Lebih dari Sekadar Bang Toyib

Atap kontrakan tiba-tiba bergemuruh, tak ada petir tak ada badai, hujan berjatuhan bak taburan koral. Aku yang sedang berkonsentrasi penuh di depan laptop, lari lantang-pukang ke belakang, memanjat tangga setinggi dua setengah meter ke tempat jemuran dengan satu napas. Hampir saja kecolongan. Cuaca di kota ini seperti remaja labil akhir-akhir ini, susah ditebak apa maunya. Usai meminggirkan pakaian (kurang) kering yang hampir saja basah kuyup itu, aku menengadahkan wajah ke langit. Allahumma shayyiban nafi'an. Ya Allah, jadikanlah hujan ini bermanfaat bagi kami, bisikku lirih. Kupejamkan mata sejenak, kuabaikan tetesan-tetesan air itu menjamah wajahku, ada kedamaian di situ.

Sepuluh detik, kubuka mata, mendung bergumul dengan angin di atas kepala, berarak deras ke selatan, pindah ke kelurahan sebelah, aku melongo. Secepat itukah? Ternyata awan hitam yang barusan lewat itu (sebut saja namanya Abdul) cuma ingin mengucapkan "Marhaban ya ramadhan." Lalu ia berlalu meninggalkanku dengan ekspresinya yang kebapakan penuh wibawa seperti salah seorang calon presiden Indonesia. 

"Selamat menjalankan ibadah di bulan ramadhan, Abdul!" teriakku imajinatif. Senja yang tadinya redup tertutup badan gempal-lebar-kelam-legam si Abdul, sekarang benderang kembali. Gagal sudah rencanaku ingin main hujan-hujanan.

Secepat itukah?

Belakangan, aku rada-rada sensitif dengan pertanyaan "secepat itu". Seorang teman bertanya dengan muka datar tanpa dosa, "21 tahun? Secepat itukah?" Aku tahu, makna implisit dari pertanyaan itu adalah, "Tua". Sedangkan tanda tanya beserta intonasinya itu hanyalah basa-basi murahan agar sarkasmenya tidak kentara. 

Ada lagi celetukan lain. "Nggak pulang lebaran ini, Mik?" 
"Masih belum nih," jawabku pura-pura tegar, padahal di sini sedang terjadi perang batin (nunjuk dada).
"Emang udah berapa lama kamu nggak pulang?" 
Aku mulai mencengkeram sarung golok.
"Lebaran idul fitri tahun ini udah yang kelima." Goloknya kucabut sepuluh senti, untuk berjaga-jaga seandainya terlontar pertanyaan terburuk.
"Secepat itukah waktu berlalu, Mik? Sudah lima kali puasa lima kali lebaran?"
Aku mengambil ancang-ancang, golok tadi kusarungkan kembali. Lenganku yang kekar (uhuk) bergetar-getar, seberkas cahaya biru menjilat-jilat di sekitar dadaku, seumpama lesatan halilintar, dari balik kemejaku kukeluarkan sebilah senjata pusaka mematikan. "RASAKAN INI, TEBASAN KAPAK MAUT NAGA GENI DUA-SATU-DUA!!!" (Bagi yang tidak paham adegan ini, berarti kita beda generasi, so simple!)

Kemaren malam, seorang sahabat karib satu pondok denganku dulu menelepon. Kami mengobrol banyak. Dia bercerita tentang aktivitasnya sekarang yang sedang sibuk-gebuknya mengadakan KKN di salah satu desa di pelosok Jawa Timur. Sudah semester pamungkas dia sekarang, sebentar lagi skripsi. Sementara sosok malaikatku mendoakannya dalam hati semoga kuliahnya lancar, rizkinya berkah, ilmunya berguna bagi umat, sisi tergelap dalam diriku meronta-ronta bagai kebakaran bulu ketek, "Secepat itukah? Aku lo masih begini-begini saja, ente udah mau skripsi?" Maka dari itu, aku kira akan sangat efektif apabila orang tua mengingatkan anaknya sedari dini untuk tidak malas-malasan belajar, agar nanti dia tidak menjadi satu-satunya yang masih berkutat dengan tugas-tugas presentasi kuliah harian, bikin ppt serabutan, menggarap makalah copas-an, mengedit film dokumenter amatiran, sedangkan teman-teman seumurannya sedang bahagia-bahagianya berlenggak-lenggok genit di depan kamera memamerkan toga.

