Nayla

Segelas Ice cappucino di pukul setengah dua malam dengan udara beku menusuk tulang? Cewek aneh. Seharusnya dia membutuhkan secangkir kopi panas untuk menjaga tubuhnya tetap hangat. Atau barangkali dia suka minuman jahe hangat? Aku bisa membikinkan untuknya.
“Mbaknya nggak salah pesan minuman, kan?” kutaruh gelas itu di hadapannya sambil tersenyum hati-hati. Dia menggeleng.
“Duduk di dalam aja, mbak, dingin banget lo di sini.”
Dia menggeleng lagi. Aku mengangguk. “Ya udah, paling nggak jaketnya cukup tebal buat menghangatkan badan.” Ujarku sok akrab. Dia melirik sekilas jaket kulit yang dikenakannya, tersenyum, hambar.
Aku berlalu meninggalkannya sendirian di teras. Di malam gerimis begini, sepi, beberapa orang lebih memilih duduk di dalam ruangan untuk menghangatkan badan dengan seduhan kopi panas daripada harus membeku kedinginan di luar sana seperti cewek itu.
Dari arah bar, sepuluh meter dari tempat duduknya di teras sisi utara stage—yang kosong melompong karena sedang tidak ada live music, aku bisa memperhatikan gerak-geriknya yang sendu. Sesendu akustik malam yang diputar Oca dari komputer kasir.
“Sepi banget ya, Rik, gue bosan nih kalau sepi kayak begini.”
Aku mengaduk-ngaduk toples berisi bubuk kopi. Apa kutawari saja dia segelas kopi panas? Sepertinya akan menjadi awal yang bagus untuk mengajak berkenalan.
“Rik, lu kok ngelamun sih!”
Hei, nama saya Erik. Mbaknya pasti baru pertama kali nongkrong di sini, ya? Jangan, jangan, terlalu klasik, dan terlalu formal. Harus lebih simpel dan gentel.
“Woi! Rik!”
Baiklah, begini saja, kubikinkan secangkir kopi panas terbaik, kudatangi dia, kutaruh di depannya, kuambil minuman esnya sambil tersenyum lalu bilang: ‘Ngopi panas aja yuk, gue jamin lu nggak bakal nyesal nyoba kopi bikinin gue, kasihan lu kedinginan gara-gara Ice cappucino sialan ini. Udaranya juga sedang nggak cocok buat minum es.’
Plak! “Lu parah ngelamunnya, Rik!”
Eh?
“Lu ngagetin aja, Ca.”
“Lagian lu dari tadi gue ajak ngomong kagak nyahut, ditabok dulu baru sadar. Parah lu, Rik.”
“Masa sih?”
“Ngelamunin apa sih? Senyam-senyum sendiri lagi.”
“Ada deh, kepo banget.”
“Nyebelin lu.” Tess! Kopi panas yang sedang kubikin tumpah dijailinya.
“Heh, ngawur lu!”
“Biarin, suruh siapa nyebelin.” Dia keluar sambil mencibir. “Gue bilangin ke bos kalau lu suka ngelamun sekarang.”
“Terserah deh!”
Oke, jadi, nama gue Erik. Gue barista terbaik di cafe ini. Lu pasti baru pertama kali nongkrong di sini, kan? Welcome, lu nggak salah pilih tempat nongkrong, gue bakal bikinin lu seduhan kopi terkeren di kota ini, spesial buat lu. Ngomong-ngomong, nama lu siapa nih? Kulihat lagi dia, sepertinya dia masih asyik dengan sendunya, sepuluh meter dari kakiku berdiri, melamun menatap kekosongan malam. Ice cappucino bikinanku masih utuh dalam gelasnya, belum disentuhnya sama-sekali.
***
Ini hari kedelapan. Kebiasaannya selalu sama tujuh hari belakangan: datang pukul setengah dua malam, pas ketika band tamu menuntaskan lagu terakhir sebelum istirahat sesi kedua, selalu tepat waktu.
Kali ini, You Belong With Me milik Taylor Swift baru saja klimaks, deru tepuk tangan tamu-tamu nongkrong mengusik kesenyapan dini hari. Aku berdiri memperhatikan pintu masuk dekat stage, dia selalu masuk dari arah sana. Aku harap-harap cemas, mengharapkannya.
“Nah, kalau ramai kayak gini kan asyik, gue juga nggak gampang ngantuk. Iya kan, Rik?”
