Aku sedang bersiap-siap, mengemas barang-barang. Pagi ini, kami—aku
dan istriku—akan meninggalkan kampung. Pekerjaanku telah menunggu di kota.
Dalam seminggu ini saja sudah tiga kali bosku yang cerewet itu menelepon
menyuruhku segera kembali. Padahal sebagai orang yang paling susah meliburkan
diri dari pekerjaan, aku tentu punya hak untuk menuntut cuti lebih panjang.
Anggaplah ini semacam ‘pembalasan dendam’ atas jatah-jatah liburan yang selama
ini kubiarkan menumpuk.
“Masalahnya, kami tidak punya orang yang bisa menggantikan posisi pentingmu itu, Bung!”
“Masalahnya, kami tidak punya orang yang bisa menggantikan posisi pentingmu itu, Bung!”
Aku
tergelak mendengar omelan bosku tempo hari itu.
“Bulan
madunya dilanjutkan di sini saja! Memanglah susah sekali berurusan dengan
pengantin baru ini!”
Giliran
suara di seberang sana yang tertawa. Aku salah tingkah. Segera saja kututup
telepon itu setelah melemparkan umpatan ‘halus’, yang hanya dibalas tertawaan
oleh pria paruh baya itu.
“Uda…”1)
Aku
menoleh. Seorang perempuan cantik berdiri anggun di bawah bingkai pintu. Jilbab
cokelat tua sejengkal di bawah perut yang ia kenakan berpadan serasi dengan
gamis turki dengan warna seirama.
“Yuk,
uda, kita sarapan. Ibu sudah menunggu,”
Aku
mengangguk sambil melebarkan senyum. Kutinggalkan pekerjaanku yang sudah
tuntas. Kurapikan barang-barang bawaan itu di samping tempat tidur. Aku
mendekati perempuan cantik itu yang sejak tiga hari lalu telah menjadi orang
yang paling dekat dengan detak jantungku selain ibu. Perempuan yang kusebut
istri.
“Kamu
masak apa?” Kusambut jemari lembutnya yang hendak mengapit lenganku. Kami
melangkah bersamaan menuju ruang makan.
“Ibu
sih yang masak…” kulihat pipinya bersemu merah. “Maaf, uda…”
Aku
tersenyum dan membesarkan hatinya. Ini rahasia keluarga baru kami, tolong
jangan kau kasih tahu siapa-siapa. Istriku memang tidak pandai memasak. Bukan
tidak pandai sepenuhnya, cuman setiap kali memasak, pasti ada saja yang tidak
beres. Hanguslah, terlalu olasinlah, atau malah hampir membakar seisi rumah—sesuai
pengakuannya padaku.
Tapi
tidak masalah. Ia sudah berjanji padaku akan belajar sampai mahir. Ah, meski
aku belum yakin apakah aku sudah ‘jatuh cinta’ pada perempuan ini, aku mulai
menyukai beberapa sifatnya.
“Nah,
karena pengantin baru ibu akan segera pergi jauh, ibu telah menyiapkan menu
sarapan istimewa buat kalian,” Bagai juru masak hotel berbintang, ibu
menghamparkan hidangan-hidangan ‘istimewa’ itu di atas meja makan bundar
berukuran 3 x 1,5 meter. Meja itu adalah hasil sentuhan tangan ajaib mendiang
ayahku.
“Ini
benar-benar istimewa, bu!” Aku tak bisa menyimpan kekaguman. Masakan ibu memanglah
selalu istimewa bagiku.
Kau
lihatlah sendiri, rendang kerang dicampur irisan sayur paku yang dimasak tidak terlalu
kering hingga warnanya agak kehitam-hitaman itu, menggoda-goda dalam semangkuk
kaca ukuran sedang. Ada juga sepiring jumbo goreng belut balado yang
mengingatkanku pada indahnya ritual makan bersama kami sewaktu ayah masih
hidup. Goreng belut balado adalah masakan ibu yang paling digemari ayah. Sayur
daun ubi jalar dengan kuah santan pekat seputih susu diletakkan sedemikian rupa
menyejajari kedua manu tadi, berdampingan dengan tumis kangkung pedas, mengelilingi
wadah rotan berisi nasi putih yang masih mengepul. Hidangan pelengkap berupa
goreng-gorengan ringan semakin menambah ribut makhluk-makhluk dalam rongga
perutku.
