Depok in Hurt

Oleh: Jumaiko Ahmadi
(Juni 2013)
Sudah telat sepuluh menit. Film di teater 4 sudah main, namun aku masih berdiri bimbang sepuluh langkah dari loket pembelian tiket.
Ra, aku ingin menonton film ini dengan kamu. Aku berharap sekali kamu ada di sini sekarang denganku. Cuma kamu, Ra, bukan dia. Sudah tidak ada lagi dia…
***
1 Januari 2012
“Hah? Abang pengen balik ke Depok?” Tanyanya kaget, “Kenapa?”
“Aku pengen nyoba masuk UI, Ra…”
“Lho? Abang ngulang kuliah lagi?”
“Iya….”
“Kok gitu? Terus kuliah Abang yang kemaren gimana?”
“Aku….”
Aku terdiam cukup lama, hening, suara jangkrik ikut menumpangi pembicaraan kami di telepon.
“Kenapa, Bang? Kok malah diam?”
“Um, kamu kapan ada waktu? Insyaallah, Aku lusa sampai di Depok, kita ketemuan aja, ya, tapi jangan di rumah…”
***
Sebenarnya aku mengajakmu ke sini agar bisa bertemu Gita lagi. Aku sangat ingin berjumpa dengan Gita, sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Aku rindu dia, Ra. Meski sudah berlalu 5 tahun lebih sejak waktu itu…
“Gita mana, Ra?”
Kulihat raut tak enak di wajahnya begitu dia sampai dan menarik kursi di depanku. Seorang waiter datang bersamaan menawarkan daftar menu. Kurasa aku telah memulai percakapan dengan suatu kesalahan. Bukankah seharusnya aku berbasa-basi menanyakan dulu kabarnya bagaimana? Karena ini adalah pertemuan pertamaku dengannya setelah lima tahun!
“Aduh… Kak Gita nggak mau datang, Bang…” Jawabnya lirih.
“Oh…” Aku merengut kecewa. Lampu kafe yang temaram kurasa cukup membantu menyembunyikan raut kecewa di wajahku.
“Ini, mau makan apa?” Aku menyerahkan daftar menu padanya.
“Maaf, ya, Bang, Ra nggak tahu kalau dia masih marah…” jawabnya pelan sambil meraih daftar menu itu dari tanganku, ia memerhatikan wajahku takut-takut dan cepat-cepat memelototi deretan menu-menu itu dengan gugup.
“Iya, nggak apa-apa kok, Ra…” Kucoba meredam kekecewaanku, kuusahakan nada suaraku kembali normal, lupakan saja soal Gita. Sekarang aku sedang makan malam bersama gadis ini. Dia menuliskan sesuatu di kertas pesanan, lalu menyerahkannya kepada waiter yang setia menunggui kami membolak-balik daftar menu itu dari tadi. Sepuluh menit berlalu tanpa kata-kata dariku maupun darinya. Alunan musik jazz mengalir lembut menyusupi keheningan yang tidak sengaja kami ciptakan. Aku mengetukkan jemari di meja mengikuti hendakan musik itu.
“Padahal…” Memasuki menit kelimabelas, ia tiba-tiba buka suara, namun kelihatan ragu. Dan harus pula terpotong sementara begitu si waiter datang membawakan pesananku, segelas coklat panas dengan toping krim susu. Dan jus stroberi segar tanpa es dalam gelas kaca ramping dipersembahkan untuk gadis itu. Aku sedikit terperanjat melihat pesanannya itu. Apakah semua perempuan kembar mesti punya selera minuman yang sama? Kuakui, selama ini, aku memang tidak terlalu mengenal dekat gadis ini. Tidak sempat memerhatikan makanan dan minuman kesukaannya. Namun, kusembunyikan keterkejutanku itu agar tidak kentara.  
Kami ternyata sama-sama tidak memesan makanan.
Pada detik selanjutnya, aku menyeruput hati-hati coklat panasku yang masih mengepulkan uap tipis. Aku menunggu kalimat selanjutnya yang akan ia ucapkan dengan menatapnya canggung.
“Padahal udah lima tahun lebih, kan…” Katanya pelan melanjutkan kalimatnya yang tadi sempat tertahan. Dia juga mulai mendekatkan sedotan ke bibirnya dan menghirup jus segar tanpa es itu dengan sopan.