Aku melirik jam dinding besar di atas pintu masuk, pukul 02:30. Kenapa dia belum juga muncul?
“Erik!” Pundakku ditepuk dari samping.
“Ya?”
“Lu kenapa sih?”
“Kenapa apanya? Aku nggak kenapa-kenapa kok.”
“Aku? Kok tumben? Bukannya lu biasa ber-lu-gue, ya?”
“Anggap aja aku lagi baik.”
“Aneh.”
Aneh?
“Eh, kok orangnya belum datang, ya?”
“Siapa?”
“Ya, cewek itu, yang biasanya duduk di meja 13.”
“Meja 13??”
“Yo-i.”
Aku memfokuskan mata ke arah pintu masuk, berharap terselip sosoknya di antara tetamu yang keluar masuk.  “Nah, itu dia datang. Tunggu ya, aku keluar dulu bentar, bisa handle sendiri kan? Bye.”
“Erik!?” Oca menahan tanganku, menatapku tajam, kesal? Marah? “Lu mau ngapain?”
“Bentar aja, oke. Penting nih.”
“Woi, lagi banyak order-an nih!” Dia mengangkat beberapa lembar kertas order yang sedang antre di bar dan hampir saja mencolokkannya ke mataku, geram.
“Bentar kok, sabar, ntar juga gue bikinin.”
Oca melepaskan tanganku dengan muka masam. “Lu udah gila, Rik.”
Whatever.”
Tidak usah pedulikan si Oca itu, kamu tampak anggun malam ini. Sudah tidak sendu lagi, kan?
“Hei, tumben telat nih.” Aku menarik kursi, mempersilakannya duduk. “Biasanya setengah dua udah nongol.” Dia hanya tersenyum.
Btw, mau minum apa nih? Seperti biasa?”
Dia mengangguk pelan.
“Oke deh, tunggu ya.” Dia kembali tersenyum. Aku masuk bar dengan berlari-lari kecil, senang banget. Tak kupedulikan tatapan kesal Oca yang sedang sibuk menyiapkan order minuman. Setelah kubikinkan minuman untuk cewek itu, aku kembali padanya.
“Percaya deh, lu harus nyoba kopi arabica buatan gue, atau lu mau nyoba Hot green tea, Hot vanilla cappucino, Hot mocha cappucino, espresso? Gue jamin lu bakal suka.” Dia tersenyum lagi. “Oke, kayaknya lu memang lebih suka minuman dingin ya. Gue juga bisa kok bikinin minuman frosted lainnya buat lu, daripada lu minum Ice cappucino mulu selama seminggu.”
“Makasih, Erik. Lain kali gue coba pesan yang lain deh, untuk sekarang ini aja dulu.”
“Oh.” Aku tertegun sendiri. Aku salah tingkah.
“Kenapa, Erik?”
“Oh, nggak, nggak apa-apa.”
“Yakin?”
“Lu nggak banyak ngomong ya orangnya.” Celetukku, dia tertawa kecil sembari menutupkan jemari di bibirnya yang tipis dan merah. Aku tersenyum, rasanya ada hangat yang menjalari rongga dadaku, mengelus hatiku, indah. Tapi aku masih belum tahu namamu. Cewek aneh.
Btw, besok kamu datang kan? Aku punya surprise buat kamu.” Tawarku renyah. Dia tersenyum sambil mengangguk, manis sekali.
***
“Gimana? Enak, kan? Gue juga jago masak Italian Food, lo.” Pamerku bangga.
“Keren kamu.” Katanya pelan. Kok tumben panggil ‘kamu’?
“Lu suka nggak?”
“Suka apanya nih?” Dia menatapku iseng. “Masakannya atau orang yang masak?”
“Dua-duanya deh.” Aku tersipu.
Dia tertawa—sambil menutupkan jemari ke bibirnya yang tipis dan merah itu, lalu mengangguk.
“Eh, rambut lu bagus ya.” Pujiku, “pakai sampo apa?” Dia tertawa lagi mendengar pertanyaanku.
Btw, kok lu sendiri terus? Nggak ada yang nemenin nih?”
“Kan udah ada yang nemenin.”
“Oya? Siapa?”
“Kamu.”
Eh? Kena deh.
“Ehmm...”
“Kenapa, Erik?” Dia menatapku lama sambil tertawa memperlihatkan barisan gigi putihnya yang rapi dan indah. “Salah tingkah, ya?”