Kami
duduk mengitari hidangan. Meja makan ini terasa terlalu besar untuk kami
bertiga. Aku tertegun beberapa saat sambil memandangi ibu lekat, tepat di
matanya yang sudah semakin sayu. Sesungguhnya, aku tak sampai hati meninggalkan
ibu. Tapi pekerjaanku di kota sana tidak bisa ditinggalkan.
“Kalian
tidak perlu terlalu mengkhawatirkan ibu. Tenang saja, nak. Kalau ada apa-apa,
kita masih punya tetangga yang baik-baik yang bakal membantu ibu,”
Tapi
hati kecilku masih tidak setuju membiarkan ibu tinggal di rumah ini sendiri.
“Sudah, sudah, mari makan dulu. Dan kau, Siti,
kalau kalian pulang lagi nanti, ibu akan mengajarimu memasak semua hidangan
ini. Kau berhak menjadi pewaris resep-resep ibu,”
Siti
girang sekali mendengar hal itu. Kami lalu saling beradu pandang, saling melepas
senyum. Lalu suasana sarapan—makan pagi kami terasa sangat menyenangkan. Aku
akan merindukan masakan luar biasa ibu ini nanti. Itu pasti.
***
“Slmt
mnmpuh hdp baru, Za. Smg km bhgia…”
Keningku
berkerut berlipat-lipat menantangi layar ponselku, membaca pesan singkat yang
baru saja singgah beberapa detik yang lalu. Tanpa nama, nomor si pengirim pesan
adalah asing bagiku. Aku tidak punya ide menerka siapa pengirimnya.
“mf,ni
siapa?” kukirim SMS balasan.
Kutunggu-tunggu, tak dibalas. Kuabaikan saja pesan itu. Mungkin hanya seseorang
yang suka iseng, memberi ucapan selamat tanpa merasa perlu memberi tahu
identitas diri. Tapi, terima kasih atas ucapan selamatnya.
“Ada
apa, Uda? Kok wajahnya kusut begitu?” tegur istriku.
“Ini,
ada SMS dari nomor asing,” aku menyerahkan ponselku padanya, biar dia sendiri
yang membacanya.
“Mungkin
dari teman lama uda,” istriku tersenyum menyerahkan hp itu kembali padaku. “Sudah
uda tanya, kan, dia siapa?”
Aku
mengangguk. Istriku tersenyum lagi. Kau tahu? Aku bahkan baru menyadari sekarang,
bahwa istriku ini sangat mudah tersenyum. Dan senyumannya itu cantik sekali.
Tolong jangan beritahu siapa-siapa soal senyuman istriku ini.
Kami
keluar dari rumah. Ibu dan beberapa tetangga sedang berbincang-bincang di dekat
pagar halaman depan, hendak melepas keberangkatan kami. Taksi yang kutelepon
sejak lima belas menit lalu telah terparkir di pinggir jalan. Sopirnya
buru-buru menghampiriku, membantu mengangkat barang-barang yang jumlahnya tak
sanggup dipikul berdua. Bayangkan saja, ibu menyuruhku membawa kelapa segala,
karena di kota harga kelapa mahal sekali. Kau maklum sajalah, orang Padang memang
suka betul makan makanan berkuah santan.
Istriku
menjinjing koper pakaian yang tidak terlalu berat, ia berjalan duluan ke luar.
Sebuah koper lagi aku yang memikul, kuikuti langkahnya pelan di belakang.
Tiba-tiba
hp-ku berdering lagi. Aku berhenti, memeriksa SMS masuk.
“ini
aku,Za.nisa.smg km bs jd suami yg baik untk siti.smg kalian bhgia brsm.tdk
sprtiku…”
Jantungku
serasa ingin melompat dari tempatnya membaca SMS itu.
“Uda,
ayo. Kenapa malah bengong?”
“Eh,
iya, iya,” aku gugup.
Segera
kuhapus pesan itu, juga pesan sebelumnya. Siti tidak boleh tahu apa-apa tentang
ini. Dan yang jauh lebih penting, aku tidak boleh membuka kesempatan sedikit pun
pada perempuan itu, bahkan hanya untuk menanggapi SMS-nya itu pun tak akan kusisihkan
waktu. Kisah ini telah benar-benar berbeda alurnya sekarang. Dia adalah masa
lalu yang harus kukubur dalam-dalam. Demi ibu, demi siti, juga demi ketenangan
batinku.
“Semoga
kalian bahagia. Tidak sepertiku…”
Potongan
pesan singkat itu terbayang-bayang di mataku. Apa maksudnya? Apa dia tidak
bahagia dengan pernikahannya? Masa bodoh! Itu sama sekali bukan urusanku!