Aku menunduk dalam-dalam. Sesungging senyuman miris kusembunyikan dalam tekukan kepala. Aku merasa pertemuan ini akan canggung sekali, aku buntu mencari topik pembicaraan yang tepat, apalagi suasana hatiku terlanjur tidak nyaman sama sekali.
“Bang?” Serunya seraya mengangkat wajah, jemarinya masih memainkan sedotan dalam gelas jusnya, mengaduk-ngaduk sembarang.
“Iya?“ Aku mengangkat pandangan, kubenarkan dudukku tegap-tegap, kutatap matanya sekilas sambil meraih kembali gelas coklat panasku, lalu menyeruputnya lagi pelan, minuman panas ini terasa menyengat kerongkonganku tajam. Sebisa mungkin, aku sekarang sedang berusaha untuk tidak berlama-lama menatap matanya, mata mereka sangat identik, aku tak kuat.
“Ra boleh nanya sama Abang?”
Aku mengangguk pelan setelah meletakkan kembali gelas tadi di meja.
“Apa Abang masih sayang sama kak Gita?”
Aku hanya tersenyum getir. Selebihnya hening.
“Ummm.. Maaf, ya, Bang kalau Ra lancang…” Suaranya terdengar gugup. Aku masih tersenyum, senyum yang sesungguhnya amat pedih.
“Ngomong-ngomong, apa Abang yakin mau ngulang kuliah lagi?” Tanyanya mengganti topik pembicaraan, “Kalau Abang nggak keterima gimana? Sayang, lho, kuliahnya yang kemaren ditinggalin gitu aja…”
Aku diam beberapa menit mencari-cari jawaban yang pas, lalu tersenyum lagi, senyuman ragu yang kentara, “Aku juga masih bingung sebenarnya, Ra. Ngebayangin kemungkinannya aja bikin aku tambah stress…” Jawabku sambil tertawa kecil.
“Iya juga sih…” katanya lirih,“Ya udah, abang yang semangat aja, ya…” Matanya berbinar. Kuberanikan diri menatap mata indah itu lebih lama, seketika dadaku bergemuruh di dalam sana, sinar mata itu persis sama dengan yang dari dulu selalu menaklukkanku.
“Makasih, ya, Ra,”
“Kalau abang ada apa-apa cerita aja sama Ra,” Dia tersenyum manis. Dan senyuman manis itu, juga sangat mirip.
Ternyata dari dulu aku abai memerhatikan persamaan yang mereka berdua miliki. Aku tersenyum lagi, senyuman tanggung yang penuh dengan ketidakpastian, juga sakit, tepat di sini, di ulu hati.
***
Bagaimana perasaanmu, Ra? Apa yang akan kamu rasakan nanti ketika orang yang mengaku suka padamu adalah orang yang mungkin saja masih punya perasaan pada perempuan itu. Atau jangan-jangan, dia memang masih mencintai perempuan itu hingga sekarang?Bagaimana pula kamu akan menerima kenyataan, bahwa perempuan itu adalah orang yang paling dekat denganmu, saudara kembarmu sendiri? Apa yang akan kamu lakukan, Ra?
Kami sedang duduk-duduk di atas rerumputan pinggir telaga.
“Ra percaya nggak kalau orang baru beberapa kali ketemu bisa langsung jatuh cinta?”
“Cintanya pasti boongan,” Jawabnya sambil tertawa kecil. “Kalo nggak gitu, pasti orangnya tukang gombal.”
“Iya kali, ya?” Aku ikut tertawa. Lagi-lagi aku keliru memulai pembicaraan. Sesenja ini, telaga yang menghampar luas di halaman gedung rektorat UI ini  memantulkan cahaya gemerlap dari lampu-lampu gedung-gedung sekitarnya. Sebentar lagi langit akan gelap menjemput malam.
“Tapi ada juga kok, Ra, orang yang benar-benar bisa jatuh cinta padahal baru beberapa kali ketemuan. Bahkan ada malah yang baru pertama ketemu, langsung jatuh cinta. Love at first sight.” Aku berdiri, berjalan mendekati pinggir telaga. Kukutip sebutir kerikil, lalu kulempar jauh-jauh ke tengah, menimbulkan kecipuk di permukaan air. Aku menoleh sebentar padanya yang terlihat gelisah menerka arah pembicaraanku. Lalu kembali kusapukan pandanganku ke seluruh permukaa telaga. Beberapa ekor burung pemakan udang menukik tajam menyambar mangsanya.
