Apel Merah dalam Amplop Putih

Seminggu ini, aku mulai sibuk menghitung-hitung sisa tanggal di bulan Juni. Setiap hari, aktivitasku dalam ruangan pengap ini hanyalah menatap lembaran kalender lusuh yang ditempel tak simetris di tembok. Kurang lebih dua minggu lagi, pikirku dalam hati, sumringah.
“Adrian Chaniago.” Seorang sipir muda melangkah mendekati ruanganku dan mengulurkan sebuah amplop kecil berwarna putih melalui sela-sela jeruji, ”Ada titipan untukmu.”
“Oh,” Kulirik sekilas nametag sipir muda itu, dia orang baru di sini. “Terima kasih, Tomi. Pak Tomi, maksud saya.” Kusambar amplop itu agak kasar sambil melempar senyum sinis pada si sipir. Dia membalasku dengan ekspresi datar lantas beranjak menjauh.
Sebuah surat tanpa nama?
Kurobek pinggiran amplop itu buru-buru. Seketika, wangi kertas yang sudah lama tak kuendus menyeruak menggelitik saraf-saraf sensoris indera penciumanku.
Tunggu! Aromanya beda!
Ini seperti kain yang dicelupkan ke dalam minyak wangi, terlalu menyeruak, tajam. Ini bukan kertas biasa, aku meraba-raba ingatanku. Aku serasa pernah menyentuh benda ini sebelumnya, tapi di mana dan kapan? Kudekatkan ke hidungku kertas surat yang sudah kucerabut dari amplopnya tapi masih terlipat rapi, kupejamkan mataku, kucoba mengingat-ingat aroma ini. Camelia? Otakku menyimpulkan merek parfum yang sedang kucium. Apel! Iya, ini wangi parfum Camelia yang bercampur dengan aroma apel segar. Tidak salah lagi. Hal itu membuatku penasaran. Kubuka lipatannya, tekstur tak biasa dari permukaan kertas ini semakin menambah jumlah tanda tanya yang mengambang di benakku.
“Dear Adrian.” Jantungku meronta-ronta begitu mataku menangkap sebaris tulisan tangan cantik yang mengawali surat, menyapaku dengan kata ‘dear’. Tulisan tangan ini, rasanya tidak asing bagiku. It’s so familiar, but whose?
“Aku tahu kamu kesepian di sana.” Napasku mulai berembus tak beraturan. Dadaku kembang-kempis. Tanda tanya yang tadi mengawang kini menyentak-nyentak dinding kesadaranku, memaksa keras ingatanku untuk menebak siapa sesungguhnya pemilik kalimat-kalimat ini.
“I know it’s so hard for you, yes I do. But, I’m so sorry. It’s nothing I can do.” Genggamanku sekarang bergemetar dan telapak tanganku berkeringat sehingga membasahi kedua sudut kertas surat yang kupegang.
“Maafkan aku, Sayang. Aku tunggu kau pulang.”
Kelopak mataku memanas, lalu semuanya jadi tampah membingungkan ketika surat itu ditutup dengan bubuhan sebuah tanda tangan indah tanpa nama, hanya ada tulisan ‘Apel merahmu’ di bawah tanda tangan itu, kemudian gelap, ingatanku gelap. Surat aneh ini betul-betul misterius. Bagaikan hantu yang menggentayangi kehidupanku. Sama misteriusnya dengan keberadaanku di tempat terkutuk ini. Ruangan pengap, lembab, berjamur, yang memasung dan mencampakkanku dari peradaban. Aku tidak tahu mengapa aku bisa berada di neraka ini. Tiga kali sehari, tujuh hari seminggu, aku dipukul dan dihantam tanpa iba oleh ‘algojo’ berbadan raksasa berwajah buruk itu, yang sekarang kudengar gelak tawa jahanam mereka sedang menggema dari ruangan sebelah, meningkahi jeritan putus asa si tahanan yang sedang menjadi sasaran penyiksaan. Para durjana itu sedang berpesta di sana.
Sekarang pukul tujuh malam, berarti sebentar lagi giliranku. Punggungku remuk redam bekas pukulan, kulitku memar, membiru, dan menggelupas menyisakan bekas luka yang menghitam di beberapa tempat.
