Melapuk 2

 Aku sedang bersiap-siap, mengemas barang-barang. Pagi ini, kami—aku dan istriku—akan meninggalkan kampung. Pekerjaanku telah menunggu di kota. Dalam seminggu ini saja sudah tiga kali bosku yang cerewet itu menelepon menyuruhku segera kembali. Padahal sebagai orang yang paling susah meliburkan diri dari pekerjaan, aku tentu punya hak untuk menuntut cuti lebih panjang. Anggaplah ini semacam ‘pembalasan dendam’ atas jatah-jatah liburan yang selama ini kubiarkan menumpuk.

“Masalahnya, kami tidak punya orang yang bisa menggantikan posisi pentingmu itu, Bung!”
Aku tergelak mendengar omelan bosku tempo hari itu.
“Bulan madunya dilanjutkan di sini saja! Memanglah susah sekali berurusan dengan pengantin baru ini!”
Giliran suara di seberang sana yang tertawa. Aku salah tingkah. Segera saja kututup telepon itu setelah melemparkan umpatan ‘halus’, yang hanya dibalas tertawaan oleh pria paruh baya itu.
“Uda…”1)
Aku menoleh. Seorang perempuan cantik berdiri anggun di bawah bingkai pintu. Jilbab cokelat tua sejengkal di bawah perut yang ia kenakan berpadan serasi dengan gamis turki dengan warna seirama.
“Yuk, uda, kita sarapan. Ibu sudah menunggu,”
Aku mengangguk sambil melebarkan senyum. Kutinggalkan pekerjaanku yang sudah tuntas. Kurapikan barang-barang bawaan itu di samping tempat tidur. Aku mendekati perempuan cantik itu yang sejak tiga hari lalu telah menjadi orang yang paling dekat dengan detak jantungku selain ibu. Perempuan yang kusebut istri.
“Kamu masak apa?” Kusambut jemari lembutnya yang hendak mengapit lenganku. Kami melangkah bersamaan menuju ruang makan.
“Ibu sih yang masak…” kulihat pipinya bersemu merah. “Maaf, uda…”
Aku tersenyum dan membesarkan hatinya. Ini rahasia keluarga baru kami, tolong jangan kau kasih tahu siapa-siapa. Istriku memang tidak pandai memasak. Bukan tidak pandai sepenuhnya, cuman setiap kali memasak, pasti ada saja yang tidak beres. Hanguslah, terlalu olasinlah, atau malah hampir membakar seisi rumah—sesuai pengakuannya padaku.
Tapi tidak masalah. Ia sudah berjanji padaku akan belajar sampai mahir. Ah, meski aku belum yakin apakah aku sudah ‘jatuh cinta’ pada perempuan ini, aku mulai menyukai beberapa sifatnya.
“Nah, karena pengantin baru ibu akan segera pergi jauh, ibu telah menyiapkan menu sarapan istimewa buat kalian,” Bagai juru masak hotel berbintang, ibu menghamparkan hidangan-hidangan ‘istimewa’ itu di atas meja makan bundar berukuran 3 x 1,5 meter. Meja itu adalah hasil sentuhan tangan ajaib mendiang ayahku.
“Ini benar-benar istimewa, bu!” Aku tak bisa menyimpan kekaguman. Masakan ibu memanglah selalu istimewa bagiku.
Kau lihatlah sendiri, rendang kerang dicampur irisan sayur paku yang dimasak tidak terlalu kering hingga warnanya agak kehitam-hitaman itu, menggoda-goda dalam semangkuk kaca ukuran sedang. Ada juga sepiring jumbo goreng belut balado yang mengingatkanku pada indahnya ritual makan bersama kami sewaktu ayah masih hidup. Goreng belut balado adalah masakan ibu yang paling digemari ayah. Sayur daun ubi jalar dengan kuah santan pekat seputih susu diletakkan sedemikian rupa menyejajari kedua manu tadi, berdampingan dengan tumis kangkung pedas, mengelilingi wadah rotan berisi nasi putih yang masih mengepul. Hidangan pelengkap berupa goreng-gorengan ringan semakin menambah ribut makhluk-makhluk dalam rongga perutku.   
Kami duduk mengitari hidangan. Meja makan ini terasa terlalu besar untuk kami bertiga. Aku tertegun beberapa saat sambil memandangi ibu lekat, tepat di matanya yang sudah semakin sayu. Sesungguhnya, aku tak sampai hati meninggalkan ibu. Tapi pekerjaanku di kota sana tidak bisa ditinggalkan.