“Tapi cinta nggak akan pernah datang sebelum kita mau melempar masa lalu jauh-jauh kayak aku ngelempar kerikil itu tadi, Ra…” Aku tertunduk mengikuti irama riakan halus permukaan telaga yang tertiup angin. “Kita harus benar-benar meninggalkan semua masa lalu untuk bisa jatuh cinta lagi.” Ujarku lirih. Kemudian aku bingung sendiri kenapa kalimat itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.
“Eh, Bang, ntar kalau Abang keterima di UI, aku jadi senior Abang dong,” celetuknya sambil tertawa, dan aku tahu pasti itu tertawa yang berat.
Kenapa kamu mengalihkan pembicaraan, Ra?
Aku membalikkan badan mendekatinya yang masih duduk di posisi tadi, dia menatapku sebentar, lalu cepat-cepat membuang pandangan. Ia gugup, sikap yang sudah kuhapal di luar kepala setiap kali tatapannya beradu denganku, selama satu bulan ini.
“Aku pamit pulang ya, Bang, udah mau magrib…” Ia buru-buru membetulkan tas lalu berdiri gelisah. Melihatku sekilas kemudian membalikkan badan pergi.
“Ra…” Aku bermaksud menahan tangannya agar tidak pergi, tapi urung, tanganku seakan lumpuh. Aku ingin mengatakannya sekarang, tetapi lidahku dicekat sesuatu di dalam sana.
“Iya, bang?” Ia menoleh ragu, sama sekali tidak melihat wajahku.
“Hmm… nggak apa-apa, Ra, hati-hati, ya…”
Bersamaan dengan menggemanya alunan azan Magrib, dia berlalu meninggalkanku termenung sendirian di tepi telaga ini. Kulihat ujung rambutnya meliuk-liuk di terpa angin dari kejauhan, semakin meluluhkan hatiku. Aku beku. Apa yang sedang terjadi denganku saat ini?
Bagaimana perasaanmu sebenarnya, Ra? Kenapa perempuan itu begitu hebat bersembunyi dari perasaannya?
***
“Ra, nanti sore aku tunggu di tempat biasa, ya.” Aku mengiriminya SMS mengajaknya ketemu seperti biasa, sekarang sudah minggu keenam sejak pertemuan pertama malam itu.
Tiga menit, lima menit, sepuluh menit, tidak ada balasan. Dia tidak membalas SMS-ku.
Kukirimin lagi SMS yang sama dua, tiga, hingga empat kali. Kutunggu beberapa menit, sama, tidak ada balasan. Biasanya dia langsung membalas SMS-ku tak perlu sepuluh menit, semenit saja tidak. Aku coba meneleponnya, tak ada jawaban juga. Beberapa kali lagi, tetap tak ada jawaban. Ini benar-benar tidak seperti biasanya.
Baiklah, aku akan menyusul ke rumahnya.
Tidak! Itu ide gila! Bagaimana kalau ketemu Gita? Mau ditruh di mana mukamu?
Memangnya kenapa kalau aku bertemu Gita?
Setelah hubunganmu gagal dengan Gita, sekarang kamu mendekati Tara? Saudaranya sendiri? Pikirkan itu!
Tapi aku cuma berteman dengannya.
Kamu  jelas-jelas menyukainya! Jangan bohong!
Memangnya salah bila aku suka padanya?
Tidak ada yang salah dengan perasaan suka, yang salah adalah bila Gita tahu kamu dekat dengan saudaranya!
Emang apa masalahnya? Suka-suka aku dong suka dengan siapa saja!
Meskipun itu saudara kembar dari seorang Sagita Laluna? Perempuan yang dulu sangat kamu sayang?
Tidak masalah sama sekali, aku tak peduli apa pandangan Gita nanti kalau dia tahu aku suka dengan Tara!
Setidaknya kamu harus peduli dengan perasaan Tara!
Aku tercekat, kalah berdebat dengan seseorang di dalam diriku sendiri.
