudian. Itu berarti satu hal: aku dan
Rafli sekarang saling berjauhan. Karena memang tidak pernah ada ikatan apa pun
di antara kami, Rafli tidak begitu intens menghubungiku. Hanya bila kebetulan
aku sedang menelepon mama atau papa dan kebetulan ada Rafli di rumah, barulah
aku bisa bertanya kabar Rafli dan dia menanyakan kabarku. Tapi hingga saat ini
aku masih percaya diri bahwa sesungguhnya Rafli juga ‘memandangku’ walau
mungkin tak sebesar kekagumanku padanya.
Kepercayaan
itu terus kupelihara hingga suatu hari, ketika aku menelepon Erinda, dia sedang
berada di mal. Tebak dengan siapa? Dengan Rafli! Aku terbakar cemburu. Aku tak
berselera lagi bertanya banyak hal pada Erinda.
Hari
berikutnya, dan berikutnya lagi, aku semakin sering mendengar bahwa Erinda
sedang pergi dengan Rafli. Darahku semakin mendidih. Aku merasa dikhianati.
Dalam
kondisi yang menyedihkan itu, Bayu, rekan kerjaku, muncul menawarkan diri untuk
membantuku bila merasa punya kesulitan. Momen itu kumanfaatkan dengan baik. Aku
melampiaskan kemarahanku pada Rafli dan Erinda dengan menghabiskan sebagian
besar waktuku bersama Bayu. Aku benar-benar kalap dan lupa diri. Kebencianku pada
Rafli dan Erinda semakin meluap-luap.
Jakarta,
29 Mei 2015
Aku
tidak memberi tahu keluargaku di Surabaya, termasuk Rafli bahwa aku sedang
menjalin hubungan dengan Bayu. Walaupun awalnya aku hanya menjadikan Bayu
pelarian, belakangan aku mulai bisa tenang. Bayu mampu menenangkanku dari
bayangan kebencianku pada Rafli. Satu hal lagi, Bayu jauh lebih mapan dibanding
Rafli. Bayu juga berasal dari keluarga kaya yang jelas asal usulnya. Aku selalu
diterima dengan baik di keluarga besar Bayu di Jakarta. Aku mulai mensyukuri
satu fase dalam hidupku. Tak bisa kubayangkan bila aku benar-benar ‘jadi’
dengan Rafli, dia tidak memiliki keluarga. Dia hanya laki-laki malang sebatang
kara. Pasti sangat menyedihkan. Perlahan namun pasti, aku jadi
membanding-bandingkan segala hal antara Bayu dan Rafli dan aku selalu mampu
memenangkan Bayu dalam perbandingan yang kuciptakan sendiri itu.
Akhirnya
aku sampai di satu titik keyakinan penuh: aku akan menikah dengan Bayu. Bayu pasti
bisa membahagiakanku. Bayu kaya, memiliki segalanya. Rafli? Rumah saja masih
kredit!
Jakarta,
21 November 2015
Sore
itu, Erinda meneleponku. Itu pertama kalinya sejak sekian lama aku tidak
mendengar suaranya. Dia memohon-mohon di SMS agar aku mengangkat teleponnya
sekali saja. Ada penting yang Ingin dia katakan padaku. Aku mengabulkan
permintaannya. Sekali saja, mungkin untuk terakhir kalinya.
“Bang
Rafli sedang dirawat di rumah sakit. Dia kemarin kecelakaan saat sedang
mengendarai mobilnya sendiri dari kantor.”
Egoku
benar-benar telah membuatku berhati iblis. Sedikit pun aku tidak menunjukkan
simpati. Dalam hati aku bersorak riang, menganggap semua itu pantas untuk
membalas perbuatannya padaku.
“Lalu?
Untuk apa kamu mengabariku? Bukankah sudah ada Erinda tercintanya yang merawat
dia? Atau kamu tidak sanggup merawatnya makanya menghubungiku?”
“Kak!
Kamu bicara apa! Aku mengabarimu karena Bang Rafli sendiri yang memohon-mohon
padaku!” Kudengar suara isak Erinda yang mulai pecah. “Dia bilang, dia sangat
merindukanmu, Kak! Dan beberapa hal penting lagi yang perlu kamu tahu, Kak. Aku
sudah berusaha menjelaskan ini padamu dari dulu, tapi kamu tidak pernah mau
mendengarkan penjelasanku. Aku tidak pernah punya hubungan apapun dengan bang
Rafli seperti yang kamu selalu tuduhkan. Dia cuma menyukaimu, bukan aku, sejak
awal kamu bertanya apakah dia tukang kebun yang baru. Adapun tentang aku yang sering
keluar bareng dengannya. Baiklah, kubeberkan sekarang. Itu adalah sewaktu bang
Rafli memintaku menemaninya membeli cincin terbaik untuk melamarmu. Karena aku
mengaku mengerti seleramu, aku bersedia membantunya. Tidak hanya itu, rumah
yang dia kreditkan itu, sudah dipersiapkan dengan baik untuk kalian berdua
nantinya. Dia lagi-lagi meminta bantuanku untuk menata perabotannya, sesuai
dengan apa pun yang kamu suka. Memang dia sengaja tidak pernah memberitahumu apapun
soal itu. Karena, dia ingin memberimu kejutan. Tapi... kamu tidak pernah
kembali lagi ke Surabaya. Kamu menghilang darinya, kamu menghilang begitu saja,
Kak....”
Aku
terbengong setelah mendengar beberan kalimat demi kalimat dari Erinda. Dia?
Rafli merindukanku? Dia tidak punya hubungan apa-apa dengan Erinda? Kejutan
untukku? Melamarku? Apa-apaan itu semua? Kenapa aku sebodoh ini? Selama ini?
Aku
masih terpaku hingga tangisan Erinda semakin hebat dan aku mendengar suara papa
mengucapkan satu kalimat yang membuat langit-langit kamarku terasa runtuh dan
menimpaku. Innalillahi wainna ilahi raji’un....
aku terduduk. Panik. Menyambar tas dan dompet, saat itu juga aku memesan tiket
penerbangan ke Surabaya.
***
Surabaya,
22 November 2015, pukul 07:00 WIB
Taksi
berhenti di depan rumahku. Jalanan ramai. Ada ambulans di pinggir jalan. Aku membuka
pagar dengan tenaga yang hampir hilang. Sayup-sayup kudengar tangisan mama,
Erinda. Dari teras, aku memperhatikan banyak wajah sedih milik pentakziah. Lalu
di sana, di ruang tengah, jasad lelaki itu terbujur kaku di bawah helaian kafan
putih. Aku menyeret langkah mendekati lelaki itu yang tak lagi bernyawa. Aku
berlutut, memeluk tubuh kakunya. Seketika itu juga, tangisanku tak lagi dapat
tertahankan.
Oh, Rafliku yang malang....
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
Komentar
Posting Komentar