Benar saja, begitu jeritan dan tawa dari ruangan sebelah lenyap, terdengar suara derap langkah berat sepatu pantofel mendekati ruanganku. Tiga orang sipir bermuka sangar merapat ke jeruji. Pintu di buka, salah satu dari mereka, kurasa komandannya, terkekeh-kekeh mendekatiku. Sebuah pentungan besi berwarna hitam mengkilat dia main-mainkan di tangan. Aku refleks surut. Sekonyong-konyong kedua rekannya menyerbu masuk lantas menyekap kedua lenganku dan medesakku ke dinding. Tubuh kurusku tak berdaya mengelak dan melepaskan diri dari sergapan dua lelaki berbadan raksasa ini. Ditambah kondisiku yang semakin lemah membuat rontaku sia-sia belaka. Aku seperti anak tikus yang terjepit pada sepasang pintu besi.
“Belum mau mengaku juga, hah?” Tahu-tahu, si komandan menggasak ulu hatiku dengan ujung pentungan besi yang tumpul, sekuat tenaga. Muntahku berderai di lantai. Mataku langsung berkunang-kunang. Melihatku muntah, mereka malah semakin terkekeh.
Mata si komandan tiba-tiba tertarik pada kertas surat yang masih kugenggam rapat-rapat dan sempat kuremas menahan sakit ketika dipukul. Di sambarnya surat itu, dia terbahak.
“Oh, ternyata kau punya kekasih juga?” Sebuah hantaman lagi hinggap di tulang rusukku, ngilu menjalar ke sekujur tubuhku.
“Jangan kira aku akan tertipu oleh sandiwara amnesiamu itu!” Dia merobek-robek surat itu di depan wajahku. “Jangan kira aku akan tinggal diam membiarkanmu bebas minggu depan!” Pada pukulan pamungkas, di perutku, aku sampai di puncak batasku, setelah memuntahkan isi perutku yang terakhir, yang kutahu setelah itu hanya gelap. Lalu semua suara lenyap dari muka bumi.
***
Aku terbangun pukul dua dini hari. Aku mendapati diriku terlentang di atas tempat tidur reyot ini. Badanku susah digerakkan. Tulang rusukku serasa patah-patah. Menghirup napas saja terasa ngilu di ulu hati. Mataku lalu menangkap sesosok berseragam berdiri mematung di balik jeruji, menatapku dengan ekspresi datarnya. Si sipir baru itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya dingin.
Tidak apa-apa apanya? Tidak punya mata kau? Aku babak belur begini! Serapahku dalam hati.
Mendapati tidak ada jawaban dariku, dia melangkah pergi sebelum menyusupkan sebuah amplop lagi di lantai ruangan. Dengan susah payah kuraih amplop itu, kukeluarkan kertasnya, aromanya masih sama seperti surat sebelumnya, wangi camelia dan apel.
“I miss you. Sudah tak sabar menantimu keluar.” Itu saja.
***
Mataku silau diserbu berkas cahaya mentari pagi yang menyengat. Hangat, aku seolah keluar dari lubang tikus yang gelap. Hari ini, satu Ramadan, aku bebas. Sipir muda bernama Tomi itu menggiringku keluar dari pekarangan Lembaga Pemasyarakatan. Beberapa kali dia melirikku dengan tersenyum, tidak dengan ekspresi datarnya seperti biasa.
Begitu sampai di luar pagar, seorang perempuan muda mendekati kami. Lantas dia memeluk si Tomi sambil tertawa. Setelah beberapa detik berangkulan, si perempuan berdiri tertegun tepat di hadapanku dengan mata berkaca-kaca. Wanginya tercium menyengat di hidungku, wangi apel dan parfum camelia! Jantungku berdegup kencang.
“Kau benar-benar tak ingat apapun, Sayang?” Lirihnya dengan tangis tertahan.
Aku gelagapan, tak mengerti. Tiba-tiba dia menghambur memelukku, kencang sekali.
“Ini aku, Sayang,” katanya tersedu-sedu di pangkuanku, “Ini aku, Camelia, istrimu….”
Si sipir muda itu tahu-tahu ikut memelukku, memeluk kami. “Aku iparmu, Bang,”
Aku masih membatu. Begitu pelukan kami lepas, tak sengaja kubaca headline berita di koran pagi yang di bawa perempuan itu sedari tadi di tangannya.
“Adrian Chaniago, korban salah tangkap yang diduga teroris, hari ini dibebaskan,”


***
Cerpen ini saya tulis tahun lalu untuk diikutkan lomba, tapi sayang tidak lulus seleksi apalagi juara.hehe
Sekarang saya sedang memikirkan apa yang harus saya perbuat selanjutnya untuk cerpen ini. :D

Komentar