“Kalian tidak perlu terlalu mengkhawatirkan ibu. Tenang saja, nak. Kalau ada apa-apa, kita masih punya tetangga yang baik-baik yang bakal membantu ibu,”
Tapi hati kecilku masih tidak setuju membiarkan ibu tinggal di rumah ini sendiri.
 “Sudah, sudah, mari makan dulu. Dan kau, Siti, kalau kalian pulang lagi nanti, ibu akan mengajarimu memasak semua hidangan ini. Kau berhak menjadi pewaris resep-resep ibu,”
Siti girang sekali mendengar hal itu. Kami lalu saling beradu pandang, saling melepas senyum. Lalu suasana sarapan—makan pagi kami terasa sangat menyenangkan. Aku akan merindukan masakan luar biasa ibu ini nanti. Itu pasti.
***
Slmt mnmpuh hdp baru, Za. Smg km bhgia…”
Keningku berkerut berlipat-lipat menantangi layar ponselku, membaca pesan singkat yang baru saja singgah beberapa detik yang lalu. Tanpa nama, nomor si pengirim pesan adalah asing bagiku. Aku tidak punya ide menerka siapa pengirimnya.
“mf,ni siapa?” kukirim SMS balasan. Kutunggu-tunggu, tak dibalas. Kuabaikan saja pesan itu. Mungkin hanya seseorang yang suka iseng, memberi ucapan selamat tanpa merasa perlu memberi tahu identitas diri. Tapi, terima kasih atas ucapan selamatnya.
“Ada apa, Uda? Kok wajahnya kusut begitu?” tegur istriku.
“Ini, ada SMS dari nomor asing,” aku menyerahkan ponselku padanya, biar dia sendiri yang membacanya.
“Mungkin dari teman lama uda,” istriku tersenyum menyerahkan hp itu kembali padaku. “Sudah uda tanya, kan, dia siapa?”
Aku mengangguk. Istriku tersenyum lagi. Kau tahu? Aku bahkan baru menyadari sekarang, bahwa istriku ini sangat mudah tersenyum. Dan senyumannya itu cantik sekali. Tolong jangan beritahu siapa-siapa soal senyuman istriku ini.
Kami keluar dari rumah. Ibu dan beberapa tetangga sedang berbincang-bincang di dekat pagar halaman depan, hendak melepas keberangkatan kami. Taksi yang kutelepon sejak lima belas menit lalu telah terparkir di pinggir jalan. Sopirnya buru-buru menghampiriku, membantu mengangkat barang-barang yang jumlahnya tak sanggup dipikul berdua. Bayangkan saja, ibu menyuruhku membawa kelapa segala, karena di kota harga kelapa mahal sekali. Kau maklum sajalah, orang Padang memang suka betul makan makanan berkuah santan.
Istriku menjinjing koper pakaian yang tidak terlalu berat, ia berjalan duluan ke luar. Sebuah koper lagi aku yang memikul, kuikuti langkahnya pelan di belakang.
Tiba-tiba hp-ku berdering lagi. Aku berhenti, memeriksa SMS masuk.
“ini aku,Za.nisa.smg km bs jd suami yg baik untk siti.smg kalian bhgia brsm.tdk sprtiku…”
Jantungku serasa ingin melompat dari tempatnya membaca SMS itu.
“Uda, ayo. Kenapa malah bengong?”
“Eh, iya, iya,” aku gugup.
Segera kuhapus pesan itu, juga pesan sebelumnya. Siti tidak boleh tahu apa-apa tentang ini. Dan yang jauh lebih penting, aku tidak boleh membuka kesempatan sedikit pun pada perempuan itu, bahkan hanya untuk menanggapi SMS-nya itu pun tak akan kusisihkan waktu. Kisah ini telah benar-benar berbeda alurnya sekarang. Dia adalah masa lalu yang harus kukubur dalam-dalam. Demi ibu, demi siti, juga demi ketenangan batinku.
“Semoga kalian bahagia. Tidak sepertiku…”
Potongan pesan singkat itu terbayang-bayang di mataku. Apa maksudnya? Apa dia tidak bahagia dengan pernikahannya? Masa bodoh! Itu sama sekali bukan urusanku!
