Pizza Empat Potong

Sumber gambar: uncletonysnypizza.com
Apa yang akan kulakukan ketika berusia 60 tahun?

Pertanyaan itu sering sekali terbersit dalam setiap kesempatan. Ketika sedang di bus kota dari Malang menuju Surabaya sepanjang tol, ketika sedang duduk-duduk sore hari di pinggir telaga Ngipik, ketika sedang menyuap nasi krawu di warung Bu Tiban yang legendaris itu, ketika menghitung-hitung jumlah hari magang yang tersisa di daftar hadir, atau bahkan ketika sedang di toilet bila BAB-ku tidak lancar. Pertanyaan itu bermuara pada sebuah kesimpulan tentang keadaanku saat ini yang cukup menohok: AKU BELUM MENJADI SIAPA-SIAPA!

Apa yang akan kulakukan ketika berusia 60 tahun?

Konon, sejak dua hari lalu, umurku bertambah (atau berkurang, relatif dari mana kamu menghitungnya) setahun. Hal itu membuatku semakin gelisah, mengingat betapa cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru kemarin sore aku diantarkan Mak Uwoku ke SDN 06 Pulai di hari pertamaku pindah sekolah di cawu dua kelas satu. 

Rasanya belum lama ini si Irzan Ahmad, anak tetanggaku yang kecil-jelek-pendek-kumal-cengengesan-bau-ikan-asin itu kulihat meraung-raung menangis pulang dari sungai dengan ingus meleleh deras di hidungnya gara-gara berantam. Tadi siang dia mengomentari postingan terbaru di Instagramku, "Bang, masih ingat nggak sama aku?" Setelah ku-kepo-in sebentar akunnya, aku menyesal pernah mengatainya kumal karena sekarang dia berwajah mirip Raffi Ahmad. 

Bila dihitung-hitung dengan seksama, hingga kata ini kuketik, aku telah menghabiskan waktu lima tahun dua bulan satu hari tujuh belas jam sepuluh menit tiga puluh detik di perantauan, dan ternyata iya, benar, lima tahun mungkin relatif lama bagi sebagian orang sehingga dapat merubah anak kecil-jelek-pendek-kumal-cengengesan-bau-ikan-asin itu menjadi seganteng pemain ftv. Tapi bagiku, waktu lima tahun itu melesat cepat tanpa terasa imbasnya sama-sekali.

Lalu aku teringat dengan pesan Line kakak sepupuku dua hari lalu di ujung ucapan selamatnya '...cepat pulang', yang hanya menambah pias pipiku, membuatku berkali-kali menghela nafas dalam-dalam menghirup udara Petrokimia berbau amoniak. Dan lagi-lagi, kalimat menohok itu muncul di kepalaku, bahwa AKU BELUM MENJADI SIAPA-SIAPA! 

Pernyataan itu sekaligus menjawab pertanyaan teman-teman yang selalu kaget ketika tahu aku belum pernah pulang sekalipun selama lima tahun terakhir: "kapan pulang?" 

Sebuah jawaban dalam diam, sebuah rintihan jiwa dalam keheningan terjauh: AKU BELUM MENJADI SIAPA-SIAPA! 

Bila secepat itu waktu berlarian mengejarku--atau bahkan telah menyalipku, bila waktu lima tahun sama-sekali belum bisa memberiku alasan terbaik untuk pulang, lalu apa yang akan kulakukan nanti ketika aku berusia 60 tahun?

Ini tentang pemaknaan hidup, tentang caramu memandang dunia, tentang apa yang menjadi alasan kita terlahir ke dunia ini. Maka pertanyaan itu, apa yang akan kulakukan ketika aku berusia 60 tahun itu, seperti sehelai kaos kaki busuk nauzubillah yang disumpalkan ke hidungmu yang sedang pingsan agar kamu siuman. Semacam shock therapy, sebelas-dua belas dengan jam beker untuk membangunkanku dari tidur panjang yang disebut belum-menjadi-siapa-siapa itu. 

Maka di sinilah aku sekarang, berusia 23 tahun lebih dua hari, sedang mengetik tulisan ini yang entah apa manfaatnya, di hari-hari terakhirku magang di PT Petrokimia Gresik, menelan bulat-bulat sebuah kenyataan pahit bahwa aku kalah telak oleh Raheem Starling yang masih lebih muda dariku tetapi telah mencapai sebuah prestasi mengagumkan sebagai pemain sepak bola termahal di Britania Raya.

Terus terang, aku takut.

Hidup di negara yang tidak jelas maunya ini, masih berstatus mahasiswa semester akhir di tengah bayang-bayang pengangguran bila nanti lulus karena susahnya mendapatkan pekerjaan, memegang tanggung jawab besar sebagai anak lelaki Minangkabau yang harus mampu mambangkik batang tarandam, aku takut. 

Berumur 23 tahun dan belum menjadi siapa-siapa, aku takut.

Maka apa yang nanti akan kulakukan ketika aku berusia 60 tahun? 

Apakah aku akan keliling dunia, menaklukkan berbagai negara di lima benua seperti halnya para traveller sejati, atau aku hanya akan terjebak di satu kehidupan membosankan sebagai seorang suami berkepala botak berperut buncit yang sedang memotong sebuah Pizza Cheese Bolognaise kecil menjadi empat bagian, untuk kemudian dibagikan kepada istri, dua orang anaknya, dan dirinya sendiri? Membayangkan itu, aku merasa ingin mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saja agar cepat kaya, sehingga di ulang tahunku yang ke-60 tahun, aku bisa berpelesir ria ke Eropa.

***
- Mak Uwo : Bukdhe, bahasa Minang, khususnya di daerah Pesisir Selatan.
- Mambangkik Batang Tarandam : Istilah Minang untuk menggambarkan sebuah kesuksesan.

Komentar

  1. Perenungan berbungkus kalimat canda yang epik... (y)

    BalasHapus

Posting Komentar