Iya, kamu benar-benar membuatku salah tingkah.
“Hey....Hmmm”
“Iya, Erik?” Matanya membulat menungguku.
“Gue suka sama lu.”
Dia tersenyum, tidak menanggapi.
“Itu mbak yang di sana dari tadi ngeliatin kamu terus, lo.”
Aku menoleh ke arah bar. “Oh, itu namanya Oca.”
“Dia cemburu tuh, ciee.”
“Ah, nggak, dia kan udah punya pacar....”
“Nah, kok jadi galau gitu nadanya? Ayo....”
“Eh, nggak kok....”
“Ketahuan bohongnya.” Dia memelet lidah iseng.
“Hmmm... Oke, aku pernah gagal sebelumnya, dia menolakku beberapa bulan lalu.”
“Kasihan kamu.” Dia mengelus kepalaku dengan muka lucu.
Btw, nama kamu siapa?”
Dia tersenyum lagi, terdiam lama. “Ntar deh ya, biar surprise.”
Kapan?”
“Tunggu aja, ada waktunya kok.” Senyuman manisnya kembali mengembang.
Pukul 04:00 pagi, dia mohon diri. Aku mengantarkannya ke luar. Beberapa orang memandangiku dengan tatapan aneh.
“Semoga kamu nggak gagal lagi, Erik. The true love never fails. Trust me.”
Aku menahan tangannya sebelum pergi. “Makasih, ya, siapapun nama lu.”
***
Oca menepuk pundakku ketika aku baru saja masuk kerja pukul 10 malam. Ini minggu keempat sejak pertama kali cewek aneh itu datang ke cafe ini, dan aku masih belum tahu siapa namanya.
“Lu baik-baik aja kan, Rik?”
Aku mengangguk seadanya sambil jalan setelah menyalaminya.
“Tapi kok menurut gue nggak ya.” Oca mengimbangi langkah kakiku menuju bar. “Lu sedang bermasalah, Rik.”
“Aku baik-baik aja, Ca. Nggak ada masalah sama-sekali.”
“Erik.” Langkahnya terhenti. Aku menunggunya akan bilang apa. Beberapa karyawan baru menyapaku dan Oca sambil lalu, cafe sedang ramai.
“Ada apa lagi?”
“Maaf kalau lu marah sama gue, maaf kalau lu jadi kayak gini gara-gara gue.”
“Gue udah nggak mikirin masalah itu lagi kok.” Aku mencubit pelan pipi kanannya dua kali sembari tersenyum. “Tenang aja, ya.”
“Lu ngerti alasan gue nolak lu, kan?”
“Karena lu supervisor gue? Iya, iya gue ngerti kok. Udah ah, gue mau kerja nih, nggak usah dipikirin lagi.”
“Bukan itu, Rik.”
“Iya, gue tahu kok, masih ada alasan lain.” Aku tertawa. “Karena bos besar cafe ini juga nembak lu, kan. Dan lu lebih milih dia yang notabene seorang bos besar ketimbang gue yang cuma karyawan biasa. Udah, nggak masalah kok, gue ikhlas.”
“Erik....”
“Apalagi, Oca? Gue mau kerja nih.”
“Gue mau nanya, lu jawab jujur.”
“Oke.”
“Lu yakin cewek yang lu selalu samperin itu, cewek yang selalu duduk di meja 13 itu,” Oca terbata-bata, “benar-benar ada?”
***
Ini bukan dongeng, mana mungkin hal-hal seperti itu ada di dunia nyata. Cewek itu nyata. Dan aku tidak gila, aku benar-benar sehat. Aku waras.
“Apa kamu tahu siapa namanya, jika dia benar-benar nyata?”
“Saya memang belum tahu namanya sampai sekarang, karena memang dia sendiri yang bilang kalau itu surprise buat saya.” Aku tahu mana yang nyata mana yang tidak.
Bu Rini, dari bagian HRD, menoleh ke Oca, supervisorku, lalu ke mas Andi, manajer umum, dan bergantian ke beberapa karyawan lain yang—katanya—menjadi saksi kegilaanku, mereka saling toleh-menoleh. Aku seperti disidang di ruangan HRD ini. Aku tidak gila!
“Cewek itu nggak pernah ada, Rik, sadarlah.” Oca membujukku.
