TAK ADA MAUDY AYUNDA LAGI BESOK PAGI

Siang ini aku jalan kaki jauh sekali di tengah terik matahari yang membuat ubun-ubunku berkedut. Hanya untuk menjemputmu ke Mal. Aku tidak memikirkan akan membawamu pulang naik apa. Yang jelas aku harus menemuimu dulu dan menjelaskan tentang perasaanku.

"Kamu seriusan jalan kaki?"

Aku mengibas leher kausku yang basah berkeringat sambil senyum megap-megap dengan muka terasa menghitam. "Iya, jalan kaki. Seperti yang kamu lihat."

Kamu mematutku seperti alat scanner security, dari atas ke bawah, berkali-kali.

"Kurang kerjaan banget, sih." Gerutumu dengan kening berlipat-lipat serta bibir mengkerut--namun tentu saja kamu tetap cantik. "Kan, bisa naik ojek online yang murah."


"Sudah, itu bukan lagi jadi masalah. Yang penting sekarang aku sudah di sini." Aku sumringah, berseri-seri. "Kamu sudah makan?" Semoga sudah, karena aku tak sedang berniat mengajakmu makan di tempat ini, pasti mahal.

Sesuai dugaanku, kamu mengangguk pelan. "Kamu mau ngapain lagi ke sini?" Kamu menarik napas dalam-dalam, kita masih berdiri, di pojok tersembunyi di depan sebuah toko fashion impor yang sepi pengunjung. Kamu berkali-kali menoleh kiri-kanan, barangkali khawatir ada fans yang memergoki kita.

"Aku mau mengajakmu pulang." Aku mematahkan kalimatmu sampai di sana. "Dan menjelaskan satu hal penting."

"Harus disampaikan di rumah? Tidak bisa di sini saja?" Kamu menatapku sehunjam lemparan lembing. Semakin mematikan ketika aku sudah tahu bahwa hatimu sudah kau berikan pada lelaki dalam foto instagrammu itu, yang kamu gandeng kapan waktu. Dan ketika kamu menanyakan opsi semacam itu, aku mengerti itu berarti bahwa dirimu tidak akan bisa kupaksa pulang.

"Maudy," kutebas kegelisahanku kuat-kuat sembari kurangkum segala keberanian yang tersisa. Akan kusampaikan di sini. Ringkas dan cepat. Aku juga tidak ingin berlama-lama didera kerumitan pikiran ini. "Apa kamu mencintainya?"

"Pertanyaan macam apa itu, Mik?" Tanyamu dengan suara bergelombang yang rikuh dan tawa yang sumbang. "Tentu saja aku cinta sama dia. Bukankah jelas?"

"Oke," jawabku berusaha tetap tenang. "Tapi, bukankah kamu selama ini tahu, bahwa aku--"

"--bahwa kamu mencintaiku?" selamu. Aku mulai merasakan gemuruh tak wajar dalam aliran napas dan darahku. Aku mengangguk.

"Iya, bahwa aku cinta sama kamu."

"Lalu apa? Kamu toh tidak pernah melakukan apa-apa tentang itu. Bahkan, mengatakannya langsung pun tidak."

"Tapi, kan, yang penting kamu sudah mengetahuinya dari semua sikapku."

Kamu, dengan suara bergetar melebihi sebelumnya, lagi-lagi tertawa. "Aku perlu sesuatu yang pasti. Bukan teka-teki. Kamu pikir aku jauh-jauh kuliah ke Oxfort cuma buat menebak isi hati lelaki?"

"Lucu," tawaku. Tawa pias dan setengah putus asa. Kuacak rambut panjangku yang mulai lepek dan penuh peluh. Kamu memeluk lengan, tak lagi memandangku. Keheningan mengungkung kita beberapa detik yang rasanya sedemikian lama.

"Aku ingin menikahimu." Aku kini tahu, bisikanku itu tak lagi ada artinya. Bukankah sudah sangat terlambat?

"Katakan itu beberapa bulan lalu, mungkin semuanya bisa berbeda sekarang."

"Iya, andai waktu bisa kuputar ulang."

"Sayangnya, tak bisa."

"Tidak adakah kesempatan lain? Apa yang bisa kulakukan?"

"Tidak ada. Biarkan tetap begini." Kamu menunduk sambil memain-mainkan ujung sepatumu di permukaan lantai. Melihatmu bersandar di situ, di tiang itu, yang kini kubayangkan seolah kamu sedang bersandar pada lelaki yang akhirnya kamu pilih jadi pacar itu, ingin rasanya kubeli semua luka di muka bumi lalu kuhunjamkan sekalian keseluruhanmya tepat ke ulu hatiku, agar hancur lebur sekalian, dan aku tak perlu khawatir akan apapun lagi.

"Sudahlah, Mik. Kita sudah selesai." Kamu berpaling ke hampar rumput taman Mal di sebelah sana. "Bahkan, kita belum pernah memulai apa-apa, kan."

"Iya, sudah selesai." Jantungku rasanya membeku dan selesai pula detaknya.

"Boleh aku pergi?" kamu mencari sesuatu pada mataku, yang entah masih utuh atau sudah meleleh ke lantai juga bersama segenap harapan yang sempat kudekap saat-saat terakhir tadi.

"Iya, kamu boleh pergi. Terima kasih, Maudy Ayunda. Terima kasih atas waktumu."

Kamu tersenyum--kaku. Tapi aku bahagia melihatnya untuk terakhir kali. Entah itu kebahagiaan sejenis apa. Karena sejenak setelah senyum gigi kelincimu memudar dan kamu bersiap balik badan, aku kembali terhempas ke dasar jurang berbatu runcing dan siap meremukkan.

"Dua hal penting." Kamu berhenti mendadak, menatapku lebih tajam.

"Apa?"

"Pertama, tolong, berhentilah bikin status di facebook seperti kemarin."

"Yang mana?"

"'Pengen nikah sama Maudy Ayunda.'"

"Oh..."

"Kedua," kamu mengehela napas lebih berat. "Aku nggak paham kenapa bisa-bisanya kamu ingin menikah denganku tapi skripsimu saja belum kunjung kamu selesaikan."

"Eh...."

"Selesaikan skripsimu segera."

"Oke...."

Kamu lalu menghilang perlahan-lahan. Rambutmu yang dibiarkan tak terikat berkibar-kibar indah di punggungmu. Seketika aku merasa ingin diceburkan ke Samudera Hindia dan menghilang.

---------
Malang, 9 Desember 2016
Ketiduran dari habis magrib, lalu mimpi yang tidak-tidak.

Komentar