“Ibu, kami berangkat, ya,” Siti memeluk ibu, mencium tangan wanita tua itu. Ibu balik mencium kening istriku. Setetes embun bening menetes dari sudut matanya.
“Jadilah istri yang baik, nak. Istri yang salehah,” pesan ibu lirih.
“Iya, bu, insyaallah…” ia memeluk ibu sekali lagi, “Doakan Siti, bu. Semoga Siti bisa…”
Pada giliranku, kupeluk tubuh renta ibu lebih erat. Kini wanita itu tersedu-sedu di dadaku.
“Kau juga, anakku. Berjanjilah pada ibumu ini untuk tidak akan pernah menyakiti istrimu dalam bentuk apa pun… Jadilah suami yang baik, nak…”
“Iya, bu… Gaza janji. Tidak hanya pada ibu, tapi juga pada Allah…”
Aku mengerti apa yang dimaksud ibu. Tidak menyakiti Siti dalam bentuk apa pun. Yang paling krusial adalah menyakiti perasaannya. Secara tersirat, pesan ibu ini masih ada sangkut-pautnya dengan perempuan dari masa lalu itu. Dan aku berjanji, cerita lama itu akan kumusnahkan tak peduli apa pun yang akan terjadi. Ya, aku tidak akan pernah peduli lagi apa pun yang akan terjadi padanya setelah ini. Siti, istriku, adalah kehidupanku yang baru.
“Ibu tahu kalian tidak akan bisa pulang sebulan sekali. Paling tidak, usahakanlah setiap hari baik kalian bisa berada di dekat ibu,”
Yang beliau maksud hari baik adalah hari raya idul fitri dan idul adha. Aku menegakkan kepala ke langit, menahan air mata biar tidak menetes.
Taksi kemudian membawa kami menjauh dari kampung kelahiranku itu. Semakin jauh, semakin perasaanku bercampur aduk.
***
“Welcome back, Mr. Newlywed! Ayo, saudara-saudara, kita sambut rekan kita yang baru saja pulang dari berbulan madu!”
Astaga! Apa-apaan ini? Wajahku kebas menahan malu. Sialan bosku itu. Dia sengaja mengumpulkan semua karyawan di ruang kerjaku. Pantas saja sejak dari resepsionis tadi aku sudah merasakan gelagat-gelagat aneh, semua ruang kerja karyawan sepi. Rupanya mereka telah berkumpul di sini untuk sebuah surprise yang ‘tidak lucu’ sama-sekali.
Aku tidak sempat lagi buka suara berbasa-basi. Semua orang berebutan menyalamiku satu-satu. Aku menjabat tangan mereka dengan kikuk. Ucapan selamat bergemuruh memenuhi ruangan. Aku berterima kasih atas sambutan yang di luar dugaan ini.
Setelah semua orang pergi, aku diminta bosku ke ruangannya yang bersebelahan dengan ruang kerjaku untuk berbincang secara pribadi.
“Akhirnya, kau melepas masa lajangmu juga,”
 Meski pun orang ini sering banyak berbuat kekonyolan dan keisengan, terutama ide-ide briliannya yang terkadang terkesan sinting—salah satunya seperti yang baru saja terjadi, mengumpulkan semua karyawan di ruangan kerjaku—, namun dalam situasi formal, dia adalah orang yang luar biasa di mataku. Dia sosok pemimpin yang mengerti sekali dengan urusan kami. Bagiku, dia bahkan seperti pengganti figur seorang ayah—usianya memang mendukung sekali untuk itu.
“Ya, Alhamdulillah, Pak,” Aku tahu diri mengubah cara bicaraku. Bila sudah begini, aku tahu, akan ada pembicaraan yang cukup serius.
“Sudah bisa berdamai dengan masa lalu?”
Aku terdiam beberapa saat.
Tak perlu kau heran. Orang ini tahu banyak cerita hidupku. Tak perlu juga kau risau, orang ini sangat bisa dipercaya untuk urusan-urusan seperti ini. Semacam “Secret Keeper”lah kami menyebutnya.
Untuk pertanyaan itu, aku lalu mengangguk. Meski sekilas tertangkap basah, anggukan itu masih disusupi keraguan.
