Oke, pertama, agar tidak ada kesalahpahaman di
antara kita. Sebelum terlanjur kita jauh melangkah, aku harus
terang-terangan memberi peringatan penting bahwa, ini bukanlah kisah
yang keren dan spektakuler macam orang-orang terkenal. Dan iya, tentu
saja, aku sadar seratus persen dikali lima puluh lima, bahwa aku, bahkan
kalah terkenal dibanding bapak penjual nasi goreng di ujung gang
kos-kosanku. Aku bukan siapa siapa. Dengan demikian, tulisan ini pun
bukan apa apa. Tidak ada penting-pentingnya.
Anggaplah ini hanya tulisan iseng belaka dari seorang bocah laki-laki kemarin sore yang baru (belajar) dewasa, berkepala-dua-koma-tiga yang tidak ingin perjalanan hidupnya sia-sia dan terkubur bersama hilangnya ingatan manusia. Serta dengan pertimbangan yang maha tidak penting, aku takut ketika nanti Terminator a.k.a Skynet benar-benar menjajah umat manusia dan menghancurkan bumi, aku tidak sempat lagi menuliskan kisah ini, yaaaa.... siapa tahu, kan.
Tulisan ini mungkin bisalah dikategorisasikan menjadi semacam diary, catatan
harian, atau apapun itu, yang tidak ada sangkut pautnya dengan
kemerdekaan republik ini. Jadi, andaikata jempol tuan-tuan dan puan-puan
nggak sengaja kepeleset hingga terbukalah link tulisan ini, segeralah
tutup browser Anda, karena kisah yang aku tulis ini, sedikitpun tidak
akan menambah kesejahteraan hidup Anda dan keluarga. Alih-alih
menguatkan nilai tukar rupiah di hadapan dolar Amerika. Teruntuk hal
itu, aku menghaturkan sebesar-besarnya permintaa maaf karena telah
menyia-nyiakan dua-tiga-empat menit waktu Anda untuk tulisan yang tak
tahu diuntung ini.
Baiklah, intinya, aku
hanya ingin bercerita. Tentang perjalanan hidupku. Apa adanya, agar
kelak anak cucuku di masa depan tahu bahwa dulu, kakek mereka, pernah
hidup sebagai orang biasa. Seperti itu.
Kita mulai saja, ya, iki wes mambengi, selak isuk....
***
Akhir November 2011
Aku
memasuki gedung kantor dosen siang itu dengan raut tak menyenangkan.
Menaiki tangga dengan nafas tak teratur, pergelangan kakiku seakan
digandoli rantai besi belasan kilogram yang membuat langkahku semakin
berat. Butuh dedikasi tinggi untuk bisa sampai di lantai dua dengan
selamat--nggak, nggak, ini lebay. FYI, kantor dosen berada di lantai dua, dan di lantai satunya adalah perpustakaan.
Aku
menenangkan diri sejenak, mengatur nafas, mengelap dahi yang
berkeringat. Wajar, tangganya nggak ergonomis sih. Bikin capek. Ibu
hamil yang lagi pecah ketuban sangat tidak disarankan menaiki tangga
ini.
Dengan langkah yang malu-malu tapi
mau, hampir semacam mengendap-endap, aku sampai di depan pintu masuk
ruangan dosen. Kuketuk daun pintu dari bilah triplek bercat putih bersih
itu yang bau catnya masih menyengat, aku dipersilakan masuk oleh
seorang dosen yang paling kukagumi. Sebut saja namanya ... Pak Abdel,
dan memang beliaulah ingin kutemui siang ini.
Pak
Abdel ini adalah salah satu dosen favorit yang sangat dekat dengan
mahasiswa. Paling getor ngasih motivasi di kelas. Paling susah
nyuri-nyuri tidur saat perkuliahan berlangsung oleh sebab beliau
termasuk tipe dosen yang rajin ‘patroli’ di seluruh penjuru kelas.
Berkat itu, beliaulah yang paling berhasil memahamkanku hukum mubtada’ dan khabar. Sebab, tak dipungkiri, beliau adalah dosen penyabar yang telaten sekali ngajarin nahwu dan sharaf melalui kitab Durusul Lughah
yang fenomenal itu, kepada kami yang sebagian besar otaknya masih
bego-bego udang bila menyangkut bahasa arab. Satu hal yang membuatku
susah melupakan beliau adalah, logat medhok-nya yang kentara banget kalau lagi ngomong berbahasa arab. Rasanya kayak ngebayangin Maher Zain ngomong pake bahasa Jawa (Iya sih, analogi yang sama sekali nggak nyambung).