Lebih dari Sekadar Bang Toyib

Tulisan ini sungguh tidak ada sopan-santunnya, ngalor-ngidul kesana-kemari. Tidak punya landasan teori, apalagi sistematika penulisan yang sesuai kaidah-kaidah ilmiah. Tapi biarlah, ini gara-gara si Abdul yang mem-PHP-kanku kemaren sore sehingga tidak jadi main hujan-hujanan. Padahal dia tahu, hujan adalah pacar pertamaku, cinta banget aku pada hujan. Kalau tidak percaya, coba saja kalian adakan pesta pernikahan di musim penghujan, tak akan mau aku mendatangkan pawang meski yang memaksa adalah kompeni.

Abdur pergi bersama angin secepat itu, kurang lebih sensasinya sama dengan waktu yang berlalu dariku. Agar aku tidak berbual lebih banyak lagi, kucantumkan cerita penutup bernada sendu yang kualami tiga hari yang lalu. Tolong dipersiapkan tisu, sapu tangan, dan sejenisnya. Kalau perlu siagakan juga kameramen untuk merekam video pencitraan.

Begini ceritanya. Sejak kutinggalkan kampung halaman dan keluarga pada tahun 2010 silam, tak pernah sekejap matapun aku bertatapan dengan ayah. Beberapa tahun ini, aku hanya bisa mendengar bunyi tarikan napasnya yang berat, kukuak batuknya yang mengkhawatirkan, nada bicaranya yang semakin renta dan sakit-sakitan, serta petuah-petuahnya yang tak termakan zaman, lewat telepon. Aku tak pernah tahu seperti apa rupanya selama ini setelah sekian lama meninggalkannya. Karena di pedalaman selatan Sumatera Barat sana tidak ada wifi gratis untuk memudahkannya ber-online ria mengunggah foto-foto selfie ke akun facebook-nya agar aku bisa memantau keadaannya sewaktu-waktu untuk mengobati rindu. 

Tidak, janganlah urusan fecebook, itu terlalu canggih untuknya, sehari-hari tubuh rentanya sudah terlalu kejam dirajam pekerjaan berat yang tidak lagi sepadan dengan usianya. Sehingga, mana sempat dia berkenalan dengan internet dan segala anak-pinaknya. Memorinya pun mulai rapuh, tidak lagi setajam ketika dulu muda. Internet, hp pintar, facebook, twitter, path, sama sekali bukan dunianya lagi. Lelaki yang tumbuh dengan menghirup gelora pemberontakan PRRI itu kepayahan beradaptasi di dunia yang terlalu dinamis baginya. Jadilah dia memilih hidup menyendiri dari kebisingan kota, terpencil jauh di pelosok kampung yang mungkin tidak akan masuk dalam daftar destinasi blusukan presiden Indonesia masa depan. Satu-satunya alat komunikasi yang dimilikinya hanyalah telepon genggam butut yang diandalkannya untuk berkomunikasi denganku lewat telepon, iya, hanya telepon, bukan SMS. Karena hanya fungsi itu yang dikuasainya, satu-satunya. Dia tak tersentuh sila kelima pancasila, dia tak terjamah janji-janji manis para penguasa. Sungguh, yang terparah dari itu, perkembangan teknologi informasi telah mengkhianatinya mentah-mentah.