“Ibu,
kami berangkat, ya,” Siti memeluk ibu, mencium tangan wanita tua itu. Ibu balik
mencium kening istriku. Setetes embun bening menetes dari sudut matanya.
“Jadilah
istri yang baik, nak. Istri yang salehah,” pesan ibu lirih.
“Iya,
bu, insyaallah…” ia memeluk ibu sekali lagi, “Doakan Siti, bu. Semoga Siti
bisa…”
Pada
giliranku, kupeluk tubuh renta ibu lebih erat. Kini wanita itu tersedu-sedu di
dadaku.
“Kau
juga, anakku. Berjanjilah pada ibumu ini untuk tidak akan pernah menyakiti
istrimu dalam bentuk apa pun… Jadilah suami yang baik, nak…”
“Iya,
bu… Gaza janji. Tidak hanya pada ibu, tapi juga pada Allah…”
Aku mengerti
apa yang dimaksud ibu. Tidak menyakiti Siti dalam bentuk apa pun. Yang paling
krusial adalah menyakiti perasaannya. Secara tersirat, pesan ibu ini masih ada
sangkut-pautnya dengan perempuan dari masa lalu itu. Dan aku berjanji, cerita
lama itu akan kumusnahkan tak peduli apa pun yang akan terjadi. Ya, aku tidak
akan pernah peduli lagi apa pun yang akan terjadi padanya setelah ini. Siti,
istriku, adalah kehidupanku yang baru.
“Ibu
tahu kalian tidak akan bisa pulang sebulan sekali. Paling tidak, usahakanlah setiap
hari baik kalian bisa berada di dekat ibu,”
Yang
beliau maksud hari baik adalah hari raya idul fitri dan idul adha. Aku menegakkan
kepala ke langit, menahan air mata biar tidak menetes.
Taksi
kemudian membawa kami menjauh dari kampung kelahiranku itu. Semakin jauh,
semakin perasaanku bercampur aduk.
***
“Welcome
back, Mr. Newlywed! Ayo, saudara-saudara, kita sambut rekan kita yang baru saja
pulang dari berbulan madu!”
Astaga!
Apa-apaan ini? Wajahku kebas menahan malu. Sialan bosku itu. Dia sengaja
mengumpulkan semua karyawan di ruang kerjaku. Pantas saja sejak dari
resepsionis tadi aku sudah merasakan gelagat-gelagat aneh, semua ruang kerja
karyawan sepi. Rupanya mereka telah berkumpul di sini untuk sebuah surprise yang
‘tidak lucu’ sama-sekali.
Aku
tidak sempat lagi buka suara berbasa-basi. Semua orang berebutan menyalamiku
satu-satu. Aku menjabat tangan mereka dengan kikuk. Ucapan selamat bergemuruh
memenuhi ruangan. Aku berterima kasih atas sambutan yang di luar dugaan ini.
Setelah
semua orang pergi, aku diminta bosku ke ruangannya yang bersebelahan dengan
ruang kerjaku untuk berbincang secara pribadi.
“Akhirnya,
kau melepas masa lajangmu juga,”
Meski pun orang ini sering banyak berbuat kekonyolan
dan keisengan, terutama ide-ide briliannya yang terkadang terkesan
sinting—salah satunya seperti yang baru saja terjadi, mengumpulkan semua
karyawan di ruangan kerjaku—, namun dalam situasi formal, dia adalah orang yang
luar biasa di mataku. Dia sosok pemimpin yang mengerti sekali dengan urusan
kami. Bagiku, dia bahkan seperti pengganti figur seorang ayah—usianya memang
mendukung sekali untuk itu.
“Ya,
Alhamdulillah, Pak,” Aku tahu diri mengubah cara bicaraku. Bila sudah begini,
aku tahu, akan ada pembicaraan yang cukup serius.
“Sudah
bisa berdamai dengan masa lalu?”
Aku
terdiam beberapa saat.
Tak
perlu kau heran. Orang ini tahu banyak cerita hidupku. Tak perlu juga kau risau,
orang ini sangat bisa dipercaya untuk urusan-urusan seperti ini. Semacam
“Secret Keeper”lah kami menyebutnya.
Untuk
pertanyaan itu, aku lalu mengangguk. Meski sekilas tertangkap basah, anggukan
itu masih disusupi keraguan.
