Mozaik-Mozaik Wajahmu (2)

Logikaku berhenti bekerja. Aku menyugesti diri dengan bermacam kemungkinan positif bahwa keadaannya akan baik-baik saja. Namun aku gagal. Sekuat aku membantah pikiran-pikiran buruk itu, lesatan-lesatan imaji negatif itu menyerang kesadaranku lima kali lipat lebih tangguh. Ada apa denganku? Kenapa aku begitu mengkhawatirkanmu hingga ke tahap yang mungkin tidak lagi bisa ditolerir sebagai suatu kewajaran? Aku menutup wajah erat-erat. Aku tak sanggup menatap apapun yang berada di hadapanku. Karena bila kulakukan, ketakutan akan kehilanganmu menari-nari di setiap objek pandanganku. Aku... Merindukanmu... Sungguh-sungguh... Kenapa kamu menghilang?

***
Aku menaiki tangga menuju kamar kosanku di lantai dua. Di sebuah bidang dinding lorong panjang, terpampang cermin besar, cukup besar untuk memantulkan bayanganku dari ujung rambut hingga lutut. Aku menoleh kiri-kanan, berharap sedang tidak ada penghuni kamar lain yang akan lewat. Setelah yakin tidak ada orang, aku mematut diri dari rambut hingga dagu. Aku meraba-raba kulit pipi, dahi, terakhir memencet hidungku sendiri. Wajahmu melintas di ingatanku. Begitu juga namamu yang asing itu. Apa yang akan kulakukan? Aku merasa ingin sekali mengenalmu. Tapi bagaimana? Lebih tepatnya, untuk apa? Untuk apa aku mengenalmu? Pertanyaan-pertanyaan itu tak memberiku jeda untuk menarik nafas. Aku menepuk pipi dua kali.

Tentu saja untuk berteman. Itu satu-satunya alasan yang paling normal saat ini. Memangnya apa yang engkau ekspektasikan? Sebuah suara menggema entah dari mana. 

Aku tersenyum, menyadari kebodohanku sendiri. Senyum itu terasa semakin getir. Iya, benar sekali. Apa yang aku harapkan selain hanya berteman? Pantaskah aku mengandai-ngandai terlalu jauh? Tidak, sangat tidak pantas. Sekonyong-konyong bayangan-bayangan masa lalu terbit di mataku, seperti memutar film-film lama. Aku mengembuskan nafas berat. Aku paling benci mengingat-ingat yang seperti ini lagi. Kenapa harus teringat lagi? 

Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri mematung seperti itu hingga suara percikan air di ujung koridor menyadarkanku. Tidak masalah, itu ibu kos yang sedang mengepel lantai koridor. Aku buru-buru meninggalkan cermin itu dan mengeluarkan kunci kamar dari saku tas sebelum si ibu kos menyadari apa yang sedang kulakukan. Malu-maluin. Aku masuk kamar setelah terlebih dahulu basa-basi menyapa. Setelah itu, pintu kukunci, kulempar sembarangan tasku ke sudut kamar, kuhempaskan badanku ke kasur. Aku memijit-mijiti dahi yang tidak sakit. 

Bali? Selama ini aku tidak pernah terpikirkan tentang ... Ah, tentang apa? Apa yang tidak pernah kupikirkan? Tidak, maksudku, Bali terdengar ... hanya agak sedikit, asing. So? What's the problem? Bukan begitu, tidak ada masalah. Tapi ... hei, apa yang sedang kupikirkan?

Bagaimana caraku berkenalan dengannya? Aku mengambil hp dan mengutak-atik daftar kontak. Aku berhenti di namanya. Iya, tadi di kelas filsafat, aku berhasil mendapatkan nomor hp-nya dari daftar absensi sementara yang diedarkan ketua kelas. Tentu saja diam-diam. Maya yang duduk di sebelahku saja tidak menyadarinya. Aku menatap deretan 12 angka itu lekat-lekat. Apa yang akan kulakukan sekarang? Mengiriminya SMS? Tapi apa yang akan kukatakan? Aku rasa akan konyol sekali mengirimi SMS kepada orang yang belum dikenal. Aku bingung, aku malah menggeser-geser daftar kontak itu dengan memencet tombol up dan down berkali-kali dengan tatapan mata menerawang ke langit-langit kamar. Tiba-tiba ibu jariku terpeleset, dan pandanganku tertuju pada sebuah nama yang tak sengaja terpencet. Nama itu ... Kenapa?
 "Bang, mungkin sebaiknya kita udahan aja."
"Udahan? Maksudmu?"
"Abang mengerti maksudku kok. Pasti mengerti."
"Putus?"
"Iya, Bang."
"Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba? Masalahnya apa? Aku salah apa?"
"Abang nggak salah apa-apa, kok."
"Terus, kenapa putus???"
"Abang boleh benci padaku, marah, silakan. Abang boleh bilang aku jahat setelah ini."
"Jawab pertanyaanku, Ta! Kenapa putus?"
"Aku nggak tahu, Bang."
"Nggak tahu? Nggak ada alasan sama-sekali???"
"Aku pikir, mungkin memang sebaiknya kita berteman saja."
"Ta ... Kamu ... Aku ... Aku nggak bisa!"
"Maafin aku, Bang."

Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Aku memencet tombol home dan layar hp-ku pun keluar ke mode stand-by. Aku meletakkan benda itu agak jauh dari jangkauanku. Aku memejamkan mata. Sudahlah, untuk apa aku buru-buru mengenalmu. Biarkan saja semuanya mengalir seperti seharusnya. Biarkan dulu aku sembuh, karena saat ini aku masih sakit. Masih sangat sakit...

Memangnya apa yang engkau harapkan kalau tidak sebagai teman? Berharap lebih? Tolong, Eriko, cukup. Jangan bermimpi lagi.

***
Malang, 19 Oktober 2014
Jumaiko Ahmadi

Komentar