Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2016

UNTUKMU, HUJAN YANG TERNYATA TAK JATUH DI HATIKU

Di sudut kotamu yang basah, dalam purnama yang menggigil disaput angin lembab dari barat, hari-hariku pernah kugadaikan pada setangkup pengharapan yang kusangka nyata. Aku serupa randu tunggal di padang kemarau yang sekarat menunggumu, dan kau adalah hujan yang kupuja diam-diam.

TAK ADA MAUDY AYUNDA LAGI BESOK PAGI

Siang ini aku jalan kaki jauh sekali di tengah terik matahari yang membuat ubun-ubunku berkedut. Hanya untuk menjemputmu ke Mal. Aku tidak memikirkan akan membawamu pulang naik apa. Yang jelas aku harus menemuimu dulu dan menjelaskan tentang perasaanku. "Kamu seriusan jalan kaki?" Aku mengibas leher kausku yang basah berkeringat sambil senyum megap-megap dengan muka terasa menghitam. "Iya, jalan kaki. Seperti yang kamu lihat." Kamu mematutku seperti alat scanner security, dari atas ke bawah, berkali-kali. "Kurang kerjaan banget, sih." Gerutumu dengan kening berlipat-lipat serta bibir mengkerut--namun tentu saja kamu tetap cantik. "Kan, bisa naik ojek online yang murah."

AMBANG WARAS

Kemarin petang, aku bersua Hartono, karibku semasa kuliah dulu yang kini jadi saudagar kaya raya. Toko ritelnya ada di mana-mana. Selain perutnya yang tidak lagi diam dengan tenang di balik kemejanya, beriak bergelombang tiap ia bergerak dan tertawa, serta kepalanya yang bersaput uban di sana-sini, tak ada yang berubah. Caranya menyapaku, masih selayaknya kawan lama yang seolah tak pernah dipisahkan rentang tiga puluh tahun lebih waktu. "Kau harus menikah," ucap Hartono dengan selayang tatapan prihatin berikut kasihan. "Siapa yang mau bersuamikan lelaki tua pesakitan sepertiku?"