Mozaik-Mozaik Wajahmu (3)

Sebatang tubuhku diselubungi dingin yang menggerus kesadaranku tanpa henti selama 12 jam terakhir. Aku meringkuk di tempat tidur tanpa sanggup melakukan apapun. Aku lupa kapan terakhir kali perutku disinggahi makanan. Aku menggigil hebat, rasa sakit dan perih menjalari ulu hati, menyebar ke jantung. Kutempelkan telapak tanganku di sana, detaknya tidak lagi normal. Kuremas kuat-kuat, aku meringis, sakitnya menggila. Seakan ditancapi berlusin-lusin paku tajam. Panas.
Aku merasa kepanasan dalam cuaca dingin kota yang sedang berada di titik puncaknya. Sekelilingku gelap. Pekat. Aku memejamkan mata rapat-rapat sedangkan gerahamku bergemelatuk menahan rasa sakit itu, hampir tak bisa mengingat apapun lagi selain wajahmu. Iya, wajahmu. Setiap kali rasa sakit itu menyerbu bagian tubuhku, sekelebat kenangan tentangmu menyentakku dengan ganas. Dan setiap kulihat kau tersenyum di imajinasiku, setiap itu pula kelopak mataku memanas. Aku seperti terlempar ke suatu dimensi asing tanpa penghuni. Seluruh makhluk hidup menelantarkanku sendirian di dimensi itu. Aku terbuang dari kehidupan. Lalu ketika aku membuka mata lagi, aku tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata. Dan aku harus menyesap semua kesakitan ini sendiri. Tanpa siapa-siapa. Benar-benar sendiri. Dalam definisi sesungguhnya. Dapatkah kaurasakan pedihnya? 

*** 
Pagi itu, aku baru akan masuk kelas ketika langkahku tertahan di depan pintu. 
"Kenapa, Kak?" tanya Maya kala melihatku tiba-tiba berhenti melangkah. Aku buru-buru membungkuk pura-pura membenarkan tali sepatu. 
"Oh, enggak. Ini aku nginjak tali sepatu, hampir kesandung deh." 
Maya tidak mencurigaiku sedikitpun, aku lega.
"Yaudah, aku tag-in tempat ya buat bertiga." Bertepatan dengan itu Ezra muncul di belakangku sambil menepuk punggungku. 
"Yang paling depan, ya, May!" teriaknya pada Maya. Cewek manja itu menyipitkan mata dan menyunggingkan senyum. 
"Okeee," serunya dengan nada suara yang dicadel-cadelkan, menggemaskan. Ezra mengintip sebentar ke balik bidang kaca pada pintu dan kembali menyikutku sambil berdehem. Aku mendongak padanya dengan memasang tampang canggung. Kulit pipiku serasa kebas. Ezra tertawa iseng, bergumam tidak jelas dalam bahasa ibunya, menepukku sekali lagi lalu masuk kelas. Aku berdiri, meraba jantungku. Benda itu berdebar-debar kencang. Aku menarik napas cepat, kuintip wajah di balik bidang kaca itu. Oh, Tuhan. Kuatkan aku, kuatkan aku. 

Aku memutar grendel pintu pelan-pelan, melangkah masuk hati-hati, berusaha bersikap senormal mungkin. Namun sepertinya usahaku tidak berhasil. Aku berjalan kaku menuju tempat duduk yang telah di-tag Maya. Dengan sudut mata. kulihat dia sedang asyik mengobrol dengan seorang teman perempuan. Setelah meletakkan tas, aku buru-buru keluar lagi. Kelas masih sepi, cuma ada Maya, Ezra, dia dan temannya itu. Aku tak kuat berada di sana, terlalu dekat darinya. Hanya terpisah tiga kursi. Aku tak ingin terlihat memalukan di depannya. Maka untuk sementara ini, keinginanku untuk mengenalnya urung terkabul. Bagaimana akan berkenalan bila sekadar menyapa saja tidak bisa?

Aku tidak menyadari Ezra membuntutiku ke luar kelas.
"Mau ke mana? Mau ke toilet beneran atau?" tanyanya sambil memasang senyum menyebalkan.
"Apaan sih?" gerutuku sebal. Bersikap sok tidak peduli dan melenggang ke toilet laki-laki di lantai itu. Padahal tadinya aku tidak berniat akan ke kamar kecil. Sama sekali.
"Kelihatan, Rik. Kelihatan banget." Dia berseru lagi, menggema.
Aku hanya mengepepalkan tinju ke arahnya dari jauh. Lelaki itu malah semakin terbahak.

***
Aku memandang dalam-dalam kepada sosok bayangan dalam cermin kamar mandi. Kulit wajahku masih terasa kebas. Kubasuh sekali lagi dengan air dari westafel. Dingin seketika menyesap ke pori-pori. Segar. Aku menepuk-nepuk pipi. Bagaimana cara menyapanya terlebih dahulu? Apa yang harus kukatakan? 

"Hei, kamu yang dari Bali itu kan?"

"Iya, ada apa, ya?"

"Oh, enggak, cuma nanya kok. Aku Eriko, dari Padang."

"Terus?"

"Salam kenal."

"Oh..."

Ah, skenario yang payah!

Aku masih memandang kosong bayanganku di cermin hingga ponselku bergetar.

"Kamu di mana, Kak? Dosennya udah masuk, nih." SMS dari Maya.
Sialan, aku berada di toilet selama setengah jam lebih tanpa sadar waktu. Tanpa melakukan apa-apa. Pasti ada yang salah denganku sekarang. Ada yang tidak beres. 

Komentar