Lalu hari itu, seorang anak tetangga menyuruhku via SMS untuk mengirimkan foto-fotoku ke facebook-nya untuk dilihat oleh ayah. Tidak pernah mimpi apa-apa, aku tidak tahu itu ide cemerlang siapa. Yang jelas aku antusias, kukirimkan beberapa foto (yang menurutku) terbaik. Beberapa menit kemudian, si tetangga bilang, bahwa ayahku senang sekali, dia sangat gembira melihat foto anak lelaki satu-satunya yang sekian tahun berpisah dengannya ternyata sudah besar (kalian pasti mau bilang tua kan?). Dan menurutnya lagi, anak lelaki kebanggannya itu sekarang tambah putih (Oh, Ayahku yang amat kucintai, terima kasih telah membelaku di tengah-tengah diskriminasi dan dikotomi antara si ganteng putih bening dengan si jelek hitam kusam ini).

"Bang, ayahmu menangis, Bang."
Aku tertawa, pasti bercanda. 
"Nggak kuat beliau nahan air matanya, dia kangen banget sama Abang, udah lima tahun katanya nggak ketemu."
"Baru mau empat tahun kok," sanggahku sambil tertawa, kali ini tertawaku terdengar kosong.
Hening sesaat. Somebody is typing....
"Ini foto ayah Abang."
Saat itulah aku termenung lama. Aku tidak pernah melihat wajah ayah sejak 2010, yang tertinggal di memoriku sampai detik foto itu kuunduh, adalah waktu ayah mengantarku ke bandara, dengan wajahnya yang masih segar, badannya yang masih berisi, rambutnya masih menawan.
Kini semua tak lagi sama....
Yang kulihat sekarang adalah seorang kakek tua dengan badan ringkih, pipi cekung, sekujur rambut kepala yang memutih oleh uban, serta tatapan mata redup yang kelelahan....

Aku diselimuti hampa yang bertubi-tubi, digulung kekosongan yang tumpang-tindih. Aku terhisap black hole kemudian terombang-ambing di galaksi terjauh yang tak berujung. Aku tidak bisa berpura-pura tegar lagi. Pipiku menganak sungai seketika. Tiba-tiba aku merasa sangat ingin pulang. Sekarang juga. Lima kali puasa lima kali lebaran nggak pulang-pulang, aku sudah lebih dari sekadar seorang bang Toyib....

***

Agar cerita ini lebih bernuansa FTV, mungkin bisa ditambahkan adegan si ayah serta-merta menyuruh si anak lelaki segera mencarikan calon menantu untuknya karena usianya yang dianggap sudah pantas untuk berpasangan. Dilatarbelakangi oleh kekhawatiran sang ayah bahwa besar kemungkinan si anak bakal terus berlama-lama di perantauan, yang tentu saja hal itu akan semakin membuat hatinya terluka, apalagi dengan semakin renta usianya, maka dia meminta agar calon menantunya haruslah orang sesuku dan dari daerah asal yang sama pula. Akan tetapi apa hendak di kata, si anak telah punya pilihan sendiri yang bertentangan dengan keinginan sang ayah. Konflik besar pun tercipta. Akankah cerita cinta Mahmuddin berakhir bahagia? Sanggupkah dia menyelesaikan konflik adat yang rumit tersebut? Bagaimana dia akan memilih antara keinginan ayahnya yang amat dia hormati dengan Zubaidah, gadis manis yang telah membuatnya cinta mati? Nantikan kisahnya di gala sinetron ramadhan kesayangan Anda, "Mahmuddin dan Zubaidah".

Lalu sang bos besar pemilik stasiun tv nongol, dengan senyum manisnya yang khas, dia mengucapkan dengan logat oriental yang unik: "Marhaban ya Ramadhan. Selamat beribadah puasa bagi yang menjalankannya. Minal aidin wal fai...."
"CUT! CUT! PAK, ITU UCAPAN SELAMAT LEBARAN!"

Malang, 28 Juni 2014
Ketika dingin mulai merayapi jendela kaca





Komentar