“Kau
belum pernah bisa berdamai dengan masa lalu, aku tahu itu. Sejauh ini aku
mengenalmu, kau bukanlah tipe orang seperti itu,”
“Apa
bedanya berdamai dengan mengubur?” sanggahku dengan nada yang tetap terkendali,
“Yang penting aku tidak tertarik lagi untuk mengenang semua itu,”
Ia
bangkit, tertawa miris. Mendekati jendela, membuka tirainya. Dari lantai 12
ini, puncak monas tampak anggun puluhan meter di seberang sana.
“Kau
sama-sekali belum berdamai, Za. Jangan bohongi hatimu,” Dia mengambil gelas
kopinya yang baru saja diantarkan masuk oleh OB. Lalu menghirupnya penuh
perasaan. “Kau tidak mengundang Nisa dan suaminya ke pesta pernikahanmu, bukan?
Itu buktinya kau tidak berdamai, tapi memusuhi. Kau memusuhi masa lalumu
sendiri. Untuk kau tahu, Za. Sikap memusuhi seperti itu tidak akan pernah
menyelesaikan masalah. Malah akan menambah beban baru dalam hidupmu, beban
kebencian yang tak berujung,”
Aku
menelan ludah. Wajahku tertunduk jauh. “Bapak tahu dari mana aku tidak
mengundang dia…?”
Dia
meletakkan gelasnya seraya menatapku tajam. “Nisa datang menemuiku di sini tiga
minggu lalu. Menanyakan kabarmu. Kapan kau akan masuk kantor. Kapan kau akan
kembali ke sini,”
“Apa?
Nisa???”
“Dan
lima hari yang lalu dia kembali lagi ke sini, melakukan hal yang sama,
menanyaimu. Dia tampak kecewa begitu tahu kau menikah. Dan lebih kecewa lagi, dia
tahu berita itu dariku, tidak langsung darimu. Aku menangkap isyarat kekecawaan
itu dari cara bicaranya,”
Aku
langsung teringat pesan ‘aneh’ darinya dua hari lalu.
“Apa
perlunya dia mencariku lagi? Dia sudah menikah. Dia sudah bersuami, apa
alasannya dia kecewa??”
“Untuk
yang itu, aku tidak tahu alasannya. Dia hanya ingin bertemu denganmu, itu saja
yang kutahu. Dia tidak bercerita lebih jauh. Apa pantasnya aku bertanya-tanya
ini-itu padanya?”
“Sebentar,
sebentar. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku kerja di sini?”
“Aku
juga tidak tahu tentang itu. Anggap saja selama beberapa tahun ini dia sibuk
mencari tahu keberadaanmu,”
“Omong
kosong!”
“Sudahlah,
bukan itu poin pentingnya. Maksudku berbicara seperti ini padamu adalah untuk
mengajarimu bagaimana berdamai dengan masa lalumu,” dia memandang ke luar
jendela, suaranya mulai terdengar berat. “Kau keberatan aku mengajarimu, Za?”
Dia
menoleh padaku sebentar, aku menggeleng. Pandangannya kembali terlempar jauh ke
luar gedung. Siluet kuning cahaya matahari pagi menyelinap masuk menimpa
wajahnya. Sudah kubilang pada kau, orang ini sudah seperti pengganti figur ayah
bagiku, mana pula aku akan menolak dinasehati olehnya.
“Aku
mengerti, sangat mengerti dengan semua yang kau alami. Kurang lebihnya, aku
pernah mengecap apa yang kau rasakan pada perempuan itu,”
Aku
mengetuk-ngetukkan jemari di meja, tandanya aku mulai tidak fokus. Pikiranku
tertumpu pada perempuan itu. Setelah sejauh ini aku berusaha melupakan semua
itu, manusiawikah kiranya dia datang kembali mengganggu hidupku, hingga
bersusah payah pula datang ke tempat kerjaku hanya untuk menanyakan kabarku?
Lalu sempat pula—jika anggapan bosku benar—dia tampak kecewa mendengar kabar
pernikahanku. Apa maksud semua itu?
“Intinya
begini, Za. Belajarlah untuk memaafkan, tak perlu membenci, itu saja,” melihat
konsentrasiku sudah pecah, dia tampak tak bersemangat memperpanjang
pembicaraan.
