Pulang (?)

Sumber gambar: ketikketik.com
Malam ini, saya ingin ngomongin tentang hal yang nggak penting. Motivasinya cuma satu: pokoknya saya harus tetap menulis. Itu aja sih. Penting nggak penting kan urusan belakangan. Farhat Abbas aja yang selalu konsisten bikin tulisan-tulisan 'keren' dan nggak penting begitu, pede-pede aja kok doi. Apalagi ini Indonesia. Kebebasan berekspresi dan berpendapat punya porsi besar dalam tatanan masyarakat kita yang konon, lebih demokratis dibanding Amerika Serikat. Betapa tidak, coba baca buku RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap), belum ada sejarahnya dalam rentang 237 tahun kemerdekaan negara asal Captain America itu, mereka bikin DPR tandingan. Itu murni made in Indonesia. Kalau nggak percaya, tanya deh sama Cak Lontong. Pasti dia punya data survey yang valid tentang ini. :p

So, saya sebenarnya ingin ngomongin apa?
*mikir*

Baiklah. Gimana kalau kita ngomongin kenangan aja. Kayaknya seru deh. Seorang bijak bestari pernah berkata (saya lupa siapa yang mengatakan ini): "Manusia hanyalah kumpulan-kumpulan memori. Tanpa itu, ia tak ubahnya sebidang puzzle yang tidak lengkap." Tuh! Catet!

Ngomong-ngomong tentang kenangan, saya teringat pada malam itu. Beberapa anak muda sedang membicarakan mimpi-mimpi mereka tentang masa depan. Mereka sangat bersemangat. Seakan-akan mimpi itu amat nyata. Senyata angin malam yang menyusup diam-diam lewat bingkai jendela dan membelai anak rambut di atas telinga. Apa yang mereka bicarakan? Merantau. Iya, mereka sedang merencanakan sebuah perantauan panjang. Demi masa depan yang cerah. Tidak tanggung-tanggung, perantauan yang hendak mereka tuju hanya dua pilihan: tanah suci Madinah atau negeri piramida. Tujuannya adalah menuntut ilmu di universitas ternama di sana. Jami'ah Islamiyyah di Madinah atau Al-Azhar di Kairo. Luar biasa. 
 
Well, kejadian itu terjadi sekitar lima tahun silam. Di sebuah musala kecil di belakang MAN 2 Padang. Saya adalah salah seorang dari mereka yang waktu itu ngebet banget pengen ke Madinah. Keinginan yang demikian menggebu-gebu itu pun terus kami genggam erat-erat menjadi motivasi utama dalam mengarungi masa-masa terakhir di MAN (yang terasa sangat membosankan dan buru-buru ingin lulus). Sekarang, menyadari fakta bahwa kejadian memorable itu ternyata telah tertinggal jauh di lima tahun yang lalu, saya agak sedikit tercengang karena dua alasan. Pertama, betapa cepatnya waktu bergulir. Kedua, telah lewat lima tahun, saat ini saya justru tidak sedang berada di Madinah maupun di Kairo. Saya sedang termenung, merenung, melamun, sambil pura-pura sibuk mengetik dan menulis blog, di sudut timur pulau Jawa ini, Malang. Saya masih menghirup udara Indonesia, Kawan. 
 
Tidak, penyesalan tentang ketidakberhasilan saya menggapai mimpi lima tahun lalu itu sebenarnya telah pula saya tinggalkan di belakang, sejak akhir 2011. Walaupun saya gagal ke sana, seenggaknya saya sempat menitipkan semangat yang sama ketika salah satu teman karib kami berhasil menjejakkan langkahnya di Al-Azhar dan sebentar lagi mungkin akan bersiap-siap menyusun tugas akhirnya (Semangat, Sohib, kalau pulang jangan lupa bawain piramida Giza yang gede itu, ya. Soalnya saya penasaran, katanya di dalam piramida sebenarnya ada senjata rahasia Megatron). Teman yang lainnya, walaupun tidak ke dua kota keren itu, masih sempat lah mencicipi ilmu dari ulama di tanah arab sana, Yaman. Kalau kalian pulang ke Indonesia, saya sarankan untuk segera bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia. Barangkali kalian bisa merumuskan pengharaman mendirikan DPR tandingan. Saya yakin dalam ilmu fiqih ada pembahasan-pembahasan seputar hal itu.

Saya memang tidak berhasil sampai ke Madinah atau Kairo. Tetapi, saya punya prestasi lain yang lebih spektakuler (uhuk) dibanding beberapa orang di antara mereka yang di malam lima tahun lalu itu turut menuturkan mimpi-mimpinya untuk merantau jauh meninggalkan kampung halaman. Saya telah berada di tanah perantauan ini kurang lebih 4 tahun 5 bulan dan belum pernah pulang. Prestasi yang hebat, bukan? Apalagi, sudah menjadi tradisi di Minangkabau, bahwa lelaki perantau yang lama tidak pulang-pulang itu keren, loh (ini pendapat subyektif yang sedikit dipaksakan dan disusupi self claimed sih sebenarnya ha-ha-ha).

Enggak sih, saya bercanda. Merantau lebih dari 4 tahun dan nggak pulang-pulang itu bukanlah prestasi. Itu hanya hal biasa. Hanya bagian dari episode kehidupan. Proses pendewasaan diri yang belum menemui titik klimaksnya. Setidaknya, saya menyadari itu dengan jujur. Karena, saya masih belum berhasil mendapatkan apa yang saya inginkan dari proses merantau itu. Pernah dulu, sambil bercanda juga, saat akan berangkat ke tanah Jawa ini, saya berseloroh kepada teman-teman: "Saya nggak akan pulang, loh, kalau belum sukses." Barangkali pernyataan gurauan itu secara diam-diam telah merasuki alam bawah sadar saya selama rentang waktu 4 tahun lebih itu, mengendap di sana, mengkristal menjadi semacam prinsip yang tak bisa lagi disangkal. Berhubung saat ini saya masih berkutat dengan materi-materi perkuliahan semester 5, masih sangat jauh dari kata sukses itu, sehingga saya selalu menjawab pertanyaan orang-orang 'kapan pulang' dengan: suatu hari nanti. Rindu sih, kangen dengan kampung halaman sih, tapi belum saatnya untuk kembali. Seperti tag-line legendaris yang biasanya terpampang di bak truk-truk besar lintas pulau: "Pulang malu, tak pulang rindu."

Jadi, sebenarnya apa sih inti dari pembahasan blog saya malam (pagi) ini? Nggak ada yang penting kok. Namanya juga 'asal saya bisa tetap menulis', jadi ya, mengalir aja apa yang kepikiran itu yang ditulis. 

Baiklah, dari pada tulisan ini benar-benar kosong tanpa hikmah baik yang bisa dipetik, saya kutip saja lah sebuah kalimat dari lirik lagu Minang yang sangat populer. 

"Tinggi-tinggi tabangnyo bangau. Pulangnyo ka kubangan juo. Sajauah-jauahnyo denai marantau. Pulangnyo ka ranah minang juo."
 
Arti bebasnya adalah kurang lebih: Suatu saat, tak peduli sejauh mana kaki ini meninggalkan kampung halaman, tak peduli seberapa banyak negeri-negeri yang akan saya singgahi, saya akan pulang ke ranah Minang. Karena, tak peduli sejauh mana engkau berkelana, pada akhirnya, semua perjalanan itu memang akan kembali ke muara yang sama, bukan? 

NB: Adapun hati ini, ke manakah ia akan bermuara? uhuk uhuk uhuuuuk! Kukuruyuuuk!

Komentar