Pak
Abdel terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di komputernya. Aku ingin
mengurungkan niat untuk masuk dan berencana kembali lagi bila urusan
beliau telah selesai.
“Udkhul, la ba’ts,” katanya ramah, seperti biasanya, sambil tersenyum. Masuk saja, tidak apa-apa. Aku ragu-ragu, akhirnya masuk juga. “Tafadhdhal, ijlis huna.” Silakan, duduk di sini, katanya
lagi menawarkan kursi empuk kosong di sebelah mejanya. Aku lantas
duduk, menghadap ke arah beliau, membelakangi jendela kaca yang di luar
sana terpampang pemandangan sawah hijau.
Selama beberapa helaan nafas, tak terjadi percakapan apa-apa dariku selain basa-basi “Syukran, ya Ustadz”
tatkala menerima tawarannya untuk duduk di kursi tadi. Aku hanya
terlibat dalam berbagai perbuatan orang gugup seperti mengusap kepala,
menyisir rambutku yang jatuh ke dahi dengan anak jari, menggesekkan
kedua telapak tanganku seperti orang gua ingin menyalakan api, bahkan
cara dudukku yang menunduk-nunduk itu sudah seperti anak perawan di
bawah umur ketahuan pacaran dengan duda kepala lima.
“Ma bika ya Akhy?” What happen? Onok opo? Apa yang ingin engkau sampaikan? Kira-kira
demikian makna tatapannya kepadaku tatkala menyadari bahwa aku masih
diam mengeruncup kayak anak ayam kedinginan itu. Beliau tersenyum.
“Ada masalah?” Ujarnya kemudian, menghentikan pekerjaannya sebentar, menunggu jawabanku.
“Ehmm... I’m sorry, Sir. I just want to ... tell you ... that I...” Nggak, nggak, aku nggak pakai bahasa inggris kok ngomongnya ke beliau. Pakai bahasa Indonesia kok. Seriusan.
“Saya ingin mengundurkan diri, Pak.”
Jgeeer! Aku sendiri tidak menyangka bisa se-to-the-point
itu ngomongnya. Nggak pakai ba-bi-bu. Dan aku tahu pasti, beliau
terkejut dan tidak menyangka akan mendengar kalimat keren itu dariku.
Aku sangat percaya diri dengan kalimat dugaanku yang barusan ini.
“Ente serius?”
“Iya, Pak. Saya serius, saya ingin mengundurkan diri dari sini.”
“Kenapa harus Ente? Ada apa? Kok tiba-tiba? Tidak ada angin tidak ada hujan?” Kalau nggak salah, waktu itu memang belum turun hujan sih, walaupun udah November.
Kenapa harus aku? Selama beberapa detik, aku mencoba mencerna kalimat itu dengan baik. Apa maksudnya?
“Memang,
semua orang tahu, mahasiswa Padang akhir-akhir ini bisa dibilang
mengecewakan, banyak yang keluar dari sini. Tapi saya tidak menyangka
sedikitpun bahwa Ente juga termasuk di antara mereka yang akan keluar.”
Oh, jadi itu maksudnya....
“Sebenarnya
... tidak tiba-tiba, Pak. Saya sudah mempertimbangkan ini sejak kurang
lebih tiga bulan terakhir. Dan saya kira, sekarang adalah saat yang
tepat untuk mengajukan pengunduran diri.”
“Beritahu saya alasannya. Kenapa?”
Well, mulailah
aku berdongeng, menceritakan alasan yang sudah kurancang jauh-jauh
hari. Alasan yang sama yang selalu aku beberkan kepada siapapun yang
menanyakan alasanku untuk keluar.
“Jadi begitu, Pak.”
Beliau kulihat manggut-manggut bijaksana. Walaupun sorot ketidakpercayaan masih kulihat memancar dari kedua bola matanya.
“Saya
berat melepas Ente sebenarnya. Tapi kalau menurut Ente itu pilihan yang
terbaik, saya harap benar-benar akan menjadi yang terbaik untuk
kehidupan Ente ke depannya.”