“Entahlah,
Pak. Aku tidak begitu yakin,” Aku pun bermaksud segera menyudahi pembicaraan
ini. Semakin lama aku membahasnya semakin perasaanku berkemelut. Hal itu bisa
mengganggu mood-ku sepagi ini. Itu akan sangat mencemari profesionalitasku
dalam bekerja, tentu saja. “Aku pamit bekerja, Pak,”
Dia
mengangguk setuju. “Kalau kau butuh nasehatku lagi, jangan sungkan-sungkan,”
“Terima
kasih, Pak,”
Aku
meninggalkan ruangan bosku dengan wajah tertunduk lesu tak bersemangat. Nisa,
belum puaskah kau melukaiku sejauh ini? Aku bukan lagi lelaki bodoh yang rela
melapuk demi kau…
Dan
benar saja, aku tidak bisa bersemangat menghadapi pekerjaan. Pikiranku
kacau-balau. Kupaksa-paksakam menepis semua lintasan-lintasan pikiran tentang
perempuan itu, susah sekali. Kemelut itu terbawa-bawa hingga aku ke luar
kantor.
Sore
sebelum magrib menjelang, aku pergi ke kampusku dulu, ke telaga buatan depan gedung
rektorat. Sejak kuliah aku suka menghabiskan waktu senja di sana, merenungi
banyak hal. Harapanku, semoga pemandangan indah petang hari ini mampu
memulihkan kegalauan di hatiku yang semakin rumit saja.
Namun
malangnya aku, dan susahnya menjadi pribadi yang kata orang-orang melankolis,
aku amat gampang larut dirundung durja hati.
Ah, coba
saja kaualami sendiri serupa dengan yang sedang kuhadapi. Percayalah, kau tak
akan mudah melupakan semua memori-memori menyakitkan itu. Meskipun hampir
berhasil, ketika kenangan itu datang lagi dalam suatu gambaran nyata senyata
mentari senja yang menjingga, menghambur bertubi-tubi menyesak ke dalam relung
jiwa yang masih belum pulih lukanya, kupastikan kau akan terhanyut diseret masa
lalu itu. Diombang-ambingkan tanpa belas kasihan. Seperti itulah adanya diriku
saat ini.
Sebelum
matahari benar-benar tenggelam, aku menyetir mobil pulang ke rumah kami di
Depok II. Jalan Margonda Raya yang sangat ramai serasa sepi. Depok bak kota
mati.
Hingga
selesai santap malam dengan istriku, aku tak banyak bicara.
“Uda
kenapa?” Siti menghampiriku yang sedang duduk di ruang tamu, dengan pandangan mata
yang kosong menatap layar kaca televisi. Televisi dan aku sama-sama sibuk
dengan dunia masing-masing.
“Nggak
kenapa-kenapa, kok,” jawabku datar.
Siti
menarik napas pelan.
“Uda
pasti capek banget,” Ia mulai memijit lenganku lembut. “Uda istirahat aja, ya,
udah malam,”
“Kamu
tidur aja dulu. Nanti aku nyusul,”
“Ya
sudah,”
Sebenarnya
aku tak tega menyembunyikan semua ini dari Siti. Namun di suatu kondisi, aku
belum siap berbagi cerita dengannya. Aku takut dia salah tanggap. Kupandangi punggungnya
yang menjauh dariku menuju kamar tidur. Maafkan aku, Siti…
***
Pagi
datang, aku mencoba untuk kembali bersikap normal.
“Uda,
ayo sarapan. Hidangannya udah siap,”
Aku
kaget. Hidangan?
“Kamu
masak?” tanyaku keheranan. Ia mengangguk sambil tersenyum nakal.
“Serius?”
“Iya,
Uda,” tangannya membantuku memasang dasi di leher. “Ayo, kita makan. Uda harus
mencoba masakan pertamaku,”
“Nggak
gosong kan?”
“Nggak,”
Pipinya menggelembung sebal kutanya begitu. Aku tertawa kecil.
Kami
menuju meja makan. Luar biasa, rasa masakannya utuh. Tak ada menu yang ‘salah
resep’.
“Enak,”
pujiku. Ia tersipu.
Aku sarapan
dengan terburu-buru. Hampir pukul setengah enam, aku pasti telat sampai di
kantor. Perjalanan Depok-Jakarta akan memakan waktu lama—kemacetenlah yang
selalu bikin masalah.
“Hati-hati
di jalan, Uda,” Siti melepasku di luar pagar, menyalami dan mencium punggung
tanganku dengan senyuman khasnya. Ah, senyumannya benar-benar menjadi penyejuk hatiku
yang sering panas sendiri. Melihatnya tersenyum seindah itu, aku mulai bisa
menepiskan kejadian kemarin dari pikiranku.
