Mozaik-Mozaik Wajahmu

Kadang aku seperti gila, melihat senyumanmu di setiap perempuan yang berlalu lalang di sekitarku. Aku menampar pipi, mencubit lengan, bahkan menjambak rambut. Tetapi bayangan itu tetap ada. Di lain saat, aku terkejut, seorang perempuan tertawa di sebelahku ketika aku duduk di salah satu bangku tunggu di lantai satu gedung fakultas, aku mendengar suara tawamu. Begitu nyata, begitu jelas, sejelas matahari di siang terik.
***
September 2012
Aku masih bisa meraba-raba ingatanku tentang pertemuan pertamaku denganmu. Hari itu, hari pertama kuliah. Kita berada di kelas yang sama, mata kuliah filsafat. Kamu tahu, hari pertama masuk 'sekolah' pasti selalu diawali dengan perkenalan. 

Aku duduk di barisan kedua, kursi paling pinggir, mepet ke dinding, tiga langkah dari pintu masuk. Sepanjang perkenalan itu, aku memerhatikan satu-persatu teman-teman baru di kelas. Mencoba menghapal nama mereka. Sebisaku. Tapi ternyata usahaku tidak cukup berhasil. Mungkin seseorang di kelas itu ada yang sanggup menghapal kurang lebih enam puluh wajah dengan enam puluh nama hanya dalam sekali pertemuan. Yang pasti orang itu bukan aku.

Ya, dari puluhan orang itu, aku baru hapal lima orang. Kebetulan sejak awal pengumuman kelulusan SNMPTN sampai urusan persiapan ospek dan segalanya, aku telah cukup sering berkomunikasi dengan mereka melalui facebook. Dua di antaranya sampai hari pertama masuk kuliah itu, telah menjadi teman baru yang paling lengket. Kami bertiga selalu datang dan pulang berbarengan. Aku, Ezra, dan seorang cewek manja bernama Maya. 

Aku bukan seseorang yang menonjol pada perkenalan pertama. Mungkin saja kau tidak akan percaya bila kuakui betapa pendiamnya aku sebenarnya. Aku, masih memiliki masalah dengan kepercayaan diri. Semacam krisis?

Apakah kaupercaya bahwa 'love at the firts sight' itu benar-benar ada? Kalau kautanya aku, jawabanku adalah tidak. Tidak, meskipun aku termasuk lelaki yang mudah tertarik dengan paras cantik perempuan--dan kurasa itu wajar bagi sebagian besar lelaki normal--aku tidak pernah berani langsung menyimpulkan ketertarikan itu sebagai cinta. Rasanya aneh ketika misalnya aku berpapasan dengan perempuan cantik, jam tanganku sekonyong-konyong berhenti berdetak, semua gerakan yang ada di dunia ini melambat sepersekian detik. Lalu aku merasakan ada hembusan angin lembut di wajahku, tubuhku tiba-tiba ringan dan melayang-layang. Lantas muncul seberkas cahaya menimpa wajah cantik itu, rambutnya berkibar gemulai. Diringi alunan kuch kuch hota hai yang entah muncul dari mana, aku kemudian berlarian di sebuah taman bunga yang luas bukan kepalang sambil berteriak 'aku jatuh cinta! aku jatuh cinta! aku jatuh cinta'. Adegan seperti ini sering kulihat dalam film-film India era 90-an. Itu tidak mungkin terjadi. TIdak mungkin orang bisa jatuh cinta hanya dengan sekali lihat. Hmm... Atau mungkinkah aku yang sesungguhnya belum bisa memahami 'what the love is'?

Karena aku bukan seseorang yang menarik secara fisik, maka dengan penuh kesadaran, aku tidak pernah berniat tebar-tebar pesona sejak awal. Minder? Iya, semacam itulah. Mungkin kau tidak percaya dengan fakta ini. 

Perkenalan itu berlanjut. Giliranku telah lewat dari tadi. Nah, terbukti, aku tidak menangkap gelagat ketertarikan orang-orang padaku sewaktu aku berdiri dan mulai bersuara memperkenalkan nama dan asalku. Kebanyakan mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku mengerti bila mereka tidak terlalu peduli denganku. Berbeda dengan seorang cowok beberapa kursi dariku, ketika dia memperkenalkan diri, dia berhasil menarik perhatian beberapa cewek di kelas. Aku tidak pandai memberi skor untuk urusan ini. Tapi anggaplah, tujuh setengah.

Setelah si ganteng itu selesai, saat itulah aku tidak sengaja menghentikan pandangan pada seorang perempuan. Sampai detik itu aku masih tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama. Tetapi, aku merasakan ada yang berdesir lebih cepat dalam rongga dadaku. Aku duduk dengan posisi separuh punggung bersandar di dinding. Aku mencuri-curi pandang. Sekali, dua kali, tiga kali, desirnya masih sama kuat. Aku berpaling. Perempuan itu berdiri dan menyebutkan namanya. Asing. Aku belum pernah mendengar nama semacam itu sebelumnya. Aku semakin tertarik. Aku kembali mencari celah dari bahu Maya yang duduk di sebelahku untuk memerhatikan perempuan bernama asing itu sekali lagi. Dia tertawa. Berderai. Jemari tangan kanannya cepat menutupi mulut. Aku tersenyum. Aku bahkan tidak tahu apa yang membuatku tersenyum. Dari kejauhan, aku mencoba menghapal wajahnya. Pagi itu, dia mengenakan balero hitam sejengkal di atas pinggang, membalut kaos putih bertulisan yang tidak terlalu jelas bacaannya olehku. Dengan bawahan jins biru tua, sepatu kets bertali ungu. Rambutnya panjang melewati bahu, dikucir satu ke belakang. Kulitnya sawo matang. Keningnya ditutupi poni miring. Belakangan aku tahu, ada tahi lalat kecil di antara kedua alisnya yang tipis. Aku pun mengira dia berdarah India.

"Kamu asli Bali?" tanya bapak dosen Filsafat kami waktu itu. Perempuan itu mengiyakan. Aku mengangguk-angguk mendengar sederet tanya jawab antara si bapak dosen dengan perempuan itu. Baru kali ini aku punya teman orang Bali, mungkin ini yang membuatku menjadi lebih tertarik padanya. Apa? Teman? Aku bahkan belum berkenalan langsung dengannya. Walaupun aku tetap yakin bahwa itu bukanlah 'love at the first sight', melainkan hanya ketertarikan biasa yang wajar sebagai lelaki normal, tetapi satu yang pasti, pagi itu, ada sesuatu yang berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Kak! Eriko! Pssst! Kamu melamun?" 

"Eh?" Aku tersadar. Maya memelototiku. "Enggak, aku nggak melamun."

"Terus? Barusan bengong gitu."

"Itu ... aku sedang menghapali wajah teman-teman baru," jawabku sekenanya.

Maya menimpuk bahu kananku dengan bindernya lalu berpaling sambil membetulkan posisi kacamatanya. "Dasar!" gerutunya.

Pagi itu, dua tahun yang lalu, pertama kalinya aku merasa tertarik padamu. Saat itu aku ingin menyimpan wajahmu, namamu, juga tahi lalat kecil itu, dalam memori terdalam di otakku. Aku bahkan berharap setelah itu aku bisa mengenalmu. Benar-benar mengenalmu.




Komentar