Aku
mengaminkan dalam hati. Agak berembun juga sih ini mata. Beliau akan
selalu menjadi dosen favoritku, kupatrikan itu dalam hati, diam-diam,
seiring dengan terlepasnya jabatan tangan kami siang itu. Aku keluar
dari ruangan setelah menyerahkan surat pengunduran diriku ke bagian
administrasi.
Tiga hari kemudian, kuterima
surat balasannya, bahwa aku diizinkan mengundurkan diri dengan alasan
‘ingin melanjutkan studi ke universitas lain’. Selanjutnya, tinggal
menghitung hari keberangkatanku meninggalkan satu setengah tahun lebih
kehidupanku di kampus ‘hijau’ itu. Terhitung dari sana, segalanya mulai
terasa mengharukan ... dan sekaligus, menggamangkan.
***
Aku
sudah tidak pernah lagi masuk kelas sejak seminggu sebelum surat
pengunduran diri itu kuajukan. Saban hari selama tidak masuk kelas itu,
aku berdiam diri di asrama. Memikirkan banyak hal, satu di antara banyak
pertanyaan yang melayang-layang dalam kepalaku adalah: sudah benarkah
keputusanku ini? Dan tak kutemukan jawaban yang tepat untuk menenangkan
diri.
Bila suntuk, aku keluar dari
komplek kampus, berjalan kaki menelusuri jalanan MH. Thamrin yang
sesekali dilewati bus yang melaju dari dan ke arah Banyuwangi. Aku terus
berjalan dan berjalan hingga sore semakin menjingga. Membawa semua
pemikiran di kepalaku itu. Sendirian.
Sesampai
di terminal angkot Gladak Pakem, aku menaiki mikrolet ke arah
Alun-Alun, salah satu tempat yang paling kusukai di kota ini. Laju
mikrolet yang hanya 2o kilometer perjam itu semakin membuatku terhanyut
dalam khayalan-khayalan masa depan yang semakin kupikirkan semakin tak
keruan gambarannya. Aku mungkin bisa membayangkan sisi optimis dari
rencana besarku ini. Masuk universitas negeri tahun depan. Mengulang
semua proses itu dari awal. Namun, selalu ada hembusan-hembusan
pesimisme di setiap kedipan mataku. Apa yang akan terjadi bila aku
gagal? Ini namanya Ayam den lapeh, saikua tabang saikua lapeh, satu kepastian telah kulepas, tanpa ada kepastian satunya lagi di masa depan, apakah akan mampu kugapai entah tidak. Mumet juga lama-lama mikirinnya.
Dengan kecepatan alon-alon asal kelakonnya, Mikrolet ‘siput’ itu berhasil juga ngesot
di Jalan Nasional III, ketika aku bilang ‘kiri’ di depan Rumah Makan
Padang Taman Salero, beberapa langkah dari Syafia Plaza. Aku juga tidak
mengerti kenapa aku hampir selalu berhenti di titik ini. Bukan karena di
sana ada rumah makan Padang dan aku adalah orang Padang, karena dua
variabel itu tidak ada korelasinya sedikitpun. Sudah, nggak usah dipikirin.
Dari
tempatku berhenti, aku berjalan santai menuju Alun-Alun. Ramai sekali
di sana. Namun, jauh di dalam diriku, ada sepi yang tak terperikan. Aku
merindukan sesuatu yang entah apa. Pulang? Tidak, aku tidak berpikir
untuk menyudahi perantauan ini lantas memesan tiket pulang ke Padang.
Ide itu sedikit pun tidak menjadi opsi dalam kebingunganku saat ini.
Satu yang sangat menggangguku. Tentang keputusanku. Tentang pengunduran
diriku. Tentang pelepasan diri dari zona nyaman dan amanku selama ini.
Tentang mengambil risiko besar dalam hidup. Tentang pelarian? Ups, sebentar, tadi katanya satu, ini udah lebih!
Azan
magrib bertalu, aku menuju Masjid Jami’ Al Baitul Amien yang megah itu.
Kurekam setiap sudut bangunan itu sebelum memasuki pagarnya. Pepohonan
palem di halamannya. Kubah hijaunya. Menaranya yang menjulang. Aku
sering berada di sini, dan aku yakin, aku pasti akan sangat merindukan
masjid ini nanti. Hhhhh.... kenapa sekarang terasa semakin berat untuk
meninggalkan?
***
Sehari
sebelum berangkat, aku sudah memesan tiket kereta ke stasiun Gubeng
Surabaya. Dari Surabaya, aku berencana transit di rumah Uda sepupuku di
Gresik barang dua-tiga hari. Setelah itu, barulah perjalanan panjang itu
akan kumulai. Menuju Jakarta.
Malam
sebelum berangkat, setelah berpamitan ke rumah beberapa dosen, kukemasi
barang-barangku. Isi lemari yang bisa kuwariskan, kuwariskan ke beberapa
teman. Kamus Bahasa Arab Almunawwir yang tebalnya bisa membuat pingsan
maling itu, kuberikan kepada, sebut saya namanya Babon. Kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatul Ahkam
yang sempat membuatku kena sakit migrain berhari-hari karena tak
kunjung paham isi mukadimahnya, kuhibahkan juga pada teman yang lain,
berikut buku-buku ‘berat’ sejenis. Baju koko, sarung nasional, peci
arab, gantungan kunci, bolpoin, hanger pakaian, pasta gigi yang masih
sisa separuh, sabun cuci sachet seribuan,
hingga gelas dan piring pribadi, juga kubagi-bagikan ke semua orang.
Satu saja yang tidak kubagikan pada semua orang, hanya pada orang-orang
terdekatku, yaitu alasan sebenarnya pengunduran diriku. Kupikir, biarlah
itu menjadi rahasiaku. Kuhitung-hitung, hanya empat orang teman dekat
yang kuberi tahu tentang itu. Termasuk si Babon. Aku kasih tahu, si
Babon ini, meskipun otak dan perilakunya nyantri abis, penampilannya
justru terobsesi berat dengan gaya ala-ala K-Pop. Aku ngefans sama gaya
pakaiannya dia, dan juga gaya rambutnya. Dari si Babon ini aku mendapat
ilmu tentang kewajiban me-macthing-kan pakaian dan tata cara tampil stylist. Dia juga tak lupa menghadiahiku sebuah hem mahal.
“Ambillah, biar kau terlihat sedikir ganteng.”
Terima kasih, Babon.
Malam
itu, setelah beres memasukkan bawaanku seperlunya ke dalam koper yang
baru kubeli sorenya, telah pula menyeterika pakaian yang akan kukenakan
besok, aku tertidur dengan perasaan was-was.
Hari
itu datang juga. Hari yang sejak tiga bulan silam masih terasa mustahil
akan terjadi. Ternyata sekarang, benar-benar akan terjadi. Aku
menghitung mundur kurang dari empat jam menuju subuh, hingga aku
terlelap.
***
Tibalah
aku di pagi itu. Setelah semua penghuni asrama masuk kelas. Aku, Babon,
dan dua temanku lainnya itu, bersiap berangkat menuju stasiun. Tak
banyak bawaanku. Hanya satu koper besar berisi pakaian dan beberapa
buku, dan tas ransel hitam kesayanganku yang berisi perlengkapan
praktis, termasuk snack untuk dicemil dan botol air mineral.
Tepat
ketika roda sepeda motor yang dikendarai Babon menggelinding keluar
dari pagar tembok bercat hijau itu, meninggalkan areal kampus dan
asrama, sah sudah aku bercerai dengan satu titik ternyaman dalam
kehidupanku. Aku menelan ludahku yang mendadak terasa pahit.
Kerongkonganku yang serasa sempit dicekik sesuatu. Semakin aku menoleh
ke belakang, semakin jauh gedung-gedung itu tertinggal di belakang,
semakin keras satu pertanyaan itu menggema di kepalaku.
Segera
pula aku sadar detik itu, bahwa aku telah mengambil satu risiko
terbesar. Aku sedang melemparkan dadu di hampar meja judi kehidupan yang
kusebut perandaian. Segala yang akan kuhadapi keesokan harinya, tak
lebih dari sekadar perandai-andaian yang tak dapat kukalkulasikan
persentasi peluang keberhasilannya. Namun, genderang perang telah
ditabuh seseorang, dan tak ada lagi jalan untuk mundur dari peperangan
yang kuciptakan sendiri. Perang melawan pesimisme dalam benakku.
Hari
itu, di satu hari di awal Desember 2011, aku membuka lembar baru.
Lembar kehidupan yang dalam kepalaku, terpampang abu-abu, cenderung
gelap. Di dalamnya aku buta, meraba-raba.
Satu pertanyaan itu masih tetap terngiang sama: Sudah benarkah keputusanku ini?
bersambung....
Komentar
Posting Komentar