***
12 februari 2012
Kamu di mana, Ra? Kenapa tidak ada kabar? Sudah tiga hari aku tidak tahu kabarmu sama sekali. Kamu kenapa, Ra?
Aku sedang suntuk saat ini, suntuk yang berada di level tergila dalam hidupku. Aku merindukannya. Aku merasakan kekosongan yang teramat menyiksa setelah beberapa hari terakhir ini lost contact dengannya. Hilang begitu saja tanpa penjelasan. Apakah dia marah gara-gara aku menyinggung tentang ‘Love at first sight’ tempo hari? Entahlah aku tak tahu. Yang aku tahu sekarang aku sangat merasa kehilangan, aku rindu dia.
Aku keluar dari kamar dengan membawa segudang perasaan suntuk itu sejak pagi, sekarang sudah hampir petang, aku masih tidak menemukan cara untuk mengusir kegundahan ini. Semakin lama kubiarkan, semakin menggila dia dalam kepalaku, menyesak-nyesak, menghentak-hentak, menggelisahkanku, parah.
Entah sudah berapa kilometer aku berjalan, dari kosanku di belakang Margonda Recidence, hingga di hadapanku sekarang berdiri gagah gedung mal ITC. Aku telah menjejak sekian kilometer jalan Margonda raya dengan berjalan kaki dan seperti tidak tahu cara menghentikan langkah. Andaikan mobil, maka remku blong. Aku bahkan tak memedulikan kemejaku lumer dibanjiri keringat. Wajahku pun merah padam barangkali, tapi aku tak ambil peduli.
Ra, aku kangen sama kamu…
Dalam kesuntukan itu aku mendapatkan semacam kenekatan untuk mengambil sebuah keputusan yang paling gila. Aku ingin mendatangi Tara langsung di rumahnya, mengatakan padanya terus terang bahwa aku suka dia, tak peduli bila itu harus kulakukan di hadapan Gita!
Baiklah, aku melangkah memasuki ITC yang ramai, berjalan mencari sesuatu yang kurasa pas untuk kuberikan pada Tara nanti. Pilihanku jatuh pada jam tangan mungil keperakan dengan hiasan kristal di lelingkar talinya. Aku yakin saja Tara bakal suka. Bila momennya tepat, segala sesuatunya akan berjalan lancar, aku seyakin itu. Besok, 13 Februari 2012, Tara akan kubuat terkejut dengan pengakuanku hebatku.
***
“Kamu ngapain lagi ke sini, Ken?” Suaranya masih seperti dulu. Masih sama indahnya.
“Aku mau ketemu Tara, dia ada nggak?”
“Tara? Ngapain kamu nyariin adikku?” Keningnya mengkerut, melihat penampilanku yang kasual dan rapi, terlalu rapi malah, tentu dia mencurigai sesuatu, namun aku tak peduli apa yang dia pikirkan sekarang tentangku setelah lima tahun lebih kami tidak berjumpa, dengan segala tumpang-tindih kisah luka di masa lalu. Aku tak peduli, aku hanya memedulikan Tara sekarang.
“Aku ada perlu sama dia.”
“Umm… ada kok…” Gita tampak tidak senang, “Tunggu aku panggilin dulu.”
“Abang ngapain ke sini?”
Sebelum Gita sempat menjemput Tara, perempuan itu sudah berdiri di ambang pintu ruang tengah rumahnya, melihatku dengan tatapan sendu, wajah kusut nan pias.
“Ra, kamu sakit? Kenapa nggak ngabarin aku? Kenapa menghilang gitu aja gak ada kabar? Kenapa diamin aku?”
Aku mencercanya dengan pertanyaan, melangkah mendekatinya, ingin sekali aku langsung memeluknya, tapi entah kenapa aku tak punya cukup keberanian untuk melakukan itu.
“Abang ngapain ke sini? Abang ngapain ketemu aku lagi?” ujarnya lemas.
“Ra kenapa bilang gitu?” Aku tak mengerti, “Ra kenapa?”
“Kita seharusnya nggak usah ketemuan lagi Bang,”
“Tapi kenapa Ra? Ra marah sama aku? Aku salah apa?”
Dia menggeleng lemah sambil terbatuk-batuk.