Aku
berangkat setelah mengucap salam. Istriku cantik sekali pagi ini. Ya Allah,
buatlah aku benar-benar jatuh cinta pada perempuan ini…
Aku
mencoba menyetir dengan santai. Terburu-buru pun tidak ada gunanya, hanya akan mengundang celaka. Kusetel radio, A
Thousand Years-nya Christina Perri mengalun pedih. Siapa pula yang punya ide
bodoh menyetel lagu ini pagi-pagi? Kurasa si penyiar ini sedang gundah hati.
Cepat-cepat kutekan tombol off, mampuslah. Kau tak boleh memperkeruh
suasana hatiku.
Aku
telah memasuki perbatasan Depok-Jakarta ketika kusadari satu hal: ponselku
ketinggalan. Sial!
Aku
memutar arah kembali. Waktuku jadi terbuang sia-sia, aku mengumpat-ngumpat.
Sesampai
kembali di rumah, aku separuh berlari memasuki pekarangan, mobil kuparkir di
luar pagar di tepi jalan.
Pintu
tertutup rapat, kuketuk. Siti keluar dengan ponselku di tangannya. Aku
tersenyum, ternyata dia sudah tahu benda penting itu tertinggal. Istri yang
benar-benar pengertian…
Tapi…
“Ada
telepon dari Nisa,”
Aku
tersentak. Darahku langsung berdesir hebat. Siti menatapku dengan tatapan
menusuk tanpa sebaris pun senyum manis di bibirnya.
“Nisa?”
“Iya,
dia sangat ingin bertemu Uda,” sambungnya dingin. Dingin sekali. Aku seperti
menghadapi orang lain. Ia tidak seperti istriku yang kukenal.
Kuterima
hp itu. Serta-merta Siti berlari meninggalkanku. Ia tersedu-sedu masuk ke dalam
kamar. Kukejar ia. Pintu ia tutup, lantas ia kunci dari dalam.
“Siti!
Kamu kenapa?? Ada apa sebenarnya??”
Ia tak
menjawab, hanya sedunya yang kudengar tertahan-tahan. Aku membuka menu log di
hp-ku. Tidak ada panggilan masuk, hanya ada panggilan keluar dari nomorku ke
nomor asing kemarin yang adalah Nisa. Berarti Sitilah yang sebenarnya menelepon
perempuan itu. Darahku terus terpompa deras dari jantungku yang berdetak tak
beraturan.
Aku
pindah ke menu messages. Di sanalah asal-muasal masalahnya. Sebuah pesan
dari Nisa meruntuhkan pertahanan hatiku. Luka itu menganga lagi dengan
tiba-tiba. Kini bertambah perih dengan keberadaan Siti yang akan tersakiti.
“Za,aku
ga th hrs mlai dr mn.aku mau bilng,sbnrny aku jg
mncntaimu dr dl.sm sprtimu yg mncntaiku.prnkhnku dgn ilham trjd bgt sj.tp mfkn
aku,za.aku jg mncntainy.nmun skrg,smua trlmbat.kau tlh jd milik org lain.andai
sj aku dtg pdmu sblum siti jd istrimu.andai sj dulu aku tak mnyia-nyiakanmu.andai
sj dulu aku tdk egois mnkh dgn ilham.aku keliru,za.aku keliru besar.wlupun aku
mncintainya,kamu ternyt lbh kucintai drpd dia…dan satu lg,aku ga prnh bhgia
mnkh dgnnya…andai sj wktu bisa diputar mundur…”
Sebuah
SMS lagi menambah hancur hatiku.
“aku
akn brcerai munggu depan.andai ada ruang di hatimu untuk menerimaku lagi …”
Tubuhku
bergemetar. Hp itu terlepas dari genggamanku, jatuh bebas di lantai. Kenyataan
ini serasa mimpi buruk. Tidak, tidak! Bahkan mimpi sekali pun masih terasa lebih
nyata daripada ini! Aku tidak tahu, aku tidak bisa bahkan sekadar menghela
napas. Sesak menyumbat rongga dadaku.
Kenangan-kenangan
lama yang telah melapuk di sebuah sudut tergelap di dasar jiwaku, kini
membayang-bayangiku kembali, menyentak-nyentak di kepalaku. Rasanya ingin aku terlempar
jauh ke dimensi waktu yang tak terjamah manusia. Lalu hilang dan memudar di
sana. Atau, biarlah aku jadi debu saja, yang tak perlu tersiksa oleh tidak
manusiawinya cinta ini!
Kenapa,
Nisa?! Kenapa kau datang lagi?!