Aku menggeleng kasar. “Nggak mungkin! Kalau ada yang gila di sini, pasti kalian semua. Kalian ngerjain aku kan? Ngaku deh. Aku tahu kalian pasti bercanda!” Aku terpingkal, lalu hening.
“Erik, kamu sudah keluar jalur. Kami tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut, kinerjamu sudah nggak benar, kamu bikin masalah buat kafe ini. Sangat disayangkan, padahal kamu adalah barista terbaik kami, dulunya.” Mas Andi bicara.
“Masalah? Masalah apa? Nggak ada masalah sama-sekali di sini.” Aku ngotot membela diri. “Aku selalu datang tepat waktu, aku masih secakap dulu dalam olah minuman, aku yang terbaik di cafe ini, kalian semua tahu itu, kan.”
Bu Rini menarik napas panjang, mengisyaratkan sesuatu pada Oca.
“Kami memperhatikan semua keanehanmu ini selama tiga minggu terakhir, kamu tidak bisa membantahnya, Rik, terlalu banyak saksi mata.” Ujar Bu Rini.
“Yang paling pertama, lu ngantarin Ice cappucino ke meja 13, lalu bicara sendiri entah dengan siapa. Gue awalnya heran kenapa lu bikin minuman itu padahal nggak ada order-an. Gue perhatiin dari jauh, ternyata gitu. Kita semua yang kerja malam itu ngelihatnya dengan jelas, Rik.” Beber Oca lagi.
Tidak, tidak mungkin.
“Apa kamu sadar, Rik?” Mas Andi bicara lagi, “Minuman dan makanan yang kamu bikin buat cewek imajinasimu itu, selalu utuh, kamu hanya buang-buang waktu dan uang. Kamu tentu saja harus membayar ganti rugi untuk semua produk itu.”
“Erik,” Bu Rini mendekatiku, “Kamu perlu pertolongan. Kamu harus diobati.”
Aku menepis tangan bu Rini. “Tidak, tidak. Kalian salah. Aku akan buktikan kalau dia benar-benar ada.”
“Udahlah, Rik, nggak ada lagi yang perlu dibuktiin. Dia nggak nyata, Rik.”
“Kalau dia nggak nyata, kalau memang selama ini kalian melihat gue bicara sendirian, kenapa nggak ada seorangpun yang negur gue?”
“Gue udah berusaha ngingetin lu, Rik. Tapi....”
‘Tapi apa?”
“Gue nggak tega, gue nggak percaya, gue nggak rela nerima kenyataan kalau....kalau lu udah nggak waras, Rik.”
***
Sudah pukul 2:30 malam, seharusnya kamu sudah datang. Aku akan buktikan ke semua bahwa kamu nyata, kamu bukan ilusiku. Kamu di mana? Please, came to me.
“Rik, udah, sadar dong.” Oca menahan tanganku, di luar hujan deras, petir berdentum-dentum memecah angkasa. Cafe sepi.
Aku keluar menuju teras, tempias memercik ke pakaianku, dingin menderu-deru menyerangku. Mataku tak beranjak dari meja nomor 13 di depanku, aku berharap dia ada di sini.
“Rik? Masuk! Lu bisa masuk angin kehujanan kayak gitu!”
Aku tidak menggubris teguran Oca. Tiba-tiba kepalaku disesaki darah segar, dadaku bergemuruh. Di bawah meja itu! Jelas sekali, memang itu sebuah memo, hampir hanyut dibawa hujan. Kupungut cepat, detak jantungku makin berpacu. Pandanganku buram, jemariku bergemetaran, bibirku menggigil.
“Maaf ya gue nggak bisa datang malam ini, pasti lu nyariin gue, kan? Gue akui, kopi bikinin lu memang yang terbaik dalam hidup gue. Hangatnya pas, sama kayak lu, selalu hangat buat gue. O, ya, nggak usah dengerin apa yang mereka bilang, lu nggak gila, lu benar tentang gue, dan yang pasti, lu nggak salah suka sama gue, perjuangan lu berhasil, lu udah berhasil bikin gue ngomong panjang lebar, lu berhasil nyuri perhatian gue. You know? Love never fails. See you soon. Miss you. Nayla.”
Jadi, nama kamu Nayla?

***
Btw, cerpen yang ini juga bernasib sama dengan yang sebelumnya, nggak lolos sepuluh besar. Tapi nggak apa-apa, life most go on. (tertawa elegan)

Komentar