“Abang nggak salah apa-apa kok, aku yang salah,” Dia melirik Gita yang berdiri diam di belakangku, aku ikut menoleh pada Gita, dia menatapku berkaca-kaca. Aku semakin tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ataukah aku sebenarnya mengerti, tapi memilih untuk tidak mau mengerti?
“Ra, aku harus bilang ini sekarang…”
“Nggak perlu, Bang, aku udah tahu akhirnya Abang pasti akan melakukan ini, tapi aku mohon jangan. Udah cukup kayak gini aja bang, biarin aja semuanya tetap kayak gini. Bahkan kalau boleh aku memohon sama Abang, sebaiknya kita nggak ketemu lagi.”
Ia tersedu, mencoba mundur mengambil jarak dariku, aku tak tahan, kutarik kedua bahunya ke arahku, hampir kupeluk perempuan itu.
“Aku sayang sama kamu, Ra! Aku suka sama kamu! Aku sayang!”
Tangisan Ra buncah, dengan susah payah dia menaruh telapak tangan di wajah agar tangisan itu tak bersuara. Bahunya bergemetar.
”Aku sayang kamu, Ra… Aku nggak peduli pada apapun…”
“Aku… Juga… Sayang sama Abang…” Suaranya lirih, timbul tenggelam di antara suara tangisnya yang tertahan-tahan, “Aku suka sama Abang diam-diam sejak dulu, sejak Abang bilang suka sama kak Gita… Aku sayang sama Abang…” Aku tak kuat lagi, kupeluk dia erat-erat ke dadaku. Ia terisak-isak di pangkuanku. Dengan ego yang demikian memuncak, aku tak peduli pada Gita yang mematung entah dengan perasaan yang seperti apa, di belakangku.
Aku tak peduli dengan perasaanmu sekarang Gita! Aku tak peduli sama sekali! Sama seperti tak pedulinya kamu dulu saat aku terluka! Saat kamu melukai perasaanku! Menghancurkan hatiku, cintaku! Masa bodoh dengan perasaanmu saat ini!
“Aku juga…” Tiba-tiba sebuah suara lemah ikut menyeruak di dalam ruangan itu, menyela suaraku dan suara tangisan Tara, “Aku juga sayang sama dia, Ra, masih sama kayak dulu.”
Sekonyong-konyong langit-langit ruangan itu seolah runtuh, lalu tumpah-ruah menindih tubuhku.
***
“…penonton yang sudah memiliki karcis, harap segera memasuki teater 4, karena pertunjukan film sudah dimulai,”
Pemberitahuan itu kuabaikan menggema berkali-kali sejak tadi.
Aku terkenang, sebulan sebelumnya, waktu aku lewat di depan bioskop ini, malam itu, di malam pertemuan pertamaku dengan Tara. Dia mengajakku menonton film Malaikat Tanpa Sayap di tanggal ini. Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke 19.
“Emang filmnya bagus. Ra?” tanyaku waktu itu.
“Nggak tahu,” jawabnya polos.
“Lho, terus kenapa pengen nonton?” Tanyaku keheranan.
Dia hanya tersenyum-senyum penuh arti. Aku membalas dengan kernyitan di dahi sambil juga memasang senyum yang tak tentu.
Sekarang sudah telat sepuluh menit. Film di teater 4 itu sudah main, namun aku masih saja berdiri bimbang sepuluh langkah dari loket pembelian tiket.
Baiklah, kukuatkan hatiku, kulangkahkan kakiku mendekati loket, kupesan dua tiket, tidak apa-apa telat sepuluh menit. Aku memasuki teater dengan hati bermendung, dengan kelopak mata melembab, tapi tidak kubiarkan ada tangis.
Adegan demi adegan di layar besar di depanku terus bergulir mengikuti detak waktu.
Aku mengeluarkan sesuatu dari saku celana, benda berharga yang kubeli waktu itu, tak sempat kuberikan padanya. Kukecup lembut benda itu, lalu kutatap kursi kosong di sebelahku dengan perasaan berkecamuk.
Selamat ulang tahun, Ra…

Komentar

  1. bagus ini cerpen... :)penasaran lanjutannya... maniak novel soalnya...

    BalasHapus

Posting Komentar