Untuk seorang yang memiliki imajinasi liar sepertiku, yang senang menyimak kicau burung di pepohonan hijau, yang suka memerhatikan liuk gemulai ikan-ikan kecil yang tengah berenang di bawah kucuran air mancur di kolam yang bening, yang rela membiarkan rambut kepala diusik sepoi-sepoi angin senja di bawah tingkap kaca dari lantai 4 gedung FISIP, tanpa melakukan apa-apa, hanya memasrahkan semua indera untuk mematung seperti itu, bermenit-menit, bermain-main dengan kekosongan pikiran, maka waktu satu jam akan berlalu seperti sekilas berkas cahaya belaka. Tahu-tahu, aku sudah melewatkan satu jam penuh hanya untuk melamun.
"Kamu
melamun?" Sapa mbak asisten laboratorium sore tadi, ketika mendapatiku
menopang dagu di bawah jendela lantai 4 laboratorium psikologi (gedung
FISIP) yang kubuka lebar, tatkala menunggu teman-teman peserta praktikum
lain yang belum muncul.
"Eh,
enggak, cuma nyari angin." Padahal iya, aku melamun. Banyak hal yang
kulamunkan. Banyak sekali. Melesat-lesat di kepalaku seperti
cuplikan-cuplikan film. Kamu pernah bermimpi dalam tidur yang
menampilkan banyak sekali bayangan-bayangan kejadian secara acak?
Meloncat-loncat tidak keruan? Iya, seperti itu pula yang tengah bergumul
dalam otakku. Di salah satu kilatan bayangan yang berkelebat itu,
setetes bulir panas tumpah ke sudut kelopak mataku. Tidak, aku tidak
membiarkannya jatuh ke pipi, kutahan. Beruntungnya aku, kain gorden
penutup jendela berwarna putih itu berkibar-kibar, menutupi separuh
badanku, sehingga tak ada yang tahu apa yang baru saja merebak di
pelupuk mata. Dalam terpaan angin yang menguat, aku hanyut, kupejamkan
mata, kubiarkan pori-pori kulit wajahku dimanja lembut oleh belaian
angin itu, hingga aku berbisik lirih, "Ke mana hilangnya waktuku selama
tiga tahun ini?"
Kamu
tahu? Setiap kali pertanyaan itu kusampirkan ke segenap kesadaran
jiwaku, satu jawaban yang selalu menamparku, yang semakin hari, tamparan
itu semakin kuat dan menimbulkan perih yang teramat menyesak di ulu
hati.
"Kamu. Tiga tahun belakangan, adalah kamu. Semua hanya tentang kamu."
Dan
aku merasa semakin tak berguna setiap kali bayangan wajahmu kulihat
tersenyum di setiap rupa perempuan yang kutemui di jalan. Senyuman yang
selalu kamu berikan padaku selama tiga tahun terakhir. Eh tidak, hanya
dua tahun terakhir, adapun setahun sisanya, adalah luka. Luka yang
kusemai dalam kesendirian. Luka yang kupupuk dengan meratapi kebodohan
diri. Luka yang tidak pernah kusembuhkan. Aku menyiksa diriku sendiri
dengan luka itu. Luka karena mengenangmu.
Kamu
tahu? Hingga detik ini, aku tak pernah bisa lagi bernafas normal setiap
melihatmu berjalan dari kejauhan. Detak jantung ini, debarnya,
gemetarnya, tidak masuk akal, tatkala aku terpaksa menyapamu, dengan
senyuman yang amat berat untuk kutarik di bibir. Sumpah, aku tak sanggup
berlama-lama berada di sana, melihatmu terkadang membalas dengan
senyuman. Senyuman yang dulu pernah selalu menjadi milikku, sedangkan
sekarang telah pula kamu serahkan untuk lelaki lain. Pedih, Sayang, amat
pedih....
Bila
demikian adanya, ingin aku kembali di titik awal ketika kita tidak
saling mengenal, biar tidak akan ada tahun-tahun yang hilang itu. Agar
aku tidak pernah jatuh cinta padamu untuk pertama kalinya, supaya aku
tidak membuat kesalahan bodoh itu, sehingga kamu pergi. Sayang, aku tak
pernah menyumpahi malam atas gelap yang ia paparkan padaku. Aku tak
pernah memaki derasnya hujan yang membanjiri pemukiman. Tidak pula
mengumpati badai yang memporak-porandakan alam. Aku hanya mengutuki
diriku sendiri, Sayang. Saban hari, tiap malam, sejak pertama kalinya
kamu bilang bahwa kita tidak lagi bersama. Sejak kamu bilang bahwa kamu
akan meninggalkanku. Yang berarti, kamu tidak akan pernah kembali lagi.
Sakit, Sayang, sakit....
Ke mana hilangnya waktuku tiga tahun ini?
Aku
dulu bermimpi, kita akan selalu berjuang beriringan tak peduli seberapa
menyebalkannya masalah-masalah yang kupercikkan. Tapi aku terlalu bodoh
untuk memahami bahwak kamu hanyalah wanita biasa yang memiliki hati
rapuh. Tidak ada seorang pun, Sayang, yang bisa bertahan dengan seorang
dungu yang tak pernah memperbaiki kesalahannya. Sesabar-sabarnya kamu,
tetap memiliki batasan, bukan? Sekali lagi, aku terlalu bodoh untuk bisa
menyadari itu, Sayang....
Lalu apa sekarang?
Aku
terkapar di tempat tidur, seperti biasanya, membayangkanmu tersenyum
padaku, memanggilku dengan panggilan-panggilan konyol yang kamu ciptakan
itu. Mengutip sisa-sisa kenangan manis yang masih bisa kunikmati, meski
untuk mengingatnya kembali hanya semakin memperdalam luka di dadaku.
Lalu berharap aku berjumpa denganmu dalam mimpi, seperti tadi malam.
Meskipun, kamu yang kujumpai di sana masihlah serpihan masa lalu.
Sayang,
dapatkan kamu merasakan kepiluan ini sekarang? Oh, tentu saja tidak.
Kamu sudah menemukan kebahagiaan dengan lelaki itu. Sedangkan aku? Hanya
seonggok daging tak berguna yang menunggu maut. Digilas waktu.
Komentar
Posting Komentar