UNTUKMU, HUJAN YANG TERNYATA TAK JATUH DI HATIKU

Di sudut kotamu yang basah, dalam purnama yang menggigil disaput angin lembab dari barat, hari-hariku pernah kugadaikan pada setangkup pengharapan yang kusangka nyata. Aku serupa randu tunggal di padang kemarau yang sekarat menunggumu, dan kau adalah hujan yang kupuja diam-diam.

Detik, menit, dan jam yang berdetak bagai sangkakala di telingaku, sedikitpun tak mengusik degilnya tekadku menunggu simbahanmu saban petang hingga malam karam. Kutunggu, kunanti, dan kudamba arakan mendungmu padahal baru saja matahari menyembul di tingkap dahan-dahanku yang lapuk dimakan nelangsa-nelangsa silam.

Hingga kala akhirnya rintikmu jatuh, aku tiba-tiba menjelma Arjuna yang merasa gagah disepuh harapan yang menabal dengan angkuh. Kujamah tatapanmu yang seteduh tudung langit di senja berpelangi, kurangkul masuk ke dalam mimpi-mimpi terjauh hingga dalam tidur pun bibirku masih tersenyum.

Namun, di ujung mimpi itu, mendadak malaikat kematian mengejekku. Kupandang batang randuku yang ternyata masihlah meranggas menanti mati. Harapan-harapan itu menjulur laksana ular yang telah memperdaya Adam memakan khuldi. Nun, di depan mataku, kau, hujan yang kutunggu-tunggu, nyatanya merintik di hati yang lain, bukan di hatiku.

(Malang, 16 Desember 2016)

Komentar