***
Situasinya
memburuk. Siti tidak mau berbicara denganku. Dia hanya menyapaku untuk mengajak
makan, lalu yang kudapati di depan hidangan hanyalah kebisuan yang mencekam. Dentingan-dentingan
sendok makan saja yang masih menandakan di sana ada sepasang manusia yang
sedang menikmati makan malam. Aku tak tahu seberapa lama Siti menangis, matanya
membengkak, memerah.
Situasinya
sungguh rumit. Entahlah, tak tahu aku bagaimana caranya mengurai benang kusut
ini. Kau tahu? Salah satu perjanjian tak tertulisku dengan Siti dan ibu sehari
sebelum kami menikah adalah agar aku dengan sepenuh hati memulai sebuah
kehidupan baru yang tidak akan ada hubungannya lagi dengan Nisa. Sekarang
semuanya kacau berantakan.
Bagaimana
aku akan menjelaskan masalah ini pada Siti? Apa sesungguhnya yang dia bicarakan
dengan Nisa lewat telepon pagi tadi? Kepalaku disesaki bertubi-tubi pertanyaan
tak terjawab, hingga terasa panas sampai ke ubun-ubun.
Aku jatuh
tertidur di sofa ruang tamu, ketika aku tak sengaja terbangun tengah malam,
kudengar suara isak Siti dari dalam kamar. Hatiku makin tak enak, kubawa
tubuhku bangkit. Aku melangkah mendekati pintu, dari balik gorden yang
kusingkap sedikit, kulihat Siti sedang terlarut dalam doanya, tersedu-sedu di
penghujung salatnya.
“Ya
Allah, aku hanya ingin menjadi bidadari untuk suamiku, menjadi seseorang yang
akan selalu mencintainya di jalanMu, menjadi istri yang dia ridai dan Kau juga
meridaiku. Jika dengan membagi cinta suamiku untuk orang lain bisa membuat
Engkau rida padaku, ajari aku untuk ikhlas menerima hal itu. Aku wanita, dan
aku dilemahkan oleh perasaanku…”
Kuseka
pipiku yang tiba-tiba saja basah tanpa kusadari, tangisan itu tidak mampu
kubendung. Air mataku menetes begitu saja. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih
telah menjadikan perempuan ini sebagai penyejuk mataku…
***
Pagi
seakan memahami luka hatiku. Semenjak subuh hujan berderai-derai turun tak mau
berhenti. Gemuruh berdentang-dentang memenuhi kolong langit.
Pukul
06.00 pagi, Siti mengantarku hingga pintu, ia masih tak banyak bicara. Terlihat
sekali senyumannya terlalu dipaksakan. Sikapnya juga kaku padaku. Aku bingung
bagaimana harus menghadapinya.
Ketika
ia menyalami dan mengecup tanganku, kukecup keningnya, kutahan beberapa saat.
Kupejamkan mataku. Detak waktu kubiarkan melambat.
“Aku
cinta kamu…”
Terbersit
belaian hangat di hatiku kala kata-kata itu terlepas lembut dari bibirku yang sukar
kujelaskan itu perasaan apa.
Siti
terhenyak kala kalimat magis itu terucap dengan sempurna dariku. Ia mengangkat
wajahnya menatap mataku dalam. Kristal-kristal cair perlahan menggenang di kelopak
matanya yang masih menyisakan tangisan semalam. Bibirnya bergetar seperti
hendak mengatakan sesuatu. Perasaanku mengembang menantangi tatapan matanya
yang sayu, rambut-rambut halus di tengkukku meremang. Lalu tiba-tiba saja Siti menghambur
memelukku erat. Erat sekali. Hingga bisa kurasakan detak jantungnya yang
memburu di dadaku.
“Uda…
Aku sudah menunggu ucapan itu bertahun-tahun lalu…” suaranya serak, ia terisak
di pelukanku. “Aku telah menanti kata-kata itu terucap untukku sejak lama…” Guyuran
hujan di luar makin melembabkan suasana di sini hingga basah pula mataku
olehnya.
“Aku
juga mencintaimu, uda… Sangat mencintaimu…”
Pagi
ini, aku merasa begitu yakin bahwa aku telah jatuh cinta. Aku jatuh hati pada
perempuan yang telah menjadi istriku. Hatiku baru saja menemukan tempat jatuh
yang selayaknya. Kusimpan rasa haru yang bergelombang-gelombang itu dalam hati.
Segalanya terasa indah lagi bersamaan dengan rintik-rintik hujan yang semakin
menderas. Untuk beberapa saat, aku mendapat tenaga baru untuk membangun kembali
tekad untuk melupakan segala hal yang akan merusak perasaan ini. Cintaku adalah
Siti. Nisa bukan siapa-siapa lagi dalam hidupku.
Kemudian
kucoba menjelaskan duduk perkara masalah kemarin pada Siti sebijak mungkin. Siti
lalu menceritakan semua pembicaraannya dengan Nisa di telepon itu.
“Dia
bilang, dia ingin uda menerima dia lagi… Aku tidak bisa menahan hati untuk tidak
marah, uda… aku tidak bisa membayangkan akan diduakan… aku belum bisa…” Ia
memelukku sambil menangis terisak. Aku tahu, dia cemburu. Aku suka dia cemburu.
Aku suka.
***
Hari
turun menjemput sore. Hampir pukul tiga petang. Tapi sejak pagi hingga kini
wujud mentari tidak terlihat sama sekali. Ia bersembunyi di suatu sudut langit
di balik gegumpalan awan hitam yang seharian ini amat betah mengambang di
angkasa. Dunia diselimuti kelabu hampir sehari penuh.
Aku
bersalaman dengan bosku di lobi kantor, kami hendak kembali pulang.
“Aku
percaya kaubisa menyelesaikan masalah itu, Za,”
“Insyaallah,
pak. Mohon doanya,”
Beliau
menepuk pundakku prihatin seakan-akan aku ini adalah seorang pemuda termalang
di dunia.
Hujan
tidak juga menampakkan tanda-tanda akan reda. Malah sekarang kilatan petir
menyambar-nyambar menakutkan. Disertai gelegar besar mengagetkan jantung. Aku
ingin cepat-cepat sampai di rumah. Entah mengapa, aku merasa rindu sekali
berjumpa istriku setelah kejadian singkat pagi tadi.
“Gaza…”
Langkahku
terhenti, tinggal sepuluh meter lagi menuju mobilku di halaman depan kantor.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti hanya tiga langkah di depanku. Angin kencang
menyambar payungku terbang, aku tak reflek menangkap benda itu yang dengan
cepat sudah menggelinding ke jalan raya, melewati pagar beton. Aku basah kuyup
dalam sekejap.
Sumber
suara itu, membekukan tubuhku di atas kedua kakiku. Ia keluar dari mobil yang
dikendarainya, melangakah ragu mendekatiku perlahan. Memasrahkan diri digempur
guyuran air yang jatuh bebas dari langit.
“Nisa?
Kau??”
Aku
hampir tak mengenal perempuan itu. Aku tak lagi ingat kapan terakhir kali kami
bertemu. Yang masih tak lekang di benakku, waktu itu dia masih jelita. Sekarang
tak dapat kupercaya, banyak yang telah berbeda dari penampilannya. Tubuhnya
tirus, bibirnya pucat, beberapa bekas luka memar menyebar di beberapa bagian di
wajah dan tangannya. Ia tertegun menatapku.
Petir
menggelegar.
“Gaza…”
Bukan
gelegar petir yang membuatku terkejut, tapi perempuan itu. Ia berlari
merangkulku tiba-tiba. Entahlah, entahlah. Aku seperti dipaku ke bumi, tak
kuasa bergerak dan mengelak. Ia menangis dalam pelukanku bersama hujan.
“Bawa
aku pergi, Za… bawa aku pergi dari kehidupan rumah tanggaku yang bagai neraka…”
Aku
membisu.
“Aku
rela jadi yang kedua di hatimu, Za… aku ikhlas, Za…”
Aku
ingin bicara, tapi tak bisa.
“Jawab
aku, Za.. jawab aku!”
Pelan-pelan,
kukumpulkan kesadaranku, kupegang kedua bahunya, kujauhkan tubuhnya dari
dadaku. Kubiarkan hujan menderas menimpa wajahku, menyembunyikan air mataku.
“Kau
terlambat, Nis…”
“Gaza, kumohon…”
“Aku
juga pernah memohon kepadamu,”
“Gaza…”
Aku
tersenyum pahit.
“Maafkan
aku, Nis…”
“Gaza…
Gaza!!”
Aku
meninggalkannya.
“Gaza…”
Wajahnya terpekur bercucuran air mata. Aku tak peduli. Aku tak kan pernah
peduli. Sekalipun dari kelopak matanya mengalir air mata darah, aku tak akan
peduli. Cinta itu telah melapuk, bahkan hancur. Musnah.
Malang,
28 September 2012
Jumaiko
Ahmadi
hik hik, bener2 degh,, bikin nangis mik...
BalasHapus