“Kau belum pernah bisa berdamai dengan masa lalu, aku tahu itu. Sejauh ini aku mengenalmu, kau bukanlah tipe orang seperti itu,”
“Apa bedanya berdamai dengan mengubur?” sanggahku dengan nada yang tetap terkendali, “Yang penting aku tidak tertarik lagi untuk mengenang semua itu,”
Ia bangkit, tertawa miris. Mendekati jendela, membuka tirainya. Dari lantai 12 ini, puncak monas tampak anggun puluhan meter di seberang sana.
“Kau sama-sekali belum berdamai, Za. Jangan bohongi hatimu,” Dia mengambil gelas kopinya yang baru saja diantarkan masuk oleh OB. Lalu menghirupnya penuh perasaan. “Kau tidak mengundang Nisa dan suaminya ke pesta pernikahanmu, bukan? Itu buktinya kau tidak berdamai, tapi memusuhi. Kau memusuhi masa lalumu sendiri. Untuk kau tahu, Za. Sikap memusuhi seperti itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Malah akan menambah beban baru dalam hidupmu, beban kebencian yang tak berujung,”
Aku menelan ludah. Wajahku tertunduk jauh. “Bapak tahu dari mana aku tidak mengundang dia…?”
Dia meletakkan gelasnya seraya menatapku tajam. “Nisa datang menemuiku di sini tiga minggu lalu. Menanyakan kabarmu. Kapan kau akan masuk kantor. Kapan kau akan kembali ke sini,”
“Apa? Nisa???”
“Dan lima hari yang lalu dia kembali lagi ke sini, melakukan hal yang sama, menanyaimu. Dia tampak kecewa begitu tahu kau menikah. Dan lebih kecewa lagi, dia tahu berita itu dariku, tidak langsung darimu. Aku menangkap isyarat kekecawaan itu dari cara bicaranya,”
Aku langsung teringat pesan ‘aneh’ darinya dua hari lalu.
“Apa perlunya dia mencariku lagi? Dia sudah menikah. Dia sudah bersuami, apa alasannya dia kecewa??”
“Untuk yang itu, aku tidak tahu alasannya. Dia hanya ingin bertemu denganmu, itu saja yang kutahu. Dia tidak bercerita lebih jauh. Apa pantasnya aku bertanya-tanya ini-itu padanya?”
“Sebentar, sebentar. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku kerja di sini?”
“Aku juga tidak tahu tentang itu. Anggap saja selama beberapa tahun ini dia sibuk mencari tahu keberadaanmu,”
“Omong kosong!”
“Sudahlah, bukan itu poin pentingnya. Maksudku berbicara seperti ini padamu adalah untuk mengajarimu bagaimana berdamai dengan masa lalumu,” dia memandang ke luar jendela, suaranya mulai terdengar berat. “Kau keberatan aku mengajarimu, Za?”
Dia menoleh padaku sebentar, aku menggeleng. Pandangannya kembali terlempar jauh ke luar gedung. Siluet kuning cahaya matahari pagi menyelinap masuk menimpa wajahnya. Sudah kubilang pada kau, orang ini sudah seperti pengganti figur ayah bagiku, mana pula aku akan menolak dinasehati olehnya.
“Aku mengerti, sangat mengerti dengan semua yang kau alami. Kurang lebihnya, aku pernah mengecap apa yang kau rasakan pada perempuan itu,”
Aku mengetuk-ngetukkan jemari di meja, tandanya aku mulai tidak fokus. Pikiranku tertumpu pada perempuan itu. Setelah sejauh ini aku berusaha melupakan semua itu, manusiawikah kiranya dia datang kembali mengganggu hidupku, hingga bersusah payah pula datang ke tempat kerjaku hanya untuk menanyakan kabarku? Lalu sempat pula—jika anggapan bosku benar—dia tampak kecewa mendengar kabar pernikahanku. Apa maksud semua itu?
“Intinya begini, Za. Belajarlah untuk memaafkan, tak perlu membenci, itu saja,” melihat konsentrasiku sudah pecah, dia tampak tak bersemangat memperpanjang pembicaraan.
“Entahlah, Pak. Aku tidak begitu yakin,” Aku pun bermaksud segera menyudahi pembicaraan ini. Semakin lama aku membahasnya semakin perasaanku berkemelut. Hal itu bisa mengganggu mood-ku sepagi ini. Itu akan sangat mencemari profesionalitasku dalam bekerja, tentu saja. “Aku pamit bekerja, Pak,”
Dia mengangguk setuju. “Kalau kau butuh nasehatku lagi, jangan sungkan-sungkan,”
“Terima kasih, Pak,”
Aku meninggalkan ruangan bosku dengan wajah tertunduk lesu tak bersemangat. Nisa, belum puaskah kau melukaiku sejauh ini? Aku bukan lagi lelaki bodoh yang rela melapuk demi kau…
Dan benar saja, aku tidak bisa bersemangat menghadapi pekerjaan. Pikiranku kacau-balau. Kupaksa-paksakam menepis semua lintasan-lintasan pikiran tentang perempuan itu, susah sekali. Kemelut itu terbawa-bawa hingga aku ke luar kantor.
Sore sebelum magrib menjelang, aku pergi ke kampusku dulu, ke telaga buatan depan gedung rektorat. Sejak kuliah aku suka menghabiskan waktu senja di sana, merenungi banyak hal. Harapanku, semoga pemandangan indah petang hari ini mampu memulihkan kegalauan di hatiku yang semakin rumit saja.
Namun malangnya aku, dan susahnya menjadi pribadi yang kata orang-orang melankolis, aku amat gampang larut dirundung durja hati.
Ah, coba saja kaualami sendiri serupa dengan yang sedang kuhadapi. Percayalah, kau tak akan mudah melupakan semua memori-memori menyakitkan itu. Meskipun hampir berhasil, ketika kenangan itu datang lagi dalam suatu gambaran nyata senyata mentari senja yang menjingga, menghambur bertubi-tubi menyesak ke dalam relung jiwa yang masih belum pulih lukanya, kupastikan kau akan terhanyut diseret masa lalu itu. Diombang-ambingkan tanpa belas kasihan. Seperti itulah adanya diriku saat ini.
Sebelum matahari benar-benar tenggelam, aku menyetir mobil pulang ke rumah kami di Depok II. Jalan Margonda Raya yang sangat ramai serasa sepi. Depok bak kota mati.
Hingga selesai santap malam dengan istriku, aku tak banyak bicara.
“Uda kenapa?” Siti menghampiriku yang sedang duduk di ruang tamu, dengan pandangan mata yang kosong menatap layar kaca televisi. Televisi dan aku sama-sama sibuk dengan dunia masing-masing.
“Nggak kenapa-kenapa, kok,” jawabku datar.
Siti menarik napas pelan.
“Uda pasti capek banget,” Ia mulai memijit lenganku lembut. “Uda istirahat aja, ya, udah malam,”
“Kamu tidur aja dulu. Nanti aku nyusul,”
“Ya sudah,”
Sebenarnya aku tak tega menyembunyikan semua ini dari Siti. Namun di suatu kondisi, aku belum siap berbagi cerita dengannya. Aku takut dia salah tanggap. Kupandangi punggungnya yang menjauh dariku menuju kamar tidur. Maafkan aku, Siti…
***
Pagi datang, aku mencoba untuk kembali bersikap normal.
“Uda, ayo sarapan. Hidangannya udah siap,”
Aku kaget. Hidangan?
“Kamu masak?” tanyaku keheranan. Ia mengangguk sambil tersenyum nakal.
“Serius?”
“Iya, Uda,” tangannya membantuku memasang dasi di leher. “Ayo, kita makan. Uda harus mencoba masakan pertamaku,”
“Nggak gosong kan?”
“Nggak,” Pipinya menggelembung sebal kutanya begitu. Aku tertawa kecil.
Kami menuju meja makan. Luar biasa, rasa masakannya utuh. Tak ada menu yang ‘salah resep’.
“Enak,” pujiku. Ia tersipu.
Aku sarapan dengan terburu-buru. Hampir pukul setengah enam, aku pasti telat sampai di kantor. Perjalanan Depok-Jakarta akan memakan waktu lama—kemacetenlah yang selalu bikin masalah.
“Hati-hati di jalan, Uda,” Siti melepasku di luar pagar, menyalami dan mencium punggung tanganku dengan senyuman khasnya. Ah, senyumannya benar-benar menjadi penyejuk hatiku yang sering panas sendiri. Melihatnya tersenyum seindah itu, aku mulai bisa menepiskan kejadian kemarin dari pikiranku.
Aku berangkat setelah mengucap salam. Istriku cantik sekali pagi ini. Ya Allah, buatlah aku benar-benar jatuh cinta pada perempuan ini…
Aku mencoba menyetir dengan santai. Terburu-buru pun tidak ada gunanya, hanya akan  mengundang celaka. Kusetel radio, A Thousand Years-nya Christina Perri mengalun pedih. Siapa pula yang punya ide bodoh menyetel lagu ini pagi-pagi? Kurasa si penyiar ini sedang gundah hati. Cepat-cepat kutekan tombol off, mampuslah. Kau tak boleh memperkeruh suasana hatiku.
Aku telah memasuki perbatasan Depok-Jakarta ketika kusadari satu hal: ponselku ketinggalan. Sial!
Aku memutar arah kembali. Waktuku jadi terbuang sia-sia, aku mengumpat-ngumpat.
Sesampai kembali di rumah, aku separuh berlari memasuki pekarangan, mobil kuparkir di luar pagar di tepi jalan.
Pintu tertutup rapat, kuketuk. Siti keluar dengan ponselku di tangannya. Aku tersenyum, ternyata dia sudah tahu benda penting itu tertinggal. Istri yang benar-benar pengertian…
Tapi…
“Ada telepon dari Nisa,”
Aku tersentak. Darahku langsung berdesir hebat. Siti menatapku dengan tatapan menusuk tanpa sebaris pun senyum manis di bibirnya.
“Nisa?”
“Iya, dia sangat ingin bertemu Uda,” sambungnya dingin. Dingin sekali. Aku seperti menghadapi orang lain. Ia tidak seperti istriku yang kukenal.
Kuterima hp itu. Serta-merta Siti berlari meninggalkanku. Ia tersedu-sedu masuk ke dalam kamar. Kukejar ia. Pintu ia tutup, lantas ia kunci dari dalam.
“Siti! Kamu kenapa?? Ada apa sebenarnya??”
Ia tak menjawab, hanya sedunya yang kudengar tertahan-tahan. Aku membuka menu log di hp-ku. Tidak ada panggilan masuk, hanya ada panggilan keluar dari nomorku ke nomor asing kemarin yang adalah Nisa. Berarti Sitilah yang sebenarnya menelepon perempuan itu. Darahku terus terpompa deras dari jantungku yang berdetak tak beraturan.
Aku pindah ke menu messages. Di sanalah asal-muasal masalahnya. Sebuah pesan dari Nisa meruntuhkan pertahanan hatiku. Luka itu menganga lagi dengan tiba-tiba. Kini bertambah perih dengan keberadaan Siti yang akan tersakiti.
“Za,aku ga th hrs mlai dr mn.aku mau bilng,sbnrny aku jg mncntaimu dr dl.sm sprtimu yg mncntaiku.prnkhnku dgn ilham trjd bgt sj.tp mfkn aku,za.aku jg mncntainy.nmun skrg,smua trlmbat.kau tlh jd milik org lain.andai sj aku dtg pdmu sblum siti jd istrimu.andai sj dulu aku tak mnyia-nyiakanmu.andai sj dulu aku tdk egois mnkh dgn ilham.aku keliru,za.aku keliru besar.wlupun aku mncintainya,kamu ternyt lbh kucintai drpd dia…dan satu lg,aku ga prnh bhgia mnkh dgnnya…andai sj wktu bisa diputar mundur…”
Sebuah SMS lagi menambah hancur hatiku.
“aku akn brcerai munggu depan.andai ada ruang di hatimu untuk menerimaku lagi …”
Tubuhku bergemetar. Hp itu terlepas dari genggamanku, jatuh bebas di lantai. Kenyataan ini serasa mimpi buruk. Tidak, tidak! Bahkan mimpi sekali pun masih terasa lebih nyata daripada ini! Aku tidak tahu, aku tidak bisa bahkan sekadar menghela napas. Sesak menyumbat rongga dadaku.
Kenangan-kenangan lama yang telah melapuk di sebuah sudut tergelap di dasar jiwaku, kini membayang-bayangiku kembali, menyentak-nyentak di kepalaku. Rasanya ingin aku terlempar jauh ke dimensi waktu yang tak terjamah manusia. Lalu hilang dan memudar di sana. Atau, biarlah aku jadi debu saja, yang tak perlu tersiksa oleh tidak manusiawinya cinta ini!
Kenapa, Nisa?! Kenapa kau datang lagi?!
***
Situasinya memburuk. Siti tidak mau berbicara denganku. Dia hanya menyapaku untuk mengajak makan, lalu yang kudapati di depan hidangan hanyalah kebisuan yang mencekam. Dentingan-dentingan sendok makan saja yang masih menandakan di sana ada sepasang manusia yang sedang menikmati makan malam. Aku tak tahu seberapa lama Siti menangis, matanya membengkak, memerah.
Situasinya sungguh rumit. Entahlah, tak tahu aku bagaimana caranya mengurai benang kusut ini. Kau tahu? Salah satu perjanjian tak tertulisku dengan Siti dan ibu sehari sebelum kami menikah adalah agar aku dengan sepenuh hati memulai sebuah kehidupan baru yang tidak akan ada hubungannya lagi dengan Nisa. Sekarang semuanya kacau berantakan.
Bagaimana aku akan menjelaskan masalah ini pada Siti? Apa sesungguhnya yang dia bicarakan dengan Nisa lewat telepon pagi tadi? Kepalaku disesaki bertubi-tubi pertanyaan tak terjawab, hingga terasa panas sampai ke ubun-ubun.
Aku jatuh tertidur di sofa ruang tamu, ketika aku tak sengaja terbangun tengah malam, kudengar suara isak Siti dari dalam kamar. Hatiku makin tak enak, kubawa tubuhku bangkit. Aku melangkah mendekati pintu, dari balik gorden yang kusingkap sedikit, kulihat Siti sedang terlarut dalam doanya, tersedu-sedu di penghujung salatnya.
“Ya Allah, aku hanya ingin menjadi bidadari untuk suamiku, menjadi seseorang yang akan selalu mencintainya di jalanMu, menjadi istri yang dia ridai dan Kau juga meridaiku. Jika dengan membagi cinta suamiku untuk orang lain bisa membuat Engkau rida padaku, ajari aku untuk ikhlas menerima hal itu. Aku wanita, dan aku dilemahkan oleh perasaanku…”
Kuseka pipiku yang tiba-tiba saja basah tanpa kusadari, tangisan itu tidak mampu kubendung. Air mataku menetes begitu saja. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih telah menjadikan perempuan ini sebagai penyejuk mataku…
***        
Pagi seakan memahami luka hatiku. Semenjak subuh hujan berderai-derai turun tak mau berhenti. Gemuruh berdentang-dentang memenuhi kolong langit.
Pukul 06.00 pagi, Siti mengantarku hingga pintu, ia masih tak banyak bicara. Terlihat sekali senyumannya terlalu dipaksakan. Sikapnya juga kaku padaku. Aku bingung bagaimana harus menghadapinya.
Ketika ia menyalami dan mengecup tanganku, kukecup keningnya, kutahan beberapa saat. Kupejamkan mataku. Detak waktu kubiarkan melambat.
“Aku cinta kamu…”
Terbersit belaian hangat di hatiku kala kata-kata itu terlepas lembut dari bibirku yang sukar kujelaskan itu perasaan apa.
Siti terhenyak kala kalimat magis itu terucap dengan sempurna dariku. Ia mengangkat wajahnya menatap mataku dalam. Kristal-kristal cair perlahan menggenang di kelopak matanya yang masih menyisakan tangisan semalam. Bibirnya bergetar seperti hendak mengatakan sesuatu. Perasaanku mengembang menantangi tatapan matanya yang sayu, rambut-rambut halus di tengkukku meremang. Lalu tiba-tiba saja Siti menghambur memelukku erat. Erat sekali. Hingga bisa kurasakan detak jantungnya yang memburu di dadaku.
“Uda… Aku sudah menunggu ucapan itu bertahun-tahun lalu…” suaranya serak, ia terisak di pelukanku. “Aku telah menanti kata-kata itu terucap untukku sejak lama…” Guyuran hujan di luar makin melembabkan suasana di sini hingga basah pula mataku olehnya.
“Aku juga mencintaimu, uda… Sangat mencintaimu…”
Pagi ini, aku merasa begitu yakin bahwa aku telah jatuh cinta. Aku jatuh hati pada perempuan yang telah menjadi istriku. Hatiku baru saja menemukan tempat jatuh yang selayaknya. Kusimpan rasa haru yang bergelombang-gelombang itu dalam hati. Segalanya terasa indah lagi bersamaan dengan rintik-rintik hujan yang semakin menderas. Untuk beberapa saat, aku mendapat tenaga baru untuk membangun kembali tekad untuk melupakan segala hal yang akan merusak perasaan ini. Cintaku adalah Siti. Nisa bukan siapa-siapa lagi dalam hidupku.
Kemudian kucoba menjelaskan duduk perkara masalah kemarin pada Siti sebijak mungkin. Siti lalu menceritakan semua pembicaraannya dengan Nisa di telepon itu.
“Dia bilang, dia ingin uda menerima dia lagi… Aku tidak bisa menahan hati untuk tidak marah, uda… aku tidak bisa membayangkan akan diduakan… aku belum bisa…” Ia memelukku sambil menangis terisak. Aku tahu, dia cemburu. Aku suka dia cemburu. Aku suka.
***
Hari turun menjemput sore. Hampir pukul tiga petang. Tapi sejak pagi hingga kini wujud mentari tidak terlihat sama sekali. Ia bersembunyi di suatu sudut langit di balik gegumpalan awan hitam yang seharian ini amat betah mengambang di angkasa. Dunia diselimuti kelabu hampir sehari penuh.
Aku bersalaman dengan bosku di lobi kantor, kami hendak kembali pulang.
“Aku percaya kaubisa menyelesaikan masalah itu, Za,”
“Insyaallah, pak. Mohon doanya,”
Beliau menepuk pundakku prihatin seakan-akan aku ini adalah seorang pemuda termalang di dunia.
Hujan tidak juga menampakkan tanda-tanda akan reda. Malah sekarang kilatan petir menyambar-nyambar menakutkan. Disertai gelegar besar mengagetkan jantung. Aku ingin cepat-cepat sampai di rumah. Entah mengapa, aku merasa rindu sekali berjumpa istriku setelah kejadian singkat pagi tadi.
“Gaza…”                                         
Langkahku terhenti, tinggal sepuluh meter lagi menuju mobilku di halaman depan kantor. Sebuah mobil sedan hitam berhenti hanya tiga langkah di depanku. Angin kencang menyambar payungku terbang, aku tak reflek menangkap benda itu yang dengan cepat sudah menggelinding ke jalan raya, melewati pagar beton. Aku basah kuyup dalam sekejap.
Sumber suara itu, membekukan tubuhku di atas kedua kakiku. Ia keluar dari mobil yang dikendarainya, melangakah ragu mendekatiku perlahan. Memasrahkan diri digempur guyuran air yang jatuh bebas dari langit.
“Nisa? Kau??”
Aku hampir tak mengenal perempuan itu. Aku tak lagi ingat kapan terakhir kali kami bertemu. Yang masih tak lekang di benakku, waktu itu dia masih jelita. Sekarang tak dapat kupercaya, banyak yang telah berbeda dari penampilannya. Tubuhnya tirus, bibirnya pucat, beberapa bekas luka memar menyebar di beberapa bagian di wajah dan tangannya. Ia tertegun menatapku.
Petir menggelegar.
“Gaza…”
Bukan gelegar petir yang membuatku terkejut, tapi perempuan itu. Ia berlari merangkulku tiba-tiba. Entahlah, entahlah. Aku seperti dipaku ke bumi, tak kuasa bergerak dan mengelak. Ia menangis dalam pelukanku bersama hujan.
“Bawa aku pergi, Za… bawa aku pergi dari kehidupan rumah tanggaku yang bagai neraka…”
Aku membisu.
“Aku rela jadi yang kedua di hatimu, Za… aku ikhlas, Za…”
Aku ingin bicara, tapi tak bisa.
“Jawab aku, Za.. jawab aku!”
Pelan-pelan, kukumpulkan kesadaranku, kupegang kedua bahunya, kujauhkan tubuhnya dari dadaku. Kubiarkan hujan menderas menimpa wajahku, menyembunyikan air mataku.
“Kau terlambat, Nis…”
“Gaza, kumohon…”                                        
“Aku juga pernah memohon kepadamu,”
“Gaza…”
Aku tersenyum pahit.
“Maafkan aku, Nis…”
“Gaza… Gaza!!”
Aku meninggalkannya.
“Gaza…” Wajahnya terpekur bercucuran air mata. Aku tak peduli. Aku tak kan pernah peduli. Sekalipun dari kelopak matanya mengalir air mata darah, aku tak akan peduli. Cinta itu telah melapuk, bahkan hancur. Musnah.

                                                                                       Malang, 28 September 2012
                                                                                       Jumaiko Ahmadi



